“Merantaulah, kau akan mendapat ganti teman dan saudara.”
Kalimat
imam Syafii itu ternyata mutlak benar. Merantau membuat kita bertemu suasana
baru, wajah-wajah baru, yang pada gilirannya menjadi teman bahkan saudara.
Karena tidak mungkin mendapat ganti orang tua, ‘saudara’ yang lebih fleksibel
maknanya akan kita temukan di mana-mana jika sanggup beradaptasi. Cara kita
membawa diri, menyesuaikan sikap dan memperlakukan selaras dengan karakteristik
masing-masing akan menjadi faktor penentu. Jika sudah beradaptasi dengan baik,
maka kosan terasa rumah yang hangat dan dipenuhi canda-tawa.
Waktu
pertama-tama merantau, seringkali kalimat ini keluar dari mulut saya: “kapan ya
kehidupan kembali normal seperti sediakala?!”
Di
kos pertama hanya ada seorang kawan yang nyangkol di hati. Itupun mahasiswi
semester akhir yang tinggal menghitung bulan untuk pergi. Walhasil keakraban
kita hanya berkisar hitungan jari. Tapi uniknya, mbak kos yang satu itu dari
jurusan matematika dan bernama “Atun”. Sungguh suatu kebetulan yang membuatku
nyaman. Perpaduan antara bapak dan ibu yang gemar menasihati dengan kata-kata
lembut.
Menjelang
semester dua, kelulusannya memisahkan kami. Maka terjadilah kekosongan atau status quo dalam kehidupan
persahabatanku. Baru saja merasa punya satu kakak, tiba-tiba diambil oleh
takdir bernama wisuda. Dan mulailah ketidaknyamanan bermunculan satu persatu.
Berawal dari fakta bahwa kosan saya sering sekali mendapat tamu laki-laki,
keluar masuk tidak jelas, bahkan sampai menginap tanpa diketahui. Parah ya.
Padahal kosan itu berinduk semang yang mahal dan seharusnya ‘nyaman’. Disusul
fakta tidak enak kedua, bahwa kosan saya selain tidak nyaman juga jauh dari
aman. Sebuah motor hilang di siang bolong. Tentu ini membuat gempar, bagaimana
tidak, wong pemiliknya di kos dan diparkiran juga ada orang. Sejak hari nahas
tersebut, diperlakukanlah kebijakan sampah yang melarang ‘orang asing’ masuk
hingga pukul 9. Sedangkan bagi mahasiswa, jam sembilan ibarat senja yang
digunakan orang-orang untuk pulang dengan santai. Masa pagar dikunci, parkir
digembok dan tirai-tirai ditutup rapat pukul segitu. Lha saya yang baru
pulang dari nonton pameran lukisan, masa harus menghadap ibu kos hanya untuk
masuk kamar yang sudah dibayar!
Itu
masih bukan masalah. Karena hal paling menyebalkan adalah menemukan sosok
laki-laki saat hendak ke kamar mandi. Tidak sebatas itu, beberapa ada yang
memasukkan teman atau entah saudara ke kamar. Betapa tidak tahannya hati ini.
Setiap hari mulai bertanya-tanya: ini kos atau tempat penginapan, hmm.. atau
malah kandang?
Puncak
dari segala suka-duka di kos pertama adalah diusir! Ya. . .walau bagaimanapun
yang pertama selalu berbeda. Impresi pertama akan terkenang sepanjang masa.
Sudah
ya, diusir tidak perlu diceritakan panjang-lebar. Karena saya tidak sedang
membicarakan ‘luas’ dari nano-nanonya kos pertama. Bahagia ya disyukuri,
dukanya tidak usah dibesar-besarkan.
Begitulah,
dari kos pertama berlanjut ke kos dua, sampai empat kali. Baru di Semester 4
saya menemukan tempat yang menyamankan diri dan tak membuat ingin lari. Kos itu
nyempil di belakang rumah makan mahal (tidak mewah, biasa saja), dan berjarak
sekitar 2,5 kilo dari kampus. Sebagai pedestrian, awalnya berat menempuh jarak
kos-kampus setiap hari. Tapi senyum penghuni kos ini meringankan kaki dan
menyederhanakan hidup yang rumit. Kos yang saya tinggali sekarang bernama
Gayamsari 13, satu-satunya angka keramat dalam semesta gayamsari. Tapi keramat
bukan berarti sial. Saya pribadi ingin mengkeramatkan Gayamsari sebagai tempat
menumpahkan suka-duka. Rumah kedua setelah kampung, dan rumah yang
sebenar-benarnya rumah. Berkat insiasi (lupa tepatnya), gayamsari disebut GSG
13 atau GayamSari Girl 13. Berisi 7 orang perempuan dari latar belakang berbeda
dengan tujuan sama yang dipersatukan di bawah langit Undip.
GSG
13 membuatku merasakan nasihat Imam Syafii, mereka adalah saudara tanpa ikatan
darah. Lebih dari teman apalagi kenalan. Ruang utama kami adalah depan tv yang
tepat di depan kamarku. Jadi kapanpun ada yang nonton tv, aku tidak bisa tidur
atau melakukan hal-hal yang membutuhkan konsentrasi. Seringnya malah tergoda
untuk bergabung dan melantur tidak jelas sampai tv bosan ditonton kami.
Dalam
tulisan kali ini, saya ingin memperkenalkan mereka, atau tepatnya menulis untuk
diri sendiri agar suatu saat kangen bisa langsung membaca dan terkenang segala
memori. Ya minimal kenangan sebelum menulis catatan inilah. Seperti lagunya
project pop “Kalian sangat berarti, istimewa di hati, senangnya rasa ini.
Jika tua nanti kita tlah hidup masing-masing, ingatlah malam ini J”
Kami
sudah seperti saudara, yang mengatakan bahwa cabe itu pedas, dibanding membiarkan
salah satu dari kita sakit perut setelah memakannya. Jujur itu mujur, dengan
mengatakan yang sesuai fakta, minimal tidak ada yang usus buntu karena
merasakan pedasnya kalimat orang di luar sana. Pernah suatu kali ada yang baru
putus dari pacarnya, dia datang-datang menangis dan mengadu, lalu apa yang
terjadi? Jangan kira kami akan menghubungi cowoknya agar si A diam, yang ada
justru kalimat seperti ini: “Kamu buta! Dia itu jahat-sejahatnya manusia.
Kalau dia sayang mana mungkin menyakitimu seperti ini. Dia bahkan membawa-bawa
orang tua. Tolong dong buka mata! Udah ah, jangan nangis. Don’t lowered your
grade by droping many tears!
Itu
baru contoh kecil. Masih banyak percekcokan lain, dari yang sederhana sampai
luar biasa, dari diskusi capres-cawapres sampai Jeremy Tety yang lebay henti,
dari mulai ribut makan di mana sampai perang mulut yang berakibat diam-diaman.
Tapi di GSG 13 proses “perang dingin” takkan pernah bertahan lama. Paling
banter tiga hari, lagi pula lebih dari itu kan dosa hehe.
Itulah
mengapa kami seperti saudara, tidak ada apapun yang bisa disegankan kecuali
minta uang (iyalah). Bahkan walau sudah punya kamar sendiri-sendiri, siapapun
akan dengan bahagia menjajah kamar tetangganya yang baru dirapikan. Kadang aku
membayangkan ‘kami seperti kelompok S.A (Special A)’, beranggota tujuh siswa dengan isi kepala berstrata yang tak
bisa dipukul rata. Kalau S.A ada seragamnya, maka masing-masing kami memiliki gelang serupa.
Berikut ini nama saudara-saudara
baruku:
·
Citra
Aku pikir dia
yang paling objektif di antara kami semua. Kata-katanya pedas, bila memang
harus begitu. Dia ini banyak omong, tapi juga banyak baca buku. Jadi omongannya
nggak pernah meleset dari quote dan obrolan berbobot. Walaupun kalau sedang tak
bisa dimengerti juga suka nyleneh dan aneh. Mahasiswi jurusan Sastra
Inggris ini paling sering memperkenalkan terminologi baru, seperti: Worthed,
distorsi, sporadis, STG (singkatan dari Astaga), ji-ei-ji-ei-way (jijay), semonto,
so desune dan masih banyak lagi yang bila dikumpulkan bisa membentuk KBBC
(Kamus Bahasa Baku Citra). Dia sering memalpraktikkan bahasa yang ditemukan di
buku dengan kehidupan sehari-hari. Unikkan?
Dan karena satu
fakultas serta mengambil organisasi plek sama, kita berdua jadi seri
bertemu. Nggak enaknya ngobrol sama Citra adalah kita jadi merasa bego
sebego-begonya manusia. Bagai katak dalam tempurung yang tak pernah kenal dunia
luar. Aku sering bertanya-tanya, berapa buku yang sudah dia baca sepanjang 20
tahun?
Tapi selain
pedes, dan tidak tahan mengkritik, di satu sisi Citra sangat keibuan. Keibuan
yang mendekati ibu-ibu. Masa aku Cuma bergumam “ada air nggak, tenggorokanku
lelah nih dari tadi ngomong terus.” Langsung deh Citra melesat sambil membawa
segelas air putih untuk kuminum. Harus kuminum. Dia juga kadang minta maaf
untuk hal-hal yang secara definitif bukan kesalahan. Contoh: dia pinjam headphone yang sedianya akan
kupakai, tapi berhubung ada acara seru di radio dan laptop belum kunyalakan
jadi dibawalah itu headphone ke kamarnya. Lalu kami kembali ke kehidupan
masing-masing, citra dengan headphone di kamarnya, sementara aku ngobrol
ngalor-ngidul dengan GSG 13 yang lain. Saking lamanya ngobrol, aku bahkan tidak
ingat akan menyalakan laptop, dan itu sudah pukul setengah 11 malam. Eh. .
.tiba-tiba Citra mengetuk pintu hanya untuk mengembalikan headphone coba, dan
tentu saja untuk meminta maaf. Padahal tanpa headphone pun aku masih bisa
hidup.
Begitulah
Citra, oia, dia punya radang tenggorokan yang kalau sedang kumat bisa sangat
mengkhawatirkan.
·
Diena
Anak ini
sebelas dua belas denganku. Pendiam yang mendekati aneh. Mahasiswi FKM
peminatan epit ini suka berdiam diri di kamar SEHARIAN. Nurul (teman
sejurusannya) mengira ia sedang mengerjakan tugas, pas ditanya “tugasmu piye
Din?” dengan santai Diena menjawab “Belum.” “Lalu kamu di kamar ngapain?”
Lanjut Nurul. “Aku tidur og. Kalo nggak tidur ya nonton video.” Daebak kan?
Dia
tergila-gila pada Kai EXO (Boyband), tapi dasar kami, Kai-nya Diena malah
dipanggil KAI (Kereta Api Indonesia).
Oia, Diena juga
sangat membanggakan motornya. Motor Mio tahun 2009-an itu dinamai STRONGIE, biar
kuat. Dan walaupun motornya imut seperti sang pemilik, dia selalu bilang bahwa
Strongie kuat. Makanya tidak keberatan kalau dipinjam siapapun. Entah orangnya
gendut, tinggi bahkan dibuat bonceng tiga pun tak peduli.
·
Nana
Nama panjangnya
Nanaaaaa, nama lengkapnya Siti Nurjanah. Tapi di mana-mana maunya dipanggil
Nana. Dia jurusan Sastra Inggris konsentrasi Linguistik. Anak bontot ini
suka sekali curhat, dan yah, sedikit manja. Tapi sifat-sifat itulah yang
membuatku merasa dia lucu. Dia suka gelendotan, curhat apapun, dan paling enak
dijadikan bahan ledekan. Paling gampang dibully. Btw, aku nyaman sekali
ngobrol sama dia. Seperti ngobrol dengan adikku di rumah.
Nana sangat
menyayangi motornya. Kalau Diena mensugesti bahwa motornya kuat, Nana justru
sebaliknya. Dia memperlakukan ‘si nok’ seperti hewan peliharaan yang harus
dimanusiakan. Saking memanusiakannya, Nana selalu mencari tempat paling teduh
di parkiran untuk si nok. Walaupun untuk itu harus berjalan jauh yang tidak
umum ditempuh pemilik motor dan motornya. Kalau disimpulkan dalam satu kalimat:
Nana adalah makhluk paling lucu yang mencerahkan kosan gelap kami.
·
Novia
a.k.a Opie
Dia satu
jurusan denganku. Sastra Indonesia konsentrasi Filologi. Dia teman kosku dari
jaman kos kedua. Sebagai manusia-manusia terusir, kami sudah akrab satu sama
lain. Suka ngobrol tentang apapun, tentang keluarga, cowok dan tentu saja
cita-cita. Terobsesi kuliah di Leiden sana. Saking terobsesinya dia sampai
kuliah bahasa Belanda 4 di jurusan Sejarah. Untung di sejarah ada Iqbal. Opie
ini paling cemerlang dalam urusan apapun. Jika diibaratkan hewan, opie adalah
Bunglon yang bisa beradaptasi secepat dia mau. Temannya banyak, kinerja oke,
gebetan juga serenteng.
Di antara kami
bertujuh, opie-lah yang paling bisa memproduksi tawa terkeras (ini sulit
diputuskan, karena bercanda kami tak mengenal jaim). Dia anak ketiga dari empat
bersaudara. Ngobrol dengan Opie serasa bercermin, nyaman dan mengalir saja
seperti menulis di buku harian. Walaupun sering mengaku paling miskin, tapi
Opie tak pernah pelit uang. Dia suka jajanin temennya, bahkan suka memberi
apapun yang dia mampu memberi. Mungkin itulah kenapa Allah memudahkan jalannya.
Opie dijadikan teman baik bagi semua orang.
·
Nurul
Nah, ini dia
teman sekabupaten. Tapi walaupun berasal dari kabupaten yang sama, kami selalu
menggunakan bahasa Indonesia. Nurul adalah mahasiswi FKM konsentrasi epit. Dia
pegiat PKM yang selalu berusaha mengajukan proposal. Sebelas dua belas dengan
opie yang mantan Kemenristek BEM FIB
Undip. Nurul bisa dibilang ratu infotaiment, tapi dia juga enak diajak ngobrol
apa saja. Selalu nyambung kecuali sastra. Dalam hal berargumen, Nurullah yang
paling seimbang jika disparingkan dengan Citra.
Ngomong-ngomong
soal sastra, Nurul ini rada alergi metafora. Tahu lagu ‘Selimut Tetangga’? Di
tangan Nurul, lagu itu adalah lelucon paling lucu yang bikin semua orang
ketawa.
“Ngapain selingkuh bawa selimut tetangga?
Emang miskin banget ya, sampe nggak punya selimut!”
Hampir mirip
dengan Citra, dia selalu menggunakan logika.
Dalam urusan selera, Nurul adalah “Chaginya[1]”
Opie. Mereka rela begadang demi korea, download WGM dan Running Man setiap
senin. Jika dikumpulkan menjadi satu, Nurul dan Opie adalah sekte pemuja artis
korea yang bagi mereka isu Hallyu Wave meredup hanyalah hoax.
Di sisi lain,
Nurul yang ceria punya bagian tertutup yang tidak pernah diketahui housemate
manapun. Tidak juga aku.
Satu-satunya kesamaanku
dengan Nurul adalah kami sama-sama pernah memimpikan UI sebagai almamater
setelah SMA. “Nisa aku pengin jaket UI yang kuning silau itu. kan kuning adalah
warna intelektualitas.” Katanya pada suatu ketika. Saking sama-sama gila karena
pernah ditolak UI, kami pernah ngobrol sampai jam satu malam hanya dengan tema
itu-itu saja. Edan rak?
·
Tari
Adalah ratu
organisasi di kos kami. Kadep salah satu komisi di Sema fakultas, ngelesin,
ikut komunitas, hobi nglukis, pintar ngarang… multi talent pokoknya. Dia
mahasiswa FPIK yang suka berinteraksi. Temannya banyak. Bisa dibilang dia
adalah orang sibuk yang anehnya masih bisa mengurus hal kecil seperti nyetrika,
nyuci, dan ehm. .pacaran. Dia suka sekali makan mie. Hampir mengalahkan rekor
opie dalam urusan makanan berpengawet itu.
Tari suka
banget ngerancang surprise. Di kepalanya yang kecil itu bisa bermunculan
ide-ide yang tidak terpikirkan dan kadang, mengagetkan.
Segitu dulu aja deh. Karena ‘segitu’
pun ternyata sudah 7 halaman Word yang berarti seperti makalah. Walaupun
tulisan ini tidak ada manfaatnya selain membantu membuang waktu, setidaknya
bisa memenuhi blog. Inilah saudara tanpa darahku, mereka yang membuatku merasa
punya keluarga dan tidak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar