Feminisme yang notabene gerakan
penyejajaran status pria dan wanita, ditengarai memiliki berbagai faktor
pemicu. Antara lain:
1. Media massa penyebar ideologi
gender
Gender
biased yang telah lama mengakar tidak terlepas dari peran besar media
massa. Selain sebagai penyalur informasi, media juga membentuk pola pikir
masyarakat dengan semiotika dan slogan-slogan yang membelah pria-wanita
berdasarkan karakteristik maskulinitas dan feminis. Mata, telinga dan pikiran
masyarakat dijejali dengan stereotipe gender yang secara khusus mencirikan
bahwa perempuan adalah makhluk kelas dua dengan ranah dapur, pupur dan
kasur. Sementara laki-laki dengan segala superioritasnya mendominasi dunia di
luar tiga hal tadi. Ironisnya, kemajuan teknologi serta upaya penyejajaran
kedudukan antara pria dan wanita, terbatas pada reduksi bentuk pengekangan.
Tidak percaya?
Hampir
semua superhero dalam film barat, (apalagi) Indonesia, berjenis kelamin
laki-laki. Meski di satu sisi kita juga mengenal Wonder Woman, ia masih
seorang pahla(wan/wati?) yang juga eksebisionis dalam segi sensualitas. Sedangkan
superhero laki-laki memiliki dunia maskulinnya sendiri dan (hanya) menempatkan
perempuan sebagai pemanis kehidupan tanpa mengganggu tugas super mereka. Contoh
lainnya majalah perempuan. Pernahkah anda menemukan majalah perempuan atau
bahkan “wanita” yang mengangkat tema politik, kebudayaan serta hal-hal berbau
intelektual lainnya? Saya pribadi belum pernah. Untuk menemukan tema-tema ‘angker’
seperti itu, seorang perempuan harus lari pada Koran yang santer dengan image
‘bacaan bapak-bapak’. Karena isi majalah perempuan sendiri hanya berkisar
antara kecantikan, mode, etiket pergaulan dan gossip selebritis. Oia, satu
lagi, tips mempertahankan hubungan atau tips menghadapi pria hidung belang!. Ironis
sekali. Media, di balik misi menghiburnya, ternyata membentuk pola pikir
masyarakat agar sepakat untuk tidak sepakat bahwa pria dan wanita adalah
sejajar. Secara parsial, media turut mengamini dan (entah dengan atau tidak)
sadar mendengungkan issue perempuan dibesarkan untuk menyiasati sikap
laki-laki. Dibesarkan untuk menjadi cantik agar selalu mendapat tempat di sisi
yang mendominasi. Belum lagi jika membicarakan iklan yang penuh unsur seksisme.
Walah.. tidak terhitung!
2. Politik Busana
Hah?
Busana berpolitik?
Itu
pasti komentar retoris pertama yang muncul dari pernyataan di atas. Dan
jawabannya adalah YA.
Busana
yang dalam pelajaran muatan lokal memiliki definisi sebagai instrument yang
berfungsi untuk melindungi tubuh dari ganasnya alam, telah amat sangat
mengalami perluasan makna. Rok mini contohnya, dari segi apapun perempuan serba
direpotkan ketika mengenakan busana “tidak maksud” ini. Baik saat duduk,
menungging, jongkok apalagi berdiri di tengah terpaan angin. Sebenarnya
perempuan mengenakannya juga karena terpapar pandangan pria yang konon katanya
MENCINTAI KEINDAHAN. Sedangkan kaum hawa hanyalah makhluk yang tanpa
pretensi apapun memiliki kebutuhan besar untuk diperhatikan. Tidak peduli perhatian
itu dalam wujud pujian, kekaguman bahkan pandangan menjijikan.
Mode
politik busana ini dari zaman ke zaman terus mengalami Ad Infinitum.
Mulai dari Jawa jaman saya belum lahir, sampai jawa ketika saya membuat ulasan
ini, busana perempuan masih sarat oleh unsur seksisme. Lihat saja kebaya atau
kemban yang serba ketat dari atas sampai bawah, depan-belakang, bahkan hingga
ke dalam yang seringkali membuat sesak nafas. Otomatis busana elegan yang saru
ini membatasi gerak perempuan, jangankan untuk berlari, untuk berjalan saja
barangkali bisa dibuat lomba sama bebek. Sekali lagi, saking feminimnya. Dan
yang lebih irasional adalah wisuda. Di zaman yang Hulk saja bisa diringkus,
perempuan dengan tidak masuk akal berdandan subuh-subuh hanya untuk berkebaya, sementara
jubah hitam yang panjangnya sedengkul sudah menanti untuk menutupi. What the
heck! Sayangnya ini sudah terlanjur membudaya. Saya juga belum tentu bisa
menentangnya. Hehe. Walaupun belakangan sudah mulai berpikir kalau wisuda nanti
akan merias wajah saja, dengan berpakaian kaos dan bawahan rok kebaya pinjam
ibu. Kan praktis, bahkan kalau perlu yang dandanin juga ibu! Atau kalau ada
gerakan tidak usah berdandan, saya akan langsung berdiri di shaff pertama.
Di
satu pihak ada beberapa feminis yang mencoba berpakaian ala pria. Seperti
kemeja, celana, kaos dan apapun yang jauh dari keriweuhan (dan jujur,
nyaman sekaliii). Namun, pernahkah anda berpikir bahwa tindakan tersebut justru
terlihat mengamini bahwa diam-diam perempuan mengakui superioritas lelaki. Yakni
maskul(in)isasi perempuan. Politik busana ini secara sosial diperbolehkan.
Sementara laki-laki tidak ada yang mengalami feminisasi busana, kecuali dia
banci atau tuntutan profesi. Tapi dikotomi busana, bagaimanapun menjadi ranah
yang sulit dimengerti. Perempuan tetap dianggap objek, sepria apapun dia
berpakaian. Buktinya di dunia yang sangat mainstream ini, pelecehan seksual
masih banyak dimotori oleh makhluk bernama laki-laki.
3. Perempuan dari Kacamata Seni(man)
Sejauh
ini, perempuan hanya dijadikan objek seni. Seperti model patung, model lukisan
dan yang modern tentu saja model fotografi. Ia dijadikan objek eksploitasi yang
ditempatkan dalam sudut tergelap untuk memamerkan dirinya. Tentu ini dilakukan
oleh seniman laki-laki yang mencintai keindahan tadi. Sedikitnya, ini
mendedahkan fakta bahwa perempuan (dengan segala eksebisinya) masih dalam taraf
objek yang dituntut, bukan subjek yang berbicara. Sadarlah, hey para model yang
pakaiannya kekurangan bahan! Semakin kalian memamerkan keindahan yang entah
dimaksudkan bagi siapa, semakin terlihat bahwa kalian adalah makhluk puritan
yang memposisikan diri sebagai benda pemuas. Mengapa pula harus berbahagia atas
ketenaran tidak prinsipil yang harus merendahkan diri serendah-rendahnya.
4. Bahasa(wan)ita
Tahukah
kalian apa itu emansipasi? Pasti tahu dong. Kalau nggak tau pulang saja ke jenjang
TK, karena SD pun sudah banyak yang tau. Itu loh, istilah yang menemui panennya
setiap bulan April. Yap, Indonesia memiliki Kartini sebagai ujung tombak emansipasi.
Kartini merupakan pahlawan (lihat penyebut gelarnya, pahla-WAN) perempuan yang
menuntut penyejajaran peran dengan laki-laki. Putri Jepara ini menuntut dengan
cara menulis, bukan bermodel ria atau memasuki dunia absurd lainnya untuk
meneriakkan ketidakadilan. Emansipasi bisa dibilang kakak-adikan sama
feminisme. Tapi feminisme yang belum banyak makan asam garam kehidupan masih
sangat bias. Emansipasi itu gerakannya, sementara feminis lebih ke sifat dan
orangnya. Kendati bertolak dari unsur yang sama, yakni penolakan terhadap
dominasi patriarki, emansipasi fokus pada peranan perempuan. Sedangkan
feminisme yang banyak jenisnya itu masih kurang terarah (mungkin karena
sejarahnya masih singkat dan polarisasinya tidak nggenah kali ya).
Apa
kaitan antara feminisme dan emansipasi dengan bahasa sebagai faktor yang
mempengaruhi hubungan pria-wanita? Sebenarnya mitos kebahasaan feminisme itu
banyak sekali, tapi baiklah, mulai dari yang terdekat. Perempuan dengan segala
kerendahan hatinya telah dicap sebagai makhluk cerewet, tukang gossip, tukang
curhat atau apapun yang memberdayakan kinerja mulut. Padahal dalam interaksi
sehari-hari, prialah yang cenderung memulai pembicaraan, melakukan first
move dan tak jarang pula mendominasi. Sebenarnya sah-sah saja, tapi
pertanyaan mendasarnya adalah “alasan fundamental apa yang menyebabkan
perempuan dicap sebagai makhluk bermulut besar?”. Itu contoh satu.
Kedua,
penyebutan istilah yang berhubungan dengan profesi: sastrawan, wartawan, pahlawan,
cendikiawan dsb. Bahkan yang lebih sensitif lagi, Tuhan menggunakan persona
“He”. Tentunya ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang kendati impulsif
terus menerus menghantui otak. Haruskah para feminis membuat istilah
“cendikiawati” untuk menunjukan sisi inteleknya? Juga, kenapa harus dalam kata
“woman” ada unsur “man” yang memperbesar syak wasangka bahwa perempuan
berhutang budi pada laki-laki sejak dari tulang rusuk. Sayang (belum) pernah
ditemukan penelitian mendalam mengenai linguistik historis komparatif agar peristilahan
ini dapat terjelaskan sejelas-jelasnya kejelasan. Padahal ini menarik sekali,
hanya saja terlalu utopis seperti mengejar horizon, karena harus mengurutkan
sejak zaman nabi adam As. Tapi saya pribadi kurang tau, belum pernah ngubek2
jurnal ilmiah seluruh dunia tentang ini soalnya.
Demikianlah
faktor yang mempengaruhi feminisme (menurut feminografi Kris Budiman).
Sebenarnya ada satu hal lagi bahasan, tentang dua orang feminis internasional
yakni Julia Kristeva dan Helen Cixious. Tapi karena keterbatasan daya kerja
mata, akhirnya cuma bisa menarik kesimpulan:
Feminisme
merupakan upaya menumbangkan oposisi biner hierarkis antara laki-laki dan
perempuan yang terlanjur dianggap sebagai hal “kodrati”. Feminisme bukan upaya
egaliter dan borjuis agar perempuan mendapat hak atas kekuasaan. Jadi, para
pria, perempuan tidak picik-picik amat kok tentang hal-hal berbau dominasi.
Kami hanya risih dipandang sebelah mata, atau dinilai dengan sudut pandang
laki-laki yang rumit dan (kurang) menyenangkan itu. yah. . . walaupun fakta di
lapangan ada sebagian yang sukarela dan ikhlas2 saja “diseperti-itukan”.
Sekian, terimakasihJ
Daftar pustaka:
Budiman, Kris. Feminografi. 1999.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar