Saya tidak pernah menyesali apapun dalam kehidupan ini. Konsekuensi
dari keputusan-keputusan yang saya ambil, atau mengalami semacam ketakutan
absurd pada masa depan. Tidak pernah.
Satu-satunya hal yang saya
sesalkan adalah itu.
Saya sangat mencintainya. Bahwa dia telah memberikan begitu banyak
hal, pelajaran juga pengertian yang saya bawa hingga hari ini. Tapi bahkan
tidak satu kali pun saya berterimakasih. Tidak satu kali pun saya menunjukan
betapa dia serupa obat yang menyembuhkan. Sebagaimana penawar paling mujarab yang
menamatkan segala jenis racun. Bagi saya sendiri, dia selalu lebih dari itu.
Saya ingat, waktu itu untuk pertama kalinya saya takut pada
kehidupan. Untuk pertama kalinya tidak menginginkan apapun. Sedikit berlebihan,
memang. Tapi waktu itu, takut adalah semacam representasi bahwa saya tidak
percaya dia pergi. Menghilang begitu saja tanpa akan saya temui kembali.
Bagaimana bisa saya meneruskan hidup yang seperti itu?
Saya punya sangat banyak waktu:
Saat ngobrol di beranda, beberapa kali di terminal saat dia tak
pernah ke mana pun selain di samping saya, saat dia pulang dengan wajah letih,
saat dia masih menyuruh saya makan setiap hari meski tahu bahwa orang dewasa
tak butuh diperingatkan, saat dia bertanya ‘kapan pulang?’ tapi tak pernah saya
jawab dengan serius, dan sangat banyak saat di mana dia menjadi sosok penting
tanpa pernah saya sadari.
Saya menyesal.
Walaupun waktu dengan ribuan detiknya perlahan menghapus luka,
kehilangan akan kembali berkali-berkali. Membuat saya tidak bisa tidak
menangis. Karena saya tidak bisa, benar-benar tidak bisa dan takkan pernah,
mengatakan rindu padanya secara langsung. Saya tidak tahu, adakah masa
sesederhana ‘kemarin’ yang mampu membuatnya ada di depan mata. Sekali saja.
Dia, pria paling hebat dalam hidup saya.
Yang tidak memberi semua keinginan, tapi memenuhi kebutuhan. Yang selalu
pelit pujian, tapi saya justru termotivasi karena itu. Yang tidak akan beranjak
sebelum saya pergi dengan aman. Yang memberi perlindungan sekaligus kenyamanan
lebih sempurna dari pelindung terbaik manapun. Yang tersenyum sambil berkata “tidak
apa-apa”, padahal saya manusia brengsek yang gagal dalam ujian. Yang memberi
saya kekuatan bahkan dia saat-saat lemahnya.
Saya mencintainya. Tapi kalimat ini hanya akan membusuk tanpa
pernah didengar atau dimengerti.
Kenapa saya idiot sekali. Kenapa saya tergoda dengan hal-hal
picisan, tapi tidak memahami kesejatian selagi bisa mengungkapkan. Kenapa saya
tidak ada di saat dia berada pada masa sulit, padahal kesempatan terbuka sangat
lebar. Kenapa saya buta terhadap itu semua!
Dan sekarang,
Dia tidak pernah beranjak dari sana. Sekaligus tidak ada sebagai ‘sosok’
kapan pun saya ingin menemuinya. Tentangnya sekadar hari-hari lalu, hanya ruang
kosong tak berpenghuni, baju yang dilipat rapi tapi takkan dipakai lagi, hanya
album dan senyum yang mengekalkan kenangan, juga sejenis semangat yang saya
simpan sendiri.
Untukmu, aku ingin jadi seseorang.
Salam sayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar