Jika hidup ini seperti ujian dengan soal pilihan ganda, maka
seandainya disuruh memilih bakat, saya akan memohon pada Tuhan Yang Maha Pengasih
yang tentunya tidak pilih kasih agar memberi saya kemampuan menggambar.
Saya bukan sedang kufur nikmat atau mencoba menghitung karuniaNya
yang tidak terbatas. Tidak, saya tidak sekurang ajar itu. Tapi sampai sekarang
saya masih tidak mampu menutupi kekaguman mendalam terhadap tangan-tangan ajaib
yang bisa memindahkan ide/pemandangan/kritik ke dalam kertas. Itu keajaiban
dunia dalam tataran nyata. Bahkan teknologi photosop atau fotografi pun mungkin
tidak kelas sama sketsa buram. Ya, sketsa buram yang kesannya mirip oret-oretan
itu seperti punya daya. Ada sesuatu yang lebih dari sekedar arsir, sesuatu yang
bisa dimaknai dan terkadang seolah menyindir.
Saya selalu iri pada mereka yang mampu bersahabat dengan pensil.
Seolah persahabatan itu sanggup menciptakan dunia estetika sendiri bahkan hanya
dengan hitam dan putih. Jujur, mungkin iri ini mencapai taraf obsessive
compulsive. Sampai-sampai tidak terima kalau salah satu dari mereka minder sama
efek 3D yang perlahan meminggirkan sketsa dan ilustrasi. Kawan, aku saja
percaya kalau teknologi tidak akan mengalahkan buatan asli manusia. Okelah sama-sama
bagus, dan mungkin punya nilai estetika juga, tapi sejak kapan mesin bisa menciptakan
rasa dan karsa? Tanganmu punya daya lebih untuk melukiskan semiotika. Lagi pula
teknologi tidak tercipta untuk mengalahkan seni.
Dan lagi, menggambar itu semacam keahlian yang tidak bisa diganggu
gugat. Sejak SMA saya menjadi yakin kalau menggambar/melukis cuma bisa
dilakukan oleh orang-orang terpilih. Meski bisa dilatih, hasilnya tetap beda,
antara orang yang dibekali bakat dengan amatir gigih sekalipun. Buktinya, meski
dulu latihan keras di kelas seni rupa, nilai teman yang berbakat selalu lebih
tinggi. Antara 85-90. Sementara kisaran nilai saya hanya 70-85. Itu pun bahagia
minta ampun kalau dapat 85.
Hal ini tentu berbeda dengan menulis, main musik, akting dan
beretorika. Kemampuan-kemampuan itu bertumpu pada latihan. Makanya ada quote
anonim yang menyatakan bahwa bakat cuma berperan 20%.
Namun, terlepas dari apapun bakat kita, terpenting adalah menemukan
passion dan menekuninya. Karena hidup itu sendiri bukan pilihan, tapi anugrah
dan pemberian. Ada yang selalu tahu kebutuhan mendasar kita.
Jadi, tekuni saja passionmuJ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar