Waktu merubah cara pandang seseorang. Ya, selalu demikian.
Ada beberapa titik dalam kehidupan yang membuatmu terpaku lebih
lama dari biasanya. Titik kejut yang menyeret pada kondisi paradoksal, dengan
atau tanpa peringatan sebelumnya. Dan dalam kehidupan pribadiku, itu sudah
terjadi dua kali.
Cinta, kosakata paling estetis sekaligus picik yang pernah kutemui
dalam kamus hidup. Tidak, tentu saja aku tidak sedang membuka aib tentang nama
yang begitu lama bersarang dalam hati. Tapi yah,, sedikitnya ini tentang
seseorang. Berawal dari sepotong kata itu bahtera rumah tangga kami yang
sederhana dan bahagia, bagai terhempas menuju gelombang badai tak terhingga.
Gelombang yang pada akhirnya merenggut keleluasaan untuk sekadar bersama.
Membuat himpunan orang-orang tercintaku tiba-tiba berbalik arah untuk menjadi
bukan dirinya.
Cinta merubah segalanya menjadi lebih indah. Cinta juga merubah
segalanya menjadi lebih rumit. Seperti tali mati yang tak bisa diurai lagi
ujung simpulnya. Dan kekalutan tertinggi adalah menyaksikan dua malaikat tanpa
sayapku merasa durhaka pada Sang Pencipta. Wibawa mereka sebagai malaikat
terlucuti oleh pedang iblis. Yang helai demi helai menguliti kredibilitas
kedewaan. Maka atas dasar kecintaan pada mereka, kuubah cara memandang satu
kata itu. Segala tentangnya hanyalah regulasi omong kosong dan utopia tanpa
makna.
Titik kedua adalah sebuah hari, waktu dan peristiwa. Kali ini
menghunjam dengan kejam seluruh persendian hidupku. Mulai dari caraku memaknai
usia, menguyah luka menjadi pelajaran berharga, serta kumpulan kebodohan yang
berjudul penyesalan. Bahwa harusnya sesal memang seperti pendaftaran. Terjadi
di awal dan tak ada luka di akhir pertemuan.
Kiamat kecil itu memukulku sedemikian dahsyat. Hingga pertanyaan
masa kecilku muncul kembali. Pertanyaan yang barangkali dimiliki setiap orang
pada awal perkembangan otaknya. “Kenapa aku terlahir di sebuah keluarga, dan
apa manfaatku bagi mereka?”
Sungguh, kematian adalah hal yang tak pernah absurd. Dia laksana
virus yang tak terlihat inkubasinya, lalu tiba-tiba menyerang organisme dan
membuatnya tunduk pada kenyataan bahwa ia sekarat. Siapa pula tak sekarat
melihat ibunya menangis saban hari. Bukan, bukan tangisnya yang membuatku
sekarat benar. Tapi apa rasanya, menyaksikan orang yang biasa menyeka air
matamu, berubah menjadi secawan luka. Rapuh, retak dan koyak sehingga duka
merembes ke mana-mana. Dan aku hanya manusia yang tak bisa menyembuhkan luka
malaikat. Manusia biasa yang lebih terluka karena hanya sanggup meminjamkan
waktu, telinga dan hati untuk bersandar sejenak.
Sejak hari itu, tak sekalipun aku lupa bahwa segala yang berawal
senantiasa berjalan menuju akhir. Dan sesuatu yang kita sebut ‘akhir’ tersebut,
adalah awal dari segala yang berbatas horizon. Aku tahu akan segera berakhir,
lalu berawal di kehidupan yang berbeda. Seperti abah yang sekarang di tempat
tak terjamah. Kecuali oleh doa, amal jariyah dan ilmu yang bermanfaat.
Sejak hari itu, cakrawalaku membal seperti karet ulur. Aku adalah
manusia berbeda yang menjadi saksi, hidup memang laksana roda. Bahwa soal
‘terkadang di atas kemudian di tapal batas’ adalah analogi aksiomatis yang tak
usah diperdebatkan lagi. Jika masih ada yang yakin hidup itu mirip tangga, maka
jangan kaget kalau suatu saat terpeleset. Nikmati saja perjalananmu menuju
klimaks.
Sejak hari itu, ada sosok yang tumbuh gigantis di kepalaku. Sosok
tersebut berwajah bias. Menghantui seperangkat pikiran dengan kegalauan
dilematis. Tentang cita-cita dan kewajiban terhadap orang tua.
Bagaimanapun, aku sudah berada di sekililing mereka (orang-orang
yang mencintai ilmu). Aku tak ingin terlempar (lagi) dalam zona nyaman yang
melenakan. Ingin terus merasa bodoh karena filsafat, bisu dalam diskusi, dan
tumpul di mata sastra. Tapi setidaknya lingkaran ini membuatku berkembang.
Terus berada di jalur yang sebisa mungkin tidak memihak. Aku mencintai dunia
mahasiswa dengan segala ketidaknyamanan yang ditimbulkannya. Bahkan masih
mengharap jas almamater yang warnanya adalah simbol intelektualitas itu. Silau,
namun semua orang tahu untuk memakainya butuh melampaui ujian 3S: sungguh
sangat susah.
Di sisi lain, wanita yang kepadanya aku rela menjadi tidak ‘aku’,
sangat butuh teman. Bukan teman hidup tentunya. Tapi teman yang mau berkata
‘ya’ tanpa prasangka. Dan siapa lagi kalau bukan anaknya: aku dan
saudara-saudaraku.
Hidup yang seperti roda ini membuatku ingin egois. Toh, ibu sudah
mengatakan tidak masalah tinggal sendirian. Jadi aku bisa leluasa menjadi
penuntut yang tak mau dituntut. Karena di kepala picik ini hanya ada sastra,
antropologi dan antropologi sampai mati.
Tapi malam ini, setan antropologi dalam tubuhku ditampar. Tuntutan
egosentrisnya dipermalukan oleh tekad innocent anak tujuh belas tahun yang
bahkan belum mencicipi pahitnya soal SNMPTN. Anak SMA yang sebenarnya mirip
aku, ada musik, musik dan cuma musik di kepalanya. Malam ini aku tahu, simfoni
hidupnya telah berubah. Simfoninya tentang masa depan berubah mewujud balada.
Dengan nyawa utama bakti kepada orang tua. Dalam hal ini, aku mengakui adik
semata wayangku telah akselerasi beberapa level perihal kedewasaan. Jujur saja,
aku malu besar-besar terhadap kalimat ini,”Gita mah mboten pengin muluk-muluk.
Pengin njaga ibu.”
Seketika aku menangis begitu membaca bbm tersebut. Betapa setan
antropologi dalam diriku demikian brengsek. Sehingga aku menjelma lintah darat,
membiarkan orang tua bekerja keras, sementara di sini tinggal belajar. Ya Allah
ampuni hamba, maaf karena selalu sangat rakus terhadap masa depan yang absurd
itu. Terima kasih telah mengingatkan lewat manusia kecil berjiwa besar. Aku
menyayangi ibu, menyayanginya karenaMu. Sungguh karenaMu.
Terbukti, waktu merubah cara pandang seseorang. Ya, selalu
demikian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar