Malaikatku,
Ya, aku tau sebenarnya kau malaikat. Kalau tidak, mengapa rela
membiayai tanpa balas jasa. Kalau tidak, siapalah manusia ini dibanding semesta.
Kalau tidak, mana mungkin aku menulis ini untukmu.
Cintaku, kau ada di urutan ke tiga bersama ayah. Yang wajib kusembah
bila memang Tuhan berkenan membagi sesembahanNya. Sungguh tiada hak bagi hati
ini untuk berkata ‘tidak’. Pada senyum yang selalu memberi tanpa pernah
meminta. Hanya berharap lewat keriput yang aku tahu tak sesederhana
kelihatannya.
Ibu, kau mungkin belum tau. Dalam setiap air mata yang kau susut
dengan jarik kumalmu, adalah perih yang sama di pelupuk mataku. Ketidaksempurnaan
yang kau tunjukkan lewat getar di tasbihmu, adalah rindu tak sampai yang aku
juga punya. Inilah yang menyakitkan. Malaikatku tak pernah mampu mengatasi
sifat manusiawinya. Dia tetap sakit, dia tetap terluka, dia tetap rapuh oleh
pedang bernama kehilangan. Aku harus bagaimana? Terhadap beban yang tak mau dia
bagi. Berduka dari tempat yang jauh ini, sementara di sana kau bernafas dengan
atmosfer kesulitan. Bukankah mencintai berarti terluka bersama?
Ya Allah, aku sungguh takut. Semakin hari rasa takut ini kian
gigantis dan hampir meledak. Waktuku, dia tidak tau sampai kapan memberi
rentang pada kebahagian. Setitik saja, agar semua terlihat manis tanpa perlu
menyesal. Karena aku sudah terlalu banyak menelan pahit kepergian tanpa
berpartisipasi dalam senyumnya. Tidak ingin semua terjadi pada malaikat
tunggalku kini. Metrum tertinggi, puisi dan pelitaku satu-satunya.
Tolong jangan ambil dia dulu.
Atau bila aku tak punya cukup waktu untuk membahagiakannya.
Bahagiakan dia dengan cara terbaikMu.
Segala milikMu, hanya akan kembali padaMu. Bantu hamba Ya Rabb. Untuk
melaksanakan kewajiban seluruh persendian ini terhadap perantara eksistensi. Agar
bisa mencintainya dengan bakti sejak membuka mata hingga tertutup nanti. Menutup
lukanya dengan prestasi dan senyum kebanggaan. Membayar segala kekurusannya
dengan keringat. Serta mengembalikan seluruh kehampaan yang tengah direnggut
pembatas kehidupan.
Ayah bilang, harapan adalah rahmat Tuhan bagi alam semesta. Jika tanpa
harapan tidaklah sudi seorang ibu melahirkan anaknya. Kalimat itu, sejak awal dia
sudah menegaskan bahwa aku lahir dengan segenggam harap. Ya Allah, di manapun
dia sekarang, tolong sampaikan bahwa aku sedang berusaha memenuhi apa yang
lahir bersama kelahiranku. Seperti doanya agar memiliki keturunan yang tidak
memutus amal. Dengan segala kenangan, cinta dan puing-puing kebersamaan yang
tersisa, semoga malaikatku bisa menyaksikan kesuksesan. Karena dialah sekolah
pertamaku. Langkah awal menuju setapak kemegahan dunia. Allahhummaghfirlana
Wali Wa Lidina Warhamhumma Kama Rabbayana Saghira.
tulisan ini, menamparku yg beruntung masih memiliki keduanya.
BalasHapussemangat! senyuuum :)
menyentuh sekali... :)
BalasHapus:')
BalasHapus