Motivator Terbaik Adalah Diri Sendiri
Beberapa hari ini
aku merasa terpojok dengan pengetahuan minim, sangking kurangnya hingga mirip
manusia purba yang belum mengenal aksara. Memandang teman-teman pintarmu yang
cakap berdiskusi, serta aktivis kampus yang berpredikat dan bahkan sosok-sosok
tak terduga dari kampung halaman yang melanglang buana adalah semacam frustasi.
Sebentar,, ini bukan soal bersyukur atau tidak. Justru ladang introspeksi,
karena sekalipun frustasi, kesedihan pribadi ini bisa dijadikan setapak pertama
menuju kesuksesan. Meski sukses tak pernah ada ukuran pastinya. Ia laksana
karet yang senantiasa mulur saat kau berhasil mencapai titik tertentu. Titik
yang dulu kau pandang sebagai keberhasilan.
Sebut saja S,
teman yang pernah kutolak mentah-mentah dengan dalih sok suciku[1]
bahwa pacaran tidak ada dalam kamus kehidupan, sekarang telah tumbuh menjadi
manusia Internasional yang kuliah di belahan bumi Turki. Sedang aku makin terpojok
di Semarang yang kendati tengah tak pernah berarti ‘sentral’. Si S itu seperti
menghantarkan beribu-ribu tamparan. Mendarat tepat di tempat paling telak dari
sebuah pencarian. Sebagai teman sealmamater aku turut berbahagia. Namun orang
buruk selalu sedih jika ada yang lebih sukses darinya. Dalam hal ini aku
termasuk golongan manusia buruk. Jelas saja, aku lebih dulu SMA karena dia
menunda setahun, otomatis aku lebih dulu kuliah karena berhasil mencicipi
seleksi pahit perguruan tinggi negeri. Terlebih dia mengasingkan diri di ponpes
yang santer terdengar kurang informasi. Dan betapa kaget, terperanjat sekali
frustasinya aku saat menyaksikan dia akselerasi puluhan kilo di Turki. Sungguh
mak jleeebb tiada tara. Aprioriku yang sebanyak pasir pantai, dimuntahkan
seluruhnya tanpa tedeng aling-aling.
Tapi baiklah, aku
manusia sportif yang mau tak mau harus memaafkan S (loh kok!). Bagaimanpun, aku
bahagia pernah satu atap dalam bidang pendidikan.
Frustasi kedua
lebih dahsyat dari fenomena S. Ini jenis frustasi yang harus kuhadapi setiap
hari. Di kos, di jurusan, di wisma tetangga, di kontak hape dan semesta hidupku
di Tembalang. A misalnya, senior itu entah makan apa, dia selalu berhasil
menguasai suasana dan mengubah arus pemikiran banyak orang sesuai kemauannya.
Dia senantiasa besar mulut dengan alasan tak terbantah, bahkan terkadang entropi.
Sanggup membuat lawan bicara maupun pendengar mengalami ‘momen autis’ lantaran
terpesona oleh gagasannya. Di kos sendiri, aku menemukan yang nyaris mirip A.
Sedikit lebih menjengkelkan karena dia sering memotong pembicaraan. Tapi yah..
sesuai standar logika.
Selain S, A dan
beberapa yang mirip mereka, ada nasionalis mempesona yang sedang memuncaki
peran dalam sebuah wadah. Namanya D, dari kacamata pribadi tidak berlebihan
kalau aku menyebutnya reinkarnasi Soe Hok Gie. Walaupun cara gerak mereka
berbeda. Gie memilih berada di suatu titik steril untuk mengamati, lalu
mengkritik dari sudut tak terbaca birokrat. Sementara D terjun langsung ke
dalam sistem, kemudian menjadi ujung yang perlahan merangsek untuk
mengevalusi kerja birokrat yang tak layak. Boleh dibilang, dalam suatu
penelitian kualitatif si D berperan sebagai Partisipant Observer. Tentu
dalam beberapa hal Gie lebih unggul. Dia tak tersentuh tapi aktif mengkritisi.
Semacam kaktus di tengah gurun yang tajam namun sejatinya penting bagi ekologi
setempat. Sedangkan cara si D, berpotensi menimbulkan inkonsistensi terhadap
visi misi awal, apabila ia fokus pada proker semata. Karena walau bagaimanapun
tak ada amanah tanpa beban kerja. Tetapi sebagai pelaku langsung, si D juga
sangat bermanfaat, dia menguasai corong aspirasi dan berhak menggunakan
sekehendak hati.
Namun sangat tidak
bijak membandingkan dua hal yang jauh berbeda. Kendati mirip, mereka tidak
lahir dalam dimensi yang sama. Mungkin Gie memang heroik dengan tindak
kritisnya menentang orde lama. Tetapi si D juga tak kalah keren. Ia hadir untuk
membangunkan orang-orang dari tidur lelap akibat kemajuan zaman. D berjuang di
tengah kerumunan apatisme, hedonis tak berkesudahan dan bohemian yang
menjunjung tinggi perspektif individu. Sungguh, tak ada yang lebih berat
daripada melawan diri sendiri, teman-teman serta orang-orang tercinta. Intinya,
Gie dan D adalah sosok serupa yang datang untuk menyelamatkan sejarah masing-masing.
Toh keduanya sama-sama dari jurusan Sejarah, hanya beda Universitas.
Memandang
orang-orang yang hanya bisa didefinisikan dengan “Subhanallah” itu sungguh
membuat iri. Terkadang aku bertanya-tanya dalam hati, manusia visioner seperti
mereka menyimpan quote apa sih? Karena dalam kasus pribadi, quote novel, buku
atau seminar hanya mampu menguatkan misi tak lebih dari seminggu.
Aku tidak ingin
tulisan ini tersesat terlalu jauh dari judul. Maka baiklah dirunut saja. Kenapa
motivator terbaik adalah diri sendiri:
1. Tak Ada yang Menguatkanmu Setiap Hari
Siapapun kamu,
akan berdiri sendiri di gerbang masa depan. Dan sebelum mencapai gerbang selalu
ada perempatan yang menghentikan langkah, memaksamu memilih atau bahkan jalan
setapak tanpa alternatif sama sekali. Dalam kondisi demikian, siapa yang
sanggup menguatkanmu selain Tuhan dan diri sendiri. Maka kuatkanlah dirimu,
belajar menjadi manusia tunggal yang disertai Dzat Maha Tahu dengan segenap
cinta dan keyakinan.
2. Kita Adalah Apa yang Kita Pikirkan
Kalimat ini pernah
kubaca entah di buku apa. Jadi sugesti individu sangat mempengaruhi
tindak-tanduk bahkan kekebalan seseorang. Jika seseorang merasa sanggup, maka
ia akan sanggup. Sementara jika pikirannya bilang tidak, sekuat apapun motivasi
yang dihantarkan, ia hanya bisikan yang masuk telinga kanan lalu keluar telinga
kiri.
3. Kamu yang Paling Kenal Diri Sendiri
Begitulah
faktanya, jang merasa terlalu popular untuk disemangati banyak orang. Bahkan
flu saja, sanggup membuat orang lupa terhadap kematian ayah atau kerabat
dekatmu. Mereka hanya bersimpati untuk konsensus yang disebut “duka cita”.
Sedang keterpurukan adalah kedukaan pribadi yang frekuensinya terlampau kecil
untuk mengundang motivasi.
Intinya, tulisan
ini mengajak kalian move on dari kamut usang di buku harian. Yang terkadang
dibaca sepintas atau bahkan lupa sama sekali. Ingat, dalam kondisi seperti
apapun, kil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar