Kalau Kau Mau, Sebut Saja Curhat!
Tuhan, bahagia itu sederhana kan?
Tetapi kenapa hamba merasa bahagia itu kerumitan nisbi dari sebuah
kehidupan. Rasanya tidak ada kebahagian hakiki kecuali merebut dari sisi orang
lain. Bagaimana aku dengan nyaman hidup di suatu tempat, mencari niskala dalam
peluh kedua orang tua yang pontang-panting mencari hutang. Hingga hidup mereka
hanyalah gali lobang-tutup lobang untuk menghidupi manusia-manusia yana entah
kapan bisa diambil manfaatnya. Kenapa harus ada beban yang menggelayut di kedua
pundak yang mungkin saja tak sekuat sangkaanMu? Adakah yang bisa kutopang
barang sedikit untuk menguranginya. Aku tau mereka bertolak belakang yang entah
bisa saling melengkapi atau tidak. Sehingga perbedaan hanyalah petaka untuk
merasa berhak saling menyalahkan.
Bolehkah kecewa pada diri sendiri?
Ketika ketidakbergunaan ini semakin menyiksa, aku bisa apa? Apakah
harus terus meminta dan membuat pinjaman itu menggunung hingga tak teratasi. Sedih
rasanya menyaksikan mata yang meminta kita jadi nomor satu. Sementara di sini
hanya ada kompetisi yang tidak pernah bisa dilewati kecuali kita merelakan diri
untuk lebur di dalamnya. Rasanya hampir meledak saat tau bahwa tiap helaan
nafas di tempat menyenangkan ini merupakan halaman yang mereka susut dengan
keringat. Dan sama sekali tak cukup memenuhi ruang hari-hari mereka sendiri. Aku
tau semua itu, bahkan saat mereka dengan sok kaya bilang “ah, tanggal itu sih
bapak udah punya uang”. Bolehkah hamba mengakhiri semua ini agar tak usah ada
kamuflase lagi. Karena setiap kamuflase adalah proses lupa yang justru membuat
kita semakin ingat.
Kalau membunuh itu tidak dosa, aku sudah melakukannya. Bukan meghilangkan
nila yang telah menyebabkan segalanya jadi tak bermakna, tetapi membunuh diri
sendiri agar mengurangi sedkit saja beban yang meruang dalam detik-detik hidup
kedua malaikatku. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap keluarga memiliki
satu nama yang tak boleh disebut. Ya, manusia itu, aku saat menyukainya
terlepas dari cara dia hadir di dunia. Tapi aku ingin menghilangkannya, atau
setidaknya, membuat dia bukan lagi rahasia. Kenapa Tuhan, adakah orang yang
sudah beri bekal pendidikan tinggi, motor, hape dll masih dengan tega
menusukkan sembilu ke jantung hati keluarga. Ada! Dan orang itu harus dengan
hormat kusebut sebagai KAKAK. Apakah ini bagian dari skenarioMu yang tengah
mencapai klimaks? Kalau iya, cepatlah antarkan kami pada penyelesaian yang
menghasilkan happy ending.
Di sisi lain, tidak ingin semua berakhir dengan mati.
Memangnya mati itu menyelesaikan masalah? Tidak! Itu seperti jargon
sebuah instansi “mengatasi masalah dengan masalah”. Kenyataannya hidup yang
hanya sekali ini harus berarti, bagaimanapun caranya. Walaupun aku anak tingah
yang tidak mencuri perhatian, terlebih dengan keautisan atas diri sendiri, aku
tak ingin kembali sebelum membahagiakan mereka. Setelah menyusahkan, perlu ada
upaya pembahagian agar jadi seimbang. Aku milikMu dan hanya akan kembali
padaMu. Tapi sebelum itu, ijinkanku mengukirkan senyum pada wajah-wajah yang
jadi perantara eksistensiku di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar