Ternyata lelah belajar menjadi orang lain. Berusaha tersenyum lalu
tertawa seperti manusia sakit jiwa. Ada begitu banyak sisi yang pada akhirnya
ditinggal, terbengkalai saat kita mencoba berdamai dengan kemuakan pribadi. Kau
akan tau rasanya ketika memasuki dunia yang tak terbayangkan proyektor otakmu.
Tak sederhana. . .
Segalanya berbanding terbalik dengan pandanganmu dulu. Memposisikan
diri sebagai orang lain memang sebuah persoalan. Tertatih dalam beban yang
berduyun-duyun datang. Sementara kita tak tau pasti derajat kekuatan untuk
mengatasi. Semua begitu nisbi dalam kedangkalan seorang pemula. Adakah istilah
bagi kebosanan yang menderu lebih seru dari kerelatifan waktu. Dalam keletihan
yang jadi bagian terminology sukses, kau ingin berhenti mempertanyakan jati
diri. Bertanya kenapa. . . ?
Sampai kapan. . .
Mungkin kita sedang kulminasi. Menekuri kebodohan sendiri dalam
piringan sunyi. Membaca antologi kesal yang dimiliki tiap individu. Bolak-balikan
halaman demi mencari pembenaran, berharap menemukan kelayakan sebuah keluhan. Namun
sia-sia, percuma membenarkan yang sudah terlalu salah. Toh semua punya masalah.
Hanya kita yang terlalu membesar-besarkan kekosongan. Pernahkah kau berpikir
untuk mati saja?
Pernah. . .
Saat gaung tak lagi menempati ruang yang kita huni. Kesedihan jadi
abstrak di mata orang, bahkan menuju ke arah klise. Tapi kau tidak merasa
demikian. Hatimu sudah berkeping-keping dalam keutuhan. Mengeja hampa tanpa
memahami bilangan waktu. Semakin tertinggal dalam detik-detik introspeksi.
Jika segala sesuatu harus disertai alasan. Maka rasa malas takkan
pernah berterima. Terlalu picik bagi individu yang ingin maju. Jalani sajalahJ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar