Pukul 20.30 lebih. Selepas baca filsafat klasik. Hanya pengantar
sih, tidak tebal.
Meski sudah berungkali mendengar kata filsafat, baru setelah kuliah
aku mendapatkanya. Semester 3, mata kuliah yang diampu bu Sri Wilujeng itu
benar-benar mengasikkan. Penuh teka-teki yang dekat dengan kehidupan namun tak
terbaca pikiran. Bagiku filsafat tidak sekadar beban nilai 2 SKS, tetapi lebih
mengarah ke diskusi yang menyegarkan pikiran dan mendewasakan pemahaman. Tentu
saja aku menyukai makul tersebut bukan karena dosennya. Tetapi lantaran itu filsafat
dan aku seorang mahasiswi yang baru menyentuh kulit luarnya. Toh kelas-kelas
yang diberikan cuma pengantar, bahkan tidak memenuhi standar untuk dinamai
“Dasar-dasar Filsafat”.
Awalnya filsafat seperti bongkahan berlian yang aku tak tau harus
mulai mengasahnya dari mana. Akar suatu pengetahuan yang mempernyatakan
pengetahuan itu sendiri. Kenapa ia bisa ada, sebesar apa tingkat keabsahannya
dan bagaimana dia bisa bermanfaat bagi manusia. Hmm. . . sebenarnya bukan tentang
pengetahuan saja, tetapi semua. Apapun yang ada di dunia ini merupakan objek
kajian filsafat. Bahkan dengan lancang dia mengeja keberadaan T-U-H-A-N. Atau
juga tentang dirimu sendiri, seperti apakah nous[1]
yang membuat seseorang mampu mempertanyakan asal muasalnya.
Bagi yang dari jurusan eksak, jangan terlalu sombong bahwa filsafat
adalah bidangnya orang melamun. Justru karena melamun, filsafat patut dijuluki
bidangnya orang berpikir. Akar dari segala ilmu pengetahuan yang membuat
peminatnya merasa bagai debu di alam semesta. Barangkali kau perlu tau, bahwa
Phytagoras yang suhunya matematika adalah filsuf pada masa klasik. Logika,
silogisme dan metafisika merupakan garapan Aristoteles yang juga seorang
filsuf.
Karena filsafat adalah akar, maka ia memiliki banyak sekali batang
ilmu yang melahirkan cabang pengetahuan. 5 batang paling terkenal dalam
filsafat yakni: logika (berkaitan dengan benar-salah), etika (tentang
baik-buruk), estetika (keindahan), metafisika (tentang hakikat keberadaan), dan
ontology (filsafat ilmu). Namun tenang saja, 5 batang itu bukan apa-apa. Masih
ada begitu banyak cabang yang bersiap memusingkan kepala pengkajinya. Aku
sendiri secara spesifik tertarik pada cabang metafisika yaitu antropologi yang
membahas tentang filsafat manusia (dalam prespektif mindsetnya).
Berkat keluasan filsafat sebagai ilmu, aku bingung harus memulai
darimana. Sebagai mata kuliah, tentu saja filsafat dibahas dari sejarah
perkembangannya. Tetapi aku merasa langkah tersebut hanya akan berujung pada
teori-teori yang dilupakan. Aliran-aliran dari tokoh yang jumlahnya tak
terthitung jari itu akan membuat ngantuk sebelum seseorang berhasil mencerna
satu persatu.
Suatu siang aku ke perpustakaan untuk meminjam buku yang menunjang
tugas mata kuliah Sejarah Pemikiran Modern. Kuliah satu itu rupanya juga tak
terlalu jauh dari filsafat, hanya lebih ke arah perkembangan pemikiran para
tokoh. Tiba di rak berlabel filsafat, aku mengambil buku Pengantar Filsafat
karangan Ali Maksum. Secara isi, buku ini menarik dan mudah dipahami seorang
pemula. Bahasanya sederhana serta membuat orang penasaran berkelanjutan. Aku
membacanya dari halaman awal (kata pengantar tidak termasuk), cara Ali Maksum
menjabarkan filsafat dari segi tokoh lebih mirip pendongeng. Perjalanannya jadi
mengalir, bahkan aku merasa sedang membaca fiksi. Inilah yang pada akhirnya
membuatku ingin mengenal filsafat dari para tokohnya. Karena saat membicarakan
tokoh, otomatis sebuah tulisan akan mengaitkan dengan pandangan dan karya pula.
Jadi lebih mudah dimengerti dan bisa menjadi bekal untuk mempelajari
aliran-aliran filsafat.
Kembali ke kalimat awal, selepas membaca filsafat klasik aku jadi
memahami apa yang dulu didapat secara acak. Salah satunya milik Rene Descartes,
“Aku berpikir maka aku ada[2].”
Jauh sebelum filsafat itu ada, Parmenides, seorang tokoh filsafat klasik yang
terpengaruh tradisi miletus telah mengusung filsafat “ada”. Dia berkata, yang
ada sudah pasti ada dan yang tidak ada juga pasti tidak ada. Ambil contoh
terdekat, Tuhan. Dia pasti ada, karena manusia memikirkannya. Mana mungkin
manusia mampu memikirkan sesuatu yang tidak pernah ada. Kenyataanya kita ada,
pasti yang menciptakan kita lebih ada dan lebih segala-galanya. Maka sebagai
makhluk, kita memiliki keterbatasan untuk mengadakannya secara nyata. Nah, dari
filsafat Parmenides, aku jadi berpikir tentang pendapat Rene Descartes.
Barangkali relevan kalau kita
disambungkan. Aku berpikir maka aku ada.
Terkadang kita sendiri menjalani hidup tanpa berusaha memahami eksistensi
sebagai salah satu entitas di alam semesta. Ketika berpikir tentang keberadaan,
pada saat itulah kita sebenarnya benar-benar ada. Pikiran kita yang membawa
pada keberadaan sesungguhnya. Yang pada akhirnya akan dijadikan alat memperluas
eksistensi dengan kaidah fungsi yang mengikuti penciptaan. Gara-gara baca
kalimat Parmenides, aku merasa bego karena pernah menganggap filsafat Descartes
hanya sebatas pemikiran sebagai manusia normal yang mengabaikan manfaat di
tengah komunitas. Aku pikir yang dimaksud Descartes, keberadaan manusia
terhenti pada cara diri berpikir. Bahwa jika memikirkan keberadaan berarti dia
telah benar-benar ada. Bodoh!
Selain Parmenides, masih ada tiga maha guru yang mencerahkan
pemahaman: Socrates, Plato dan Aristoteles. Ketiga manusia itu menghadiahkan
pemikiran-pemikiran luar biasa bagi bangsa Barat. Meski Socrates justru
berakhir karena pandangan yang dianggap menyimpang, dan Aristoteles terpaksa
melarikan diri berkali-kali. Namun hal-hal demikian sama sekali bukan rajam
yang menghentikan keberterimaan ilmu mereka pada akhirnya. Tuhan, terimakasih
telah menghadirkan mereka yang menambah daftar ilmuwan untuk dihapalkan.
Rabbku, kau juga yang pasti merefleksikan idea mereka dalam bentuk jasmani :)
Ide-idea-idealisme (Platonian)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar