Tegal, 12 September 2014
Kawan, hidup
begitu seperti ini ya. Memintamu, meminta kita menjalani apa yang tak
terbayangkan sebelumnya. Lalu suatu pagi kau membangunkanku lewat orang lain,
lewat berita-berita yang tercecer seperti darah dari luka menganga, lewat tanya
yang menderu.. sementara aku tak pernah punya cukup peluru untuk menjawab
tentangmu. Aku tak memiliki cukup nyali untuk meyakinkan diri sendiri, bahwa
kau memenuhi panggilanNya dengan sebuah cerita yang siapapun tau itu duka.
Setelah hari itu,
antara kita akan berlalu seperti waktu. Seperti ilusi yang ditinggal pergi
penciptanya. Seperti ladang yang telah menumbuhkan demikian banyak buah, tapi
tak lagi dikenang sebagai rumah. Kemudian hari-hari yang kita lalui bersama
hanyalah angka, hanyalah cerita yang pada akhirnya usang hingga mati sama
sekali.
8 September 2014,
mana aku tau kalau itu pertemuan terakhir kita? Mana aku tau kalau sejatinya
kita telah begitu asing dengan hari yang akan datang. Dengan esok hari yang
kemudian menjabat tanganmu sebagai korban suatu tindak kriminal. Dan yang lebih
membuatku tidak menyangka, kau pergi tanpa meninggalkan tanda yang bisa kubaca
sama sekali. Lantas, di hari yang begitu sepi ini.. masih layakkah aku menyebut
diri sebagai sahabatmu? Setelah apa yang terlewat bahkan tak menyisakan
kepantasan bagiku untuk sekadar disebut ‘teman’.
Aku masih
menyimpan senyum terakhirmu, saat aku meneriakkan namamu dari seberang kursi
kuliah, sementara kau hanya menengok untuk berekspresi sekedarnya yang bila
dideskripsikan dalam bentuk kalimat adalah:
“Opo toh?!”
Ya, hanya
sesederhana itu. Tapi senyum tersebut lantas menjadi bagian paling giris jika
diingat.
Aku masih pada
tempatku sebagai orang yang susah menangis. Tapi kawan, taukah kau bahwa yang
tak bisa kukeluarkan lewat mata sejatinya lebih mengganjal di dada, seperti
bebatuan yang dilesakkan paksa.. berat dan tak bisa kulepas satu persatu lewat
ekspresi. Kau tak tau rasanya, membaca namamu dari suatu Koran yang menjadikan
kejadian semacam itu sebagai makanan, adalah sembilu yang berkali-kali
memaksaku berhenti dan menyebutNya karena melihat bahwa itu memang benar-benar
kau. Beberapa teman yang lainnya malah menangis, ada pula yang sampai
bolak-balik ke kamar mandi entah karena shock atau apa.
Aku yakin, pada bagian
ini… jika saja kau masih sempat membacanya, kau akan tertawa, meledek atau
mengataiku sebagai orang yang mellow plus alay. Tapi, aku tidak ingin mengulang
berita-berita tak berprikemanusiaan tentangmu, tidak ingin segala sedih hanya
berujung pada status dan cerita saja.. Aku, dengan segenap ke-bukan-siapa2an-ku,
ingin tetap menjadi sahabat yang semestinya. Yang memohonkan pada Tuhan kita
agar kau senantiasa diberi tempat terbaik. Ikhlaslah kawan, seperti ikhlasnya
embun pagi yang dihapus mentari.. biarlah dia yang menjadi jalanmu pergi lewat
titik nadir menemui perhitungannya. Ada Yang Maha Adil yang akan
menghitungkannya untukmu. Aku tau dan (mungkin) kau juga mengerti, tangis
bukanlah sesuatu yang penting… dan seseorang tidak akan benar-benar pergi jika
masih ada yang menyimpan namanya dalam hati.
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada
Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam
syurga-Ku. (QS Al-Fajr 27-30)
|
Wahai makhluk kecil, kembalilah dari tiada ke tiada, berbahagialah
dalam ketiadanmu.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar