Ini September kedua, sejak setahun
lalu saya bertanya dan dengan utopis mengharap jawaban dari siapapun yang bisa
menjawab. “Sebenarnya hidup itu apa sih?”
Manusia adalah
makhluk yang unik. Barangkali kita memang satu-satunya makhluk Tuhan yang
diberi kesempatan untuk berdualisme dalam satu bentuk. Descartes mengatakan
bahwa ‘seorang’ manusia, ditopang oleh dua hal dalam dirinya yakni pikiran dan
fisik. Betapa pun ia meyakini sesuatu sebagai kebenaran, logikanya tidak tahan
untuk tidak bertanya mengenai keberadaan dirinya atau setidaknya bertanya
mengapa dia harus ada. Pertanyaan transenden itu yang menjadi dasar filsafat
eksistensialisme, walaupun Descartes sendiri menyadari: berpikir tidak membawa
seseorang pada kebenaran bahkan bisa jadi menyesatkan.
September kedua
ini, setelah kehilangan (lagi) orang dekat, saya jadi ingin mengamini pendapat
(entah siapa lupa) bahwa keberadaan seseorang tidak ditentukan oleh
kehadirannya secara fisik saja. Seringnya, orang yang dianggap sudah tak ada
justru memiliki makna berarti bagi kehidupan seseorang. Atau kepergiannya
justru membuat dia semakin eksis. Meski di satu sisi, eksis adalah satu hal
yang simpel dan singkat sebagaimana ia timbul. Kita bisa saja menangis
guling-guling hari ini, lalu esok hari bisa melupakan objek tangisan itu hanya
karena sesuatu sesederahana flu. Hanya yang memiliki memori dan perasaan mutual
saja yang akan melanggengkan sebuah eksistensi.
Perasaan mutual
itulah yang pada akhirnya mengikat seseorang dengan orang lainnya. Ia abadi
(tentu saja dalam versi phisicly) sebagai kenangan yang membuat sebuah nama
terus hidup dalam ingatan. Dulu saya ingat pernah jalan dengan seorang teman,
hari ini dia sudah tidak ada, saya
jadi berpikir jangan-jangan suatu saat akan
ada yg mengingat saya sebagai kenangan belaka. Dan saya yang sudah pergi entah
ke dunia macam apa, mungkin akan menganggap ‘hidup’ sebagai masa lalu yang
kendati lekat namun begitu rapuh dan tak mungkin lagi disentuh. Seperti album-album
lawas dalam bingkai, ia akan berada di tempatnya sebagai sejarah yang tak
terjamah.
Orang datang dan
pergi, menciptakan interaksi dan kenangan, lalu suatu saat ia hilang adalah hal
biasa. Yang selalu ada hanya waktu, kan? Waktu yang (menurut kepercayaan saya)
suatu saat akan luruh juga. Kita yang sekarang ‘ada’, bisa merangkai cerita,
bisa tau hari dan tanggal, bisa makan bahkan bisa saling mencinta atau benci,
pada hakikatnya merasa berhak menyebut dirinya hidup karena menempati bentuk
fisik tertentu. Tanpa kita sadar, kecuali waktu, semuanya akan berada pada
kondisi yang sama sebagai nous.
Ngomong-ngomong
soal nous, apakah kita tidak boleh menyebut mereka hidup hanya karena tidak
mengerti yang sedang mereka jalani itu ‘kehidupan’ macam mana? Saya sih sering
merasa, jangan-jangan mereka yang di sana bilang begini:
“Puas-puas o
ndes, urip o kono. Suk mben nek wes dadi aku rak nduwe kesempatan, nyesel kowe.”
Sepertinya kita
yang terlalu sibuk tumbuh menjadi ‘orang’, lupa bahwa kepastian paling pasti
dalam hidup adalah mati. Bahkan mati pun bukan titik henti, apabila kita
percaya manusia itu dualisme dari fisik & pikiran, tubuh & jiwa,
tindakan & perasaan. Apakah setelah melewati gerbang bernama mati, jiwa
kita tidak mengalami apa-apa? yakin? Atau jangan-jangan kita terlalu takut
mengingat mati sehingga lebih memilih buta saja.
Sementara ini yang
eksis hanya waktu.
Lalu apakah masa
depan itu? Apakah bertahun-tahun lagi setelah kita menua dan menjadi puritan
dengan sendirinya?
Bisa ya, bisa tidak. Kalau kita lepas dari
realitas fisik, maka masa depan kita adalah kehidupan yang disekat-sekat oleh
batas. Batas itu berupa besok, tahun depan, kehidupan setelah ini atau apapun. Menurut
saya pribadi, masa depan adalah apa yang dialami jiwa kita setelah ini.
Oia, pernah baca novel Supernova
karya Dee? Kalau sudah berarti masa dewasa awal anda biasa saja, kalau belum ya
belilah sana. Novel itu bukan hanya keren dari segi sastra, tapi juga
esensinya. Ia adalah manifestasi filsafat pengarangnya yang mampu menginfeksi
pikiran pembaca tentang bagaimana menimbang hidup dari sisi lain. Hidup ini
banyak rasa, kata salah satu iklan, maka kita perlu melihat simpul-simpulnya
untuk bisa menarik hipotesa. Benar kata Sherina, lihat segalanya lebih dekat dan
kau akan mengerti. Hidup adalah semesta kemungkinan yang membuat bermacam-macam
hal di dalamnya menjadi relatif.
Kembali ke topik, dalam novel itu
pengarang mengajak pembaca untuk membuka mata, Hey ini loh kita punya pikiran.
Pikiran itu jangan hanya dibuat menghitung satu tambah satu sama dengan dua atau
anggota triple setelah tiga dan empat adalah lima, tetapi coba buka
seluas-luasnya. Tuhan itu Maha Cerdas, ia menciptakan segala sesuatu dengan
seimbang, hitam-putih, langit-bumi, laki-laki-perempuan,
mikrokosmos-makrokosmos. Yap, akhirnya sampai pada istilah itu, mikrokosmos dan
makrokosmos.
Masih berdasarkan
novel itu, taruhlah alam semesta adalah makrokosmos, manusia sendiri adalah
mikrokosmos. Sebagai bagian dari mikrokosmos, tentunya kita merupakan replika
itu sendiri, dengan kata lain bisa mengeksplore lebih dalam untuk mengerti
lebih jauh. Kesadaran itu akan membuat kita jadi lain, maksudnya, memperlakukan
sesuatu bukan dari sudut pandang diri sendiri. Kita tahu sama tahu, sangat
banyak spesies makhlukNya yang tinggal di bumi. Maka, merupakan kebrengsekan
tingkat dewa apabila melakukan sesuatu tanpa menimbang baik-buruknya bagi orang
lain.
Sebenarnya saya
membaca novel itu sudah sekitar setahunan yang lalu, jadi lupa-lupa ingat.
Intinya, berkat membaca novel sejenis itu saya jadi merasa bukan apa-apa
sekaligus sangat apa-apa dalam berbagai waktu. Ruang dan waktu itu sesuatu yang
relatif juga. Orang datang dan pergi sesuka kehendakNya, karena saya percaya,
tidak ada yang namanya kebetulan di muka bumi ini. Bahkan perkara seringan daun
jatuh pun telah ditimbang olehNya. Hanya saja, untuk menghindari kemelekatan,
disarankan tidak mencintai atau membenci apapun terlalu dalam. Benci itu
sesuatu yang melelahkan, sementara Cinta adalah sesuatu yang melelahkan
berlipat-lipat. Bagaimana tidak melelahkan, kalau kita benar-benar mencintai
seseorang, maka kita akan merasa menanggung beban dua kali lipat dari apa yang
kita cintai rasakan. Dia sakit kita yang sedih, dia putus asa kita yang bingung
setengah mati, dia meninggal? Menyaksikan orang yang kamu cintai meninggal,
jika belum pernah maka bersiaplah saja. Atau persiapkan orang yang kamu cintai
untuk ikhlas ditinggal kapan saja.
Ngomong-ngomong
soal cinta, saya jadi merindukan hari tanpa tanggal, bulan tanpa nama dan waktu
tanpa jeda untuk berkumpul bersama orang-orang tercinta. Hanya ada kita. Tanpa waktu,
tanpa pembatas bilangan dunia. Kapan ya?