Di dalam tulisan yang sehat,
tersimpan otak yang stress…
Seorang teman dari KPPI menuliskan itu dalam status Fb. Kalimat sederhana
tersebut memang biasa, tetapi tidak sepenuhnya salah. Setidaknya aku sendiri
merasakan kebenarannya. Sebuah tulisan tidak akan se-estetis seharusnya jika
ditulis orang yang dalam keadaan baik-baik saja. Tidak ada yang terlihat
bernyawa bila sebuah tulisan datar tanpa letupan emosi. Sebaliknya, emosi kuat
muncul dari tangan orang yang merasakan pedihnya dicabik cobaan hidup.
Soe Hok Gie pernah berkata bahwa kita tidak bisa menilai seseorang
hanya dari tulisannya. Ini benar juga. Dalam tulisan, seseorang bisa sangat
komunikatif menyampaikan apa saja. Berbeda dengan kehidupan nyata yang mana
harus berhadapan dengan mata ketika bicara. Tidak semua tulisan indah
dihasilkan oleh manusia energik yang pandai bergaul. Tetapi sebaliknya, orang
pendiam malah terkadang lebih ekspresif saat mneulis. Status misalnya, teman
kuliah saya ada yang sangat pendiam. Namun di dunia maya dia begitu aktif
menyiarkan kehidupan pribadi. Disadari atau tidak, dunia maya memberi ruang
untuk lebih eksis. Karena kehidupan nyata telah mensyaratkan kecakapan untuk sekadar
dikenal. Maka orang yang tidak kebagian tempat di dunia nyata, memilih maya
sebagai alternatif. Begitu seterusnya sampai yang bersangkutan sadar bahwa
dunia maya hanya kosong belaka. Hingga dia melihat kepastian paling pasti
tentang kemayaan yang orang-orang sebut sebagai OMONG KOSONG. Karena sampai
kapanpun manusia adalah makhluk hidup yang berproses sesungguhnya di dunia
nyata.
Menanggapi pernyataan Soe Hok Gie, kecakapan menulis bukanlah hal
instan. Ada proses panjang yang dimotori factor I. Tentunya bukan Imut,
Irrasional apalagi Innocent. Factor I di sini adalah intelektualitas. Factor ini
menjadi sangat penting menilik bahwa tulisan merupakan bangunan informasi,
pengetahuan bahasa dan kepiawan interaksi. Ketiga hal tersebut berkolaborasi
membentuk tulisan yang bermakna dan hidup. Sedangkan jika kurang salah satunya
saja, maka tulisan terasa cacat. Dari tulisan kita bisa membaca kecakapan
seseorang dalam berbahasa. Kita bisa memperkirakan pengetahuan tentang yang dia
tulis. Seberapa paham atau asalnya dia. Mungkin anda juga melihat saya sebagai
orang amatir yang berusaha berbesar mulut lewat kata-kata.
Mengenai Intelektualitas sendiri, saya yakin tidak satu penulis
besarpun yang alergi membaca. Kebanyakan mereka adalah orang yang merelakan
mata minus demi mengecap manisnya sebuah tulisan. Karena ibarat gelas kosong
diisi air terus menerus, seseorang yang selalu mencekoki otak dengan bacaan,
pengetahuan mereka akan tumpah oleh hasrat agar tulisannya dibaca. So, mulai
membacalah. Ingat, poin terpenting ketika menulis adalah menulis. Bukan berpikir!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar