Aku Tidak Memahamimu, Descartes
“Aku berpikir maka aku ada”.
Mahasiswa mana yang tidak kenal pernyataan di atas. Setiap yang
pernah menjalani kuliah filsafat pasti mengenalnya, meski tidak semua memahami.
Rene Descartes, salah satu pentolan aliran eksistensialisme sangat
menganggap bahwa tingkat keberadaan suatu entitas didasarkan pada bagaimana ia
berpikir. Tak terkecuali manusia yang secara harfiah telah dikarunia kemampuan
berpikir. Dari pikiran tersebut lahirlah dunia baru yang herannya semakin hari
semakin carut marut. Sebegitu istimewakah pikiran manusia?
Diakui atau tidak, manusia memang makhluk luar biasa. Dia selalu
berkembang ke arah yang (seharusnya) lebih baik. Memiliki tujuan yang terkadang
berkausalitas dengan peng-halal-an segala cara.
Lalu apa hubungannya dengan eksistensialisme Rene Descartes?
Entah kenapa sampai sekarang saya kurang setuju dengan pemikiran
tersebut. Mungkin lebih tepatnya belum memahami. Tentu saja Descartes yang
seorang filsuf telah mempertimbangkan berbagai hal untuk mengeluarkan
sabda tersebut. Dan saya yakin filsafatnya telah melalui proses
kontemplasi yang dalam. Tetapi benarkah eksistensi suatu organisme hanya berdasarkan
pada “berpikir” semata? Sedangkan kita tau bahwa di bumi (sempit) ini yang
tinggal bukan hanya manusia. Atau filsafat itu memang berlaku bagi manusia
saja? Lalu bagaimana nasib manusia yang pikirannya bergantung pada konotasi
tertentu?
Selalu hadir begitu banyak pertanyaan jika kita membicarakan
filsafat. Karena begitulah sifat filsafat, diawali dengan pertanyaan yang pada
akhirnya bercabang pada pertanyaan lain.
Hal pertama yang membuat saya kurang simpati terhadap filsafat Descartes
adalah kenapa eksistentsi seseorang hanya didasarkan pada “berpikir”. Padahal thinking
without acting is just nothing. Apa gunanya berpikir jika perkembangan dunia
masih “stuck” di tempat. Peradaban tidak akan berubah hanya dengan
mengandalkan pikiran. Toh anak SD juga “berpikir” bagaimana cara mendapatkan
nilai tinggi tanpa susah payah belajar. Bahkan terkadang beberapa mahasiswa
tingkat akhir justru dianggap menghilang lantaran sibuk mengurung diri di kamar
sambil “memikirkan” skripsi. Lalu bagaimana “eksistensi” yang dimaksud Descartes.
Dunia ini butuh orang yang bergerak.
Kedua, jika benar eksistensi invidu didasarkan pada cara berpikir
bagaimana nasib orang-orang cacat. Mereka tidak secara otomatis hilang dari
pandangan dan tetap dianggap ada. Mereka juga manusia yang tetap mewarnai dunia
dengan berbagai macam “keanehan” mindset.
Apakah hanya dengan “berpikir”
maka otomatis seseorang dianggap ada. Semudah/serumit itukah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar