Sosok Ibu Bagiku
Dia adalah manusia
yang selalu sangat cerewet mengenai pilihan, menyuruh ini itu, memaksa makan
tepat waktu, juga melarang aku pergi sendiri hanya karena satu kata memuakkan:
khawatir. Terkadang aku bosan menjadi anaknya, dicurigai tentang hal-hal yang bahkan
tidak pernah terlintas sedikitpun dalam pikiran.
Sebagai anak ke tiga dari empat bersaudara, aku tak pernah merasa
istimewa di mata Ibu. Beliau sering berat sebelah pada satu-satunya anak lelaki
dalam keluarga, Ya kakak keduaku. Alasannya nonsense, “Biar nggak
direndahkan istrinya kelak. Lagian kasian, dulu kamu lahirnya terlalu cepat.” Ini
jelas tidak masuk akal dan memporak-porandakan nilai keadilan orang tua pada
anak.
Dalam keluarga, ibu adalah makhluk yang terlalu banyak melarang. Ibarat
organisasi, dia sekretaris yang maha selektif menyaring surat masuk maupun
keluar. Selalu rajin ngontrol dan mengomel-ngomeli kegiatan putra-putrinya.
Tapi. . .
Perspektifku banyak bergeser dewasa ini. Ketika tak bisa setiap
hari melihat muka letihnya, kritik pedasnya, juga semua jenis larangannya. Pernah
aku nyaris tiga bulan tidak bertemu (perpisahan paling lama) saking padatnya
jadwal kuliah dan organisasi.. hari libur kemudian membawaku pada semacam syok
yang hingga kini masih sulit dipercayai.
Hari itu ayah, ibu dan adik menjemput di stasiun. Begitu masuk
mobil aku mendapati suasana mengecewakan: sunyi, sepi dari canda tawa. Hanya adikku
yang sibuk menceritakan apa saja (dia memang punya keistimewaan ngobrol lama). Satu
hal signifikan yang bisa dicatat dari ibu adalah tubuhnya kurus kering, tulang
pipi semakin menonjol dan tak ada selera menyampaikan nasihat-nasihat yang dulu
memberisikan telinga.
Sesekali kuamati hubungan ayah dan ibu tak lagi serenyah dulu. Diam
lebih banyak menguasai saat mereka bersama. Apa yang terjadi sebenarnya?
Libur hanya sesingkat hitungan jari. Aku hanya butuh 4 angka untuk
menyimbolkan betapa cepatnya hari aktif datang. Dan satu yang paling
menjengkelkan, aku masih belum mampu menguak misteri di balik diamnya ibu.
Di rantau pikiran itu kembali menyiksa. Menyisakan ribuan tanya yang
terjawab oleh derap langkah waktu. Ibu. . ibu. . ibu. Apa yang membuat kau
berubah demikian cepat? Adakah ayah selingkuh. Tapi dia pria baik, dan aku
yakin janda 5 anakpun takkan mau diperistrinya:D
Setelah lama menunggu, liburan datang dengan segepok perasaan
was-was menanti keluarnya IPK (libur semester 2). Kebetulan waktu itu bulan
ramadhan. Ternyata suasana di rumah tak berubah. Beku dan bisu. Lebih dingin
dari bukit Bandungan pada pertengahan bulan November. Kepulanganku tak membawa
perubahan apa-apa selain mengurangi beban psikologis adiku yang terserang
kesepian akut.
Suatu ketika ibu mendekati. Yah. . .memang seharusnya begitu. Barangkali
dia hendak mengantarkan kisah dari pertanyaanku yang selalu dijawab “Tidak apa-apa”.
Aku langsung menangis. Tanpa aba-aba, tanpa kata-kata. Ternyata
kekeliruan besar telah terjadi di keluarga kecilku. Keluarga yang (tadinya)
hangat dan penuh rasa bahagia. Kenapa orang sebaik dia bisa mengalami tekanan
yang nyaris tanpa toleransi. Di kantor, di rumah, baginya adalah neraka yang
terhampar tiap detik. Ayah juga berubah dengan apriori busuknya (seperti aku
dulu). Hanya mushola dan sholat saja yang membuat ibu lupa bahwa hidup sudah
menjadi si malakama.
Pernah dengan tegar dia berkata : sudah jangan nangis terus, mata
sembabmu bisa membuat orang bertanya-tanya.
Naluri malaikatnya sebagai ibu selalu menutupi. Menganggap bahwa
yang terjadi sudah tersurat jelas dari tangan Yang Maha Kuasa. Meski beliau
juga pernah mewanti-wanti secara tegas, “yang melakukan hal bodoh itu BUKAN
ANAK IBU!”
Tiap mengenang itu aku akan menangis tak peduli di mana. Semua orang
akan mengecam ibu sebagai orangtua gagal yang telah menciptakan sungai dosa. Kesedihan
tak bermuara ini telah menjadi oksigen yang harus kami hirup setiap hari. Bagai
nila yang tak punya kasihan merusak susu sebelanga. Kehormatan, kejujuran dan
kebahagian menguap bersama aib yang datang dan melekat sepanjang sisa
usia. Tetapi beliau yakin bahwa musibah itu ujian baginya, anak adalah
perantara saja.
Subhanallah. . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar