Aku dan Sastra
Yang kita sukai
selalu menggambarkan bagaimana kita. Bagiku sederhana, aku menyukai sastra
seperti pagi dan siang yang rela bertukar tempat dengan penuh keikhlasan. Aku mencari
makna dalam sastra. Terkadang saat lelah menghampiri, sastra justru datang
menawarkan makna yang terbungkus rapi dalam barisan kata. Membuat kehidupan
puitis di tengah zaman yang selalu seperti ilmu pasti, jelas dan tergesa-gesa. Sastra
dengan mudah terserat ke urat-urat mozaik yang di jalani setiap insan. Sederhana
tapi lembut memberi nuansa estetika. Mesra seperti belaian angin di pagi hari
yang semilir.
Aku sebal ketika
orang tuaku yang guru matematika itu mengatakan “Sastra adalah jurusannya orang
ngelamun”. Meski tidak sepenuhnya salah, tapi ini jelas perkataan picik dengan
pemikiran dangkal (maaf ayah:D). Kebanyakan orang memandang bahwa sastra tidak
bisa menghidupi. Maka secara intuisi mereka akan melabuhkan cita pada kejelasan
yang sebenarnya juga spekulasi terhadap masa depan. Lihat saja, jurusan ekonomi
yang paling laris saja lulusannya banyak nganggur. Itu karena apa? Karena
mereka berpikiran sama dan memproyeksikan kesamaan tersebut bukan pada aspek
yang seharusnya bisa digali. Betapa banyak pemimpi, para pencari sejati, yang
akhirnya hanya menjadi mahasiswa menderita lantaran terpetakan oleh keegoisan
orang tua. Memangnya siapa yang menjalani? Bagiku sendiri, orang tua hanyalah
semacam fasilitator yang seharusnya berada pada batas di mana mereka memberi
dan mengerti kemauan anak. Tidak perlu hipokrit bahwa dulu mereka juga manusia
yang terkorbankan kepentingan “menjadi”, lalu melapiaskan utopianya pada darah
daging sendiri.
Pernah suatu kali
aku bermimpi menjadi dokter. Tampil istimewa dengan jas putih menawan yang
mengimplikasikan ketebalan kantong. Sekali suntik duitnya bisa buat beli
selusin boneka Barbie dan puluhan bungkus coklat lezat. Tapi impian asal itu
tidak berlangsung lama, mungkin hanya berumur sampai aku kelas satu SMP. Di
mana pencarian intelektualitas sesungguhnya di mulai. Tempat saat seseorang
mencoba menemukan kebahagiaan pada tumpukan buku di perpustakaan. Dan kebahagiaanku
terselip pada sajak-sajak puitis Chairil Anwar, kisah rumit yang dibangun STA[1]
dan gemerlap dunia remaja gaya Dyan Nuranindya. Rasa suka yang tiba-tiba muncul
pada untaian kata mulai kentara ketika menginjak SMA. Melahap semakin banyak
novel yang sekarang kukenal menjadi dua macam, serius dan popular. Meski tetap
mendapat tantangan saat meminta izin mengambil jurusan Sastra Indonesia. Aku dihujat
orangtua habis-habisan, “Mau jadi apa kamu? Nulis aja nggak becus”.
Manusiawi sekali
jika semakin dikekang, seseorang kian garang menentang. Aku tidak ingin seperti
2 orang kakakku yang menjalani kuliah dengan orientasi kerja. Memasrahkan diri
untuk berkutat pada hal yang sama sekali tidak kita sukai adalah kebodohan
besar. Untuk apa sekolah jika berujung pada muara kemuakan hidup atas
terbengkalainya harap. Nyawa kita satu, dan selama ia masih menyatu dengan
tubuh, maka cita-cita harus ditegakkan demi kebahagiaan jiwa. Aku memilih
sastra sebagai labuhan. Tak peduli tembok tebal yang gagah menghadang antara
aku dan sukses masa depan. Toh bagiku memilih berarti sanggup menggendong
sendiri beban yang hadir bersama pilihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar