Jika melihat sejarah,
keadilan selalu datang dari orang yang menggugat, mereka yang berpikir lalu
memberontak terhadap hegemoni. Tapi bolehkah kita, manusia, menggugat
keyakinan?
Berkeyakinan maupun tak berkeyakinan, merupakan hak
asasi. Bahkan jika seseorang masih bertahan di dalam kekolotan, tak lantas
menjadikan manusia lainnya berhak menjajah/memaksa untuk membenarkan satu
pihak. Keyakinan, merupakan sesuatu yang begitu privat, melekat pada diri seseorang
yang tak bisa diganggu gugat. Mengapa manusia terobsesi menjadikan sesamanya
berada di bawah payung yang sama? Entah itu keyakinan beragama, berpolitik
maupun berpendapat.
Jika keyakinan merupakan hak asasi, maka ketidakmengertian
kitalah yang menjadi akar dari pertentangan. Masyarakat, adalah
ketidakmengertian kolektif yang kemudian menyulitkan. Memangnya omongan masyarakat masih pengaruh? Tentu saja! Para
petinggi birokrasi yang galak-galak itu, memangnya bukan bagian masyarakat yang
suka mencemooh? Dan untuk mendapatkan keadilan tersebut, hak individu yang
mendasar itu, seseorang seperti harus mendebat suatu sistem.
Tak ada yang salah dari anut-menganuti ideologi. Yang
menjadikannya suatu noktah, adalah jika ideologi/keyakinan itu bertujuan
menguasai manusia lain. Menginvasi sesuatu yang merupakan hak dasar, demi
membenarkan ego suatu kelompok. Bermain perang dominasi, lalu melupakan
kemanusiaan.
Apakah masih penting kuantitas, bila kualitas manusia di
dalamnya terabaikan? Apakah berkeyakinan secara membabi buta, bisa menuai
keadilan secara merata, dan membahagiakan kita sebagai manusia?
Tanyakan pada hati terdalam. Kalau jawabannya ya, coba
koreksi seberapa banyak ego di sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar