“Sebenarnya yang lelaki inginkan adalah percintaan. Baik
diwujudkan melalui persetubuhan atau sekadar berkasih-kasihan.” Kamu menyeruput
kopi, melirik dia yang alisnya terangkat sebelah. Wajahnya meruapkan kesinisan.
“Tapi perempuan menginginkan pernikahan beserta mahligainya. Kalian tak bisa
berhubungan tanpa ekspektasi. Menurutmu siapa yang ribet di sini?”
Dia mendengus, boro-boro menyeruput kopi, bersikap biasa
saja pun tak bisa. Tema-tema semacam ini senantiasa mengubahnya jadi makhluk
lain, seketika. “Kamu nggak tahu rasanya jadi perempuan. Setiap kali selalu
ditanya kapan nikah seolah kami akan kadaluarsa.”
“Ya salah masyarakat kan? Kita hidup di lingkungan yang
memandang pernikahan sama wajibnya dengan bekerja di instansi.”
“Tapi itu semua berangkat dari kebiasaan laki-laki yang
menyukai daun muda. Dan…” Dia memelankan suara, sesaat tampak keraguan setengah
sedih. “Dan memang perempuan punya jam biologis. Kami yang belum menikah di
umur tiga puluhan sangat alert,
berpotensi jadi perawan sampai mati.”
Pada bagian ini kamu tak tahan untuk berseloroh. “Kalau
begitu serahkan saja keperawanan itu padaku.” Langsung direspon pelototan marah
yang sesungguhnya imut daripada menakutkan.
“Mahal tauk! Lagi, masyarakat kita memandang nilai
seorang perempuan terletak pada keperawanannya. Seolah itu suci, dan bila tidak,
berarti kotor. Aneh sekali.”
Kamu manggut-manggut, aneh memang. Di ceruk kepala kamu
berpikir, di tempat yang menjunjung tinggi patriarki, menjadi laki-laki
merupakan previlese. “Iya sih. Tapi menurutku anggapan begitu tak perlu
didengarkan. Apapun yang orang bicarakan di belakang, kan bukan urusan kita.
Dan soal jam biologis, kalau tahu, Rachel Weisz melahirkan di usia 48 tahun.”
Decakan gemas terdengar. Benar dugaanmu, topik sensitif
membuatnya terlalu aktif. “Wahai sobat open minded, kalau semua persoalan
dikembalikan pada individu, kamu nggak akan nemu solusi untuk masyarakat.
Menurutmu feminisme tumbuh dan berkembang karena individunya cuek terhadap
stigma? Nggak. Mereka menyatukan suara untuk melakukan pembangkangan kolektif.”
Frasa pembangkangan kolektif mau tak mau membuatmu
tertawa. Tak ada yang tahu, betapa inginnya kamu menjeritkan pernyataan bahwa
dia tak perlu melakukan pembangkangan apapun untuk diterima. Tapi, dengan
selera apresiasinya yang menyedihkan, dia akan menuduhmu makhluk visual yang
memuja penampilan. Fakta, orang cantik tak merasa dirinya cantik. “Lalu apa
solusimu?”
“Stigma yang sudah mengakar seperti itu perlu dilawan
dengan penyadaran. Tapi, kesadaran hanya didapat oleh mereka yang menemukan
jawab dari pertentangan-pertentangan dalam dirinya. Jadi belum ada solusi
konkret. Mungkin, mungkin ya ini, harus dilakukan revolusi kesadaran bersama
melalui berbagai media.”
Termenung, secara tak sadar kamu memperhatikan dia
mengiris kue. Entah mana di antara dua itu yang lebih manis. Bicara soal
manis, kamu teringat bagaimana perempuan manis matrealis menjerat laki-laki
borjuis. Mereka terang-terangan menginginkan materi, fisik adalah hal kesekian.
“Oke. Perempuan memang cenderung direpoti paradigma masyarakat,
itu satu hal.” Ujarmu berusaha mengalihkan topik. “Lantas bagaimana dengan
cewek matre, mereka yang membidik laki-laki untuk materi, bukankah itu juga
merugikan kaum kami?”
Dia meletakkan garpu, tergugah topik yang baru saja kamu
sodorkan. Kemudian dengan tenang berkata, “Simpel. Perempuan terobsesi menjadi cantik,
sebab dunia kejam terhadap yang buruk rupa. Termasuk di antaranya lelaki,
siapakah idola kalian jika bukan wanita cantik berutubuh aduhai? Nah, untuk
mendapatkan cantik itu diperlukan uang buanyak. Kalian, para pria, menukar
ketubuhan wanita dengan materi. Akui saja, pasangan cantik adalah kaki tangan
ego untuk dibanggakan.” Dia menghela nafas lelah. “Maka terbentuklah lagi
stigma, harga diri lelaki ada pada materi, sementara wanita pada penampilan.
Katakanlah, pria membeli fisik, dan perempuan menjualnya untuk mendapat lebih.”
“Loh tapi memang ada perempuan yang morotin laki-laki,
setelah dapat malah ditinggal.” Tentangmu tak terima.
“Tentu. Itu oknum. Tapi garis besarnya adalah tadi,
disebabkan kebutuhan. Kalau bicara kasus per kasus, laki-laki pun sama, pergi
dari komitmen setelah pasangannya ganti wujud.” Dia mengibaskan tangan. “Sudahlah,
pria dan wanita itu selalu sama rendah atau sama tinggi, tergantung dari sudut
mana kita melihat. Dan, hubungan pria-wanita adalah konstelasi domino yang kita
tak tahu di mana pangkal dan muaranya. Wanita begini karena lelaki begitu.”
“Eh makanku udah selesai. Pulang yuk.”
Tiba-tiba dia berdiri, membayar untuk kemudian membaginya
dua. Entah kamu harus bersyukur atau sedih atas egaliterismenya yang mendarah
daging, membunuh maskulinitas dan menjadikanmu hanya sekadar kamu.
Sebenarnya pula, kamu masih ingin diskusi, tapi sedang
kekurangan amunisi dan jelas akan kalah dari bakat alamiah perempuan. Mereka
berbicara 13 ribu kata lebih banyak dari pria tiap harinya. Jadi, lain kali
saja.