Boogeyman
By Rebecca McDowell
“Siapa di sana?”
Kau tahu siapa.
“Aku tak takut padamu.”
Oh, benarkah?
“Tidak. Ibuku bilang kau tidak
nyata.”
Para ibu, mereka mengatakan banyak
hal, kan?
“Ayahku juga mengatakannya.”
Oh, baiklah dalam hal itu. Ayah
adalah soal lain.
“Kau mengejekku?”
Hanya sedikit.
“Kau tidak nyata. Aku tahu karena
tak ada ruang untukmu di sana.”
Aye, yakin sekali? Kau tahu seberapa
besar aku?
“Tidak, tapi tak ada ruang di lemari
untuk siapapun.”
Mungkin aku tidak di sana, kan?
“Kau di mana?”
Kenapa itu penting? Aku tidak nyata,
ingat? Kembalilah tidur. Tak ada hal buruk yang akan terjadi padamu.
“Kau bohong. Pergi.”
Aku tak bisa melakukan itu, maaf
saja. Aku ke sini untukmu.
“Kau ingin memakanku?”
Demi saripati tanah, tidak. Kau
mungkin kotor, kan?
“Lalu apa yang ingin kau lakukan
padaku?”
Membawamu pergi, jauh, jauh, jauh.
Jauh ke tempat di mana semua anak-anak hilang bermain.
“Tidak.”
Ada lagu-lagu dan permen dan anak-anak
lain, sayangku. Tidakkah kau ingin melihat?
“TIDAK.”
Bisa dilakukan dengan cara mudah
atau sulit; pilihanmu.
“Aku takkan pergi denganmu. Aku
tidak takut padamu. Kalau kau cukup kecil untuk masuk ke lemariku, kau takkan
bisa menarikku ke manapun.”
Aku muat di bidal atau memenuhi aula
simfoni. Aku bisa pergi ke manapun. Aku bisa berlari di antara tetas hujan atau
menenggelamkan kapal, bukan? Aku muat di lemari dan bisa menyeret bocah kecil
arogan yang berteriak dari tempat tidur mereka.
“Kau bohong.”
Cobalah pergi ke lorong, kalau
begitu.
“Kenapa kau ingin membawaku?”
Karena itulah yang kulakukan, dan
selalu kulakukan.
“Kenapa aku?”
Aku mencari yang manis-manis, bocah
kecil. Mencari yang manis, dan kau anak manis, bukan?
“Tidak, aku bukan! Aku… aku nakal.
Aku sangat nakal.”
Sebagian anak, mereka nakal. Tapi
yang paling nakal—aku membawanya juga.
“Oke, aku nakal tapi tidak terlalu
nakal.”
Aku tahu.
“Ibuku datang, aku bisa
mendengarnya. Aku tahu kau menghilang saat ada dia.”
Aku akan kembali, bocah, camkan itu.
“Aku tidak takut padamu!”
“Kau bicara pada siapa?”
“Ada sesuatu di lemari.”
“Untuk terakhir kali, Toby, tak ada
apapun di lemarimu.”
“Ada! Dia bicara padaku! Aku
mendengarnya! Dia bilang akan membawaku pergi—”
“Sayang. Dengar—”
“—karena aku manis.”
“—lihat? Closetnya kosong.”
“Aku tahu. Tapi—”
“Kamu mimpi, nak. Itu tidak nyata.
Tidak ada apa-apa di sini. Oke?”
“Aku mendengarnya.”
“Tobias.”
“Baiklah, aku tak percaya.”
“Jangan pengecut.”
“Maaf.”
“Tidurlah. Kamu sembilan tahun. Kamu
terlalu tua untuk omong kosong ini.”
“Maaf, bu.”
“Tidak… Ibu yang minta maaf, sayang.
Ibu tak bermaksud membentakmu. Kau putra kecilku yang manis. Ibu janji, tak ada
apapun di lemarimu kecuali baju-baju dan sepatu dan mungkin beberapa helai
rambut anjing.”
“Oke.”
“Ibu sayang kamu.”
“Aku juga sayang ibu.”
Mungkin dia ingin aku mengambilmu.
“Dia tidak ingin.”
Dia sanggup bolak-balik ke neraka
untukmu, dan lihat bagaimana caramu bicara padanya, selalu cemberut, hm?Mungkin
kau memang benar-benar nakal.
“Sudah, tutup mulut.”
Sangat keji. Anak yang keji.
“Mungkin aku harus bangun. Aku hanya
tinggal lari dari sini dan turun tangga.”
Pikirmu kau lebih cepat dariku,
begitu?
“Kau tak bisa mendapatkanku kalau
sampai ke pintu. Karena lampu menyala dan ayah ibuku ada di sana.”
Aku pernah mengambil bocah perempuan
kecil yang bisa berlari lebih cepat dari siapapun. Tak seorang pun dapat
menangkapnya. Dia sangat terkejut ketika aku meraih segera setelah kakinya
turun.
“Kau berbohong lagi.”
Sangat pintar, bukan?
“Aku takkan pergi denganmu. Aku
takkan pergi. Tinggalkan aku sendiri.”
Ayolah, sekarang, tak ada gunanya
menangis. Kau dengar ibumu. Terlalu tua untuk omong kosong ini.
“Aku tidak menangis. Aku hanya…
punya alergi. Aku takkan bangun dari tempat tidur, jadi mungkin sebaiknya kau
pergi.”
Kedengarannya benar dan adil. Sampai
ketemu besok.
“Itu bodoh. Kita tidak saling
bertemu.”
Tapi aku menemuimu. Dadah, Toby!
.
.
“Halo?”
Halo.
“Kau kembali.”
Tentu saja. Lain malam, lain
kesempatan.
“Kenapa kau tak pergi ganggu yang
lain?”
Bukannya kau yang baru saja
memanggilku di kegelapan, nak?
“Aku hanya ingin tahu apakah kau ada
di sana.”
Dan aku di sini. Kau telah dipilih.
Bukankah itu menyenangkan?
“Dipilih oleh siapa?”
Sidhe.
“She apa? Dia siapa?”
Kau bocah kecil, lucu, ya?
“Terserah. Bilang padanya untuk
memilih yang lain.”
Punya ide?
“Aku tak tahu.”
Kedengarannya kau punya.
“Baiklah… tidak, aku tidak bisa. Aku
takkan memberitahumu di mana anak-anak lain. Aku tidak akan membantumu.”
Jadi tak ada yang menggangumu di
sekolah?
“Tidak.”
Kau cukup lama dalam menjawab.
“Dia duduk di belakangku.”
Oh?
“Dia mengatakan hal-hal kejam
padaku, pelan sehingga Miss Danko tak mendengar.”
Apa yang dia katakan?
“Aku tak tahu. Macam-macam.”
Macam apa?
“Dia bilang ibuku seorang pelacur
dan aku homo.”
Itu bukan hal yang baik untuk
diucapkan, bukan?
“Dia bilang aku sundal dan harus
mati dalam api.”
Itu juga bukan hal baik untuk
diucapkan. Kau tahu apa artinya? Bukan hal memalukan jika tidak.
“Agak.”
Siapa namanya?
“Ben Brody.”
Sampai ketemu besok, Toby.
.
.
“Apakah kau di sana?”
Aku selalu di sini, kan? Sudah malam,
betul?
“Ben tidak sekolah hari ini.”
Kurasa begitu.
“Kepala sekolah ke kelas kami untuk
bicara tentang keamanan. Dia memberitahu bahwa Ben tidak di kasur ketika
ayahnya datang untuk membangunkan.”
Itu masuk akal.
“Kau mengambilnya?”
Aye.
“Kenapa?”
Kadang, meskipun tidak terpilih, aku
mengambil bocah kecil itu karena mereka nakal.
“Oh.”
Kau tiba-tiba sangat diam.
“Kau mengambilnya karenaku?”
Mungkin. Jika aku melakukannya,
apakah kau akan bangun dari sana dan sukarela ikut denganku?
“Tidak.”
Sama saja.
“Apa yang akan terjadi padanya?”
Aku tidak yakin. Dia berada di
tempatnya.
“Di mana?”
Tidak ke tempat kau akan pergi.
“Mereka tidak… dia takkan terluka,
bukan?”
Begitu peduli pada anak yang kasar,
pemarah dan tak berperasaan, ya?
“Ya.”
Aku tahu kau anak manis.
“Aku bukan anak manis. Aku takkan
pergi denganmu.”
Mari kita lihat, oke? Besok malam,
kalau begitu, Toby.
.
.
“Ben Brody belum masuk hari ini.”
Tentu saja. Dia belum kembali.
“Ayahnya masuk tv, menangis.”
Itu membuatmu sedih?
“Begitulah.”
Kukira begitu.
“Kupikir aku akan bahagia kalau dia
menghilang, tapi aku merasa lebih buruk.”
Kau bocah baik.
“Aku tak ingin dia terluka. Aku
hanya ingin dia berhenti mengejekku.”
Anak nakal menuai apa yang dia
tanam, Toby.
“Apa yang kau lakukan pada anak-anak
nakal?”
Aku membawa mereka ke suatu tempat,
anak-anak baik ke tempat lain.
“Apa yang akan terjadi pada Ben?”
Aku tak tahu, sungguh. Dia bersama
tuan rumah yang berbeda-beda, hari ini disayang dan diberi suguhan, besok
dipukuli dengan tongkat emas.
“Oh.”
Aku tahu dia menangis. Oh, dia
menangis, hampir setiap menit. Aku mendengarnya, semua melalui Tir na nOg, kan?
Aku mendengarnya, menangis memanggil ayahnya seolah hatinya hancur.
“Oh.”
Dan sekarang kau menangis. Kenapa?
Kenapa kau menangis untuk bocah yang jahat padamu?
“Aku… aku tidak.”
Jangan menangis untuk baby Ben. Dia
takkan pernah menangisi apapun yang dia lakukan terhadapmu.
“Ini lebih buruk.”
Aku tak paham.
“Aku bilang… aku bilang ini lebih
buruk. Dia hanya memanggilku dengan julukan. Ini lebih buruk… aku membuatnya
menghilang.”
Sama saja. Sampai jumpa di lain
purnama, Toby,
.
.
“Kau di sana? Apa kau tahu mama Ben
meninggal tahun lalu?”
Ya, dia sudah meninggal.
“Mereka mengatakan itu di tv hari
ini.”
Mm hmm.
“Ayahnya menangis lagi di tv. Dia
bilang Ben adalah satu-satunya yang dia miliki.”
Aye. Dia seorang ayah yang menyayangi
putranya, bukan? Dan sekarang dia tak memiliki siapapun, benar?
“Aku tidak menginginkan ini.”
Tapi kau melakukannya. Kau
memberitahuku tentangnya. Memintaku mengambilnya, bukan?
“Aku… tidak, tidak, aku hanya…”
Dia telah pergi, nak. Dia telah
pergi, ayahnya sendiri, dan kau aman di tempat tidur, seperti yang kau mau.
“Tolong bawa dia kembali.”
Membawanya kembali?
“Bawa Ben kembali. Tolong? Aku tak
ingin siapapun terluka.”
Apa yang kau harapkan?
“Aku… bukan ini. Bukan ini yang
kumau.”
Kau seperti ini lagi, menangisi
bocah yang tak pernah baik padamu.
“Tolong? Tolong bawa dia kembali.”
Mungkin. Mungkin aku bisa.
“Sungguh?”
Kalau kau ikut denganku.
“Tidak!”
Tawar-menawar, ya? Ikut denganku,
sendirian, dan aku akan mengembalikan iblis kecil mengerikan itu ke tempat
tidurnya.
"Tidak."
Salahmu dia menghilang, kalau
begitu?
“Tapi…”
Aku takkan membawamu ke tempat di mana aku membawanya. Aku akan membawamu ke
suatu tempat di mana kau bisa bermain dan makan biskuit cokelat, ya? Toby?
“Bagaimana dengan ayah dan ibuku? Apakah
aku bisa bertemu mereka lagi?”
Akan ada banyak ibu dan ayah baru di
sana, sayangku. Dan ayah ibumu akan merindukanmu, tapi kau memiliki saudara
perempuan, kan? Mereka masih punya bayi, betul?
“Kalau kau membawaku, aku tak bisa
kembali?”
Kalau begitu, bagaimana dengan
tawaran lain. Kau ikut denganku sekarang dan tinggal sebentar, tiga hari.
Setelah itu, kalau kau masih ingin pulang, aku akan membawamu kembali.
“Benarkah?”
Iya. Toby, anak manis.
“Dan kau akan mengembalikan Ben
seperti biasa, dan takkan pernah membawanya lagi?”
Aku janji, oke?
"Kalau begitu ... kalau begitu
baiklah. Kalau aku bisa kembali setelah tiga hari, dan kau akan membawa Ben
pulang selamanya, aku akan pergi."
Bagus sekali, Toby. Rentangkan
tanganmu. Rentangkan, dan aku akan meraihmu.
.
.
“Boleh aku minta permen lagi, Lady
mother?"
"Tentu boleh, cintaku yang
manis, Toby-ku."
“Ini sudah berapa hari ya?”
“Sayangku yang tersayang, matahari
telah terbit di Tir n Ng tiga kali. Mengapa kau bertanya?”
"Um ... aku tidak tahu.
Maksudku, aku tak ingat. Kurasa ... bukankah aku harus melakukan sesuatu
setelah tiga hari?"
"Tentu saja tidak, Sayang. Apa
yang harus kau lakukan? Kau punya segalanya di sini."
"Aku hanya ... kupikir aku
mengingat sesuatu tiga hari."
"Mungkin kau memimpikannya, sayang.”
"Sebenarnya, kupikir aku memang
bermimpi."
"Apa mimpimu, sayang?"
"Aku bermimpi tentang sebuah
kamar dengan tempat tidur dan meja serta lemari.”
“Oh?”
"Di luar jendela, matahari
bergerak sangat cepat, berulang-ulang ... dan ada seorang wanita yang menangis
dan menyebutkan namaku, rambutnya telah berubah jadi semakin abu-abu saat dia
bangkit ... dan ... .Melihat tangisannya membuatku sedih ... aku ... bayi kecilnya.
"
"Kamu memimpikan ibu lain?
Betapa itu membuatku sedih. Kupikir kau adalah putraku."
“Oh—”
"Apakah aku bukan ibu terbaik,
paling baik, paling dermawan dan pengasih yang pernah kamu miliki?"
“Aku… aku tidak.”
"Sebenarnya aku tak ingin
bermain hari ini. Aku sangat kesal. Aku mungkin cuma merajuk."
"Maaf, Lady mother. Itu hanya
mimpi. Aku yakin itu tidak berarti apa-apa."
“Sungguh?”
“Ya, sungguh, tolong jangan marah
padaku.”
“Tentu tidak, sayangku. Tolong,
jangan nangis.”
"Ya. Aku terlalu tua untuk
omong kosong itu."
“Ya?”
"Aku ... aku tidak tahu. Aku
tidak tahu dari mana itu. Kurasa ... kurasa itu ada di mimpiku."
"Aku mencintaimu, sayang."
"Aku juga mencintaimu, Lady
mother."
Note: Merasa aneh?
Oke kujawab sendiri. Jadi ini cerpen yang seluruhnya berisi dialog, tanpa narasi dan deskripsi. Tapi karakternya bisa kuat kan? Setuju gak, penulis yang keren adalah mereka yang menciptakan gaya sendiri.
Btw, kayaknya, ini salah satu cerpen yang bakal kuingat seumur hidup. Sederhana tapi ngena.