Hujan selalu sama.
Mungkin segala hal di kehidupan kita berubah. Orang datang dan
pergi, fisik bertumbuh, lingkungan berganti rupa, semua yang menjadi aspek di
tubuh waktu berubah. Berganti menjadi mereka yang lain. Tapi tidak dengan
hujan.
Hujan selalu sama. Karena itu, saya menyukainya.
Saya menyukainya karena dia seperti kotak waktu yang tetap. Kita
bisa mengenang apa saja ketika ia tiba, mengingat kejadian dulu sekali, menikmati
wangi tanah terguyur air saat ini, atau membayangkan suatu waktu ketika rambut
mulai beruban dan hanya ada kita dengan rintik itu. Semacam kurun waktu
tertentu, saat segala yang kau lakukan terasa tepat. Ketika hujan, kita tidur
lebih nyenyak, makan lebih enak, membaca lebih konsentrasi, menulis lebih
lancar dan melamun lebih indah. Kelebihan-kelebihan itu, tidakkah menyenangkan jika
dialami saja? Tak perlu dihindari, bahkan, hey… mereka cuma air.
Air yang turun dalam kuantitas tertentu yang intens. Estetis. Seperti
musik klasik atau nada-nada melankolis.
Sepanjang sejarah naik motor, tiga kali saya jatuh, dan
ketiga-tiganya terjadi akibat menghindari hujan. Kali terakhir saya memutuskan
untuk berhenti menghindar. Kemudian menggantikannya dengan berusaha menikmati,
sebagai kompensasi atas rasa kesal. Lalu, ia mulai bersahabat, bahkan sudah
lama saya ingin hujan-hujanan seperti bertahun-tahun dulu. Hanya saja, itu
terlalu anomali untuk orang dua puluh tahunan.
Tidak mengherankan kalau banyak sekali prosa yang mengungkit hujan
di dalamnya. Tapi, sebenarnya, saya menyukai hal-hal simpel seperti suaranya,
baunya, suasana dan elemen-elemen yang membuat hujan tidak sederhana.
(Hujan, kalau kau bisa merasakan, seperti sebuah ajakan bagimu
untuk mengenang).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar