Fiksi (Halo, Aku dalam Novel)
Hari
ini saya merasa (sedikit) senang. Setelah beberapa hari membaca buku teori yang
tak mengundang selera, saya memutuskan pergi ke perda untuk meminjam fiksi dan
teori juga (huuh!). Untuk fiksi, hal pertama yang akan dan selalu saya lihat
adalah pengarangnya, bukan judul, demi menjamin bahwa tidak ada waktu yang
terbuang untuk membaca cerita konyol dan menye-menye. Awalnya saya
sempat ragu karena belum pernah membaca tulisan pengarang itu satu kalimat pun.
Tetapi ketika melihat biografinya, saya menjadi tertarik. Berani-beraninya dia
menulis “bercita-cita menjadi pria tampan”. Kan nyebelin. Walaupun, tentu
saja, terserah karena itu novel dia. Untung klausa tersebut diikuti oleh klausa
penenang lainnya, yakni: “yang mungkin tidak bakal kesampaian”.
Ini
nih, orang PD cenderung songong yang nggak takut dibilang gaje. Nulis mah nulis
aja. (Dan saya suka)
Saya
suka pada tokoh yang ia tuliskan. Ada sedikit kemiripan antara kami. Walaupun,
setidaknya, saya masih memiliki tanggung jawab moral agar hidup secara normal.
Karena, kalau sampai diri ini tidak punya teman, maka itu menyengsarakan mental
dan satu-satunya yang harus disalahkan adalah jiwa. Mungkin orang akan
menganggap saya sakit jiwa kalau membentak siapun yang menanyakan privasi.
Menganggap saya sakit jiwa kalau menyendiri dan terus sendiri seperti hidup di
dunia lain. Meski di satu sisi, tidakkah sakit jiwa adalah klaim seseorang
terhadap orang lain yang hidup di luar batas norma? Ya, bisa jadi, bagi mereka
yang sakit jiwa, kitalah yang sebenarnya sakit dan membutuhkan pengobatan.
Lihat saja, berapa banyak di antara kalian yang memilih pura-pura nyaman
padahal merasa buruk. Mengambil keputusan yang menyiksa diri untuk terlihat
keren dan membanggakan. Bagi saya sih, hal semacam itu bukan lagi
keputusan, melainkan sebuah kompromi. Jalan damai antara prestise dengan sistem
hegemoni.
Tapi,
yah, mau bagaimana lagi. Jiwa punya tanggung jawab kepada diri untuk terlihat
baik-baik saja. (Mungkin akibat kita tidak cukup kaya untuk membeli planet
sendiri, dan menyeleksi siapa saja yang boleh masuk ke kehidupan kita).
Tokoh
utama dalam novel itu seorang laki-laki. Seorang mahasiswa Internasional, kaya
dan pintar (tentu saja), mandiri dan. . . saya curiga kalau sebenarnya dia
bukan makhluk sosial. Tapi, yang paling menarik darinya adalah dia seperti
memiliki kehidupan sendiri. Sangat cuek, (kau harus tahu bahwa ada jenis cuek
yang mendekati brengsek, dia tipe seperti itu). Kecuekannya sudah mendarah
daging, sampai-sampai dia merasa lebih bahagia kalau tidak memiliki seorang pun
di hidupnya. Tapi sialnya, dia justru memiliki semua, orang tua kaya, teman
yang senantiasa peduli, pacar dan segala bentuk perhatian.
Saya
suka tokoh itu karena dia sangat jujur, baik pada diri sendiri maupun orang
lain. Kejujuran yang sangat mahal menurut saya. Karena untuk melakukannya,
peraturan pertama adalah kau tidak boleh peduli pada orang lain. Tidak sedikit
pun, apalagi banyak. Kepedulian hanyalah racun yang membuatmu jadi empati,
kemudian palsu.
Tentu
saja saya tak ingin seperti dia. Orang yang tidak punya teman dan sendirian.
Tapi, kalau di kehidupan nyata ada orang seperti itu, saya pasti kagum. Oh ya,
saya punya teman (kalau dia menganggapku teman) yang hampir seperti itu.
Perempuan, pendiam dan penyendiri. Saya suka bertanya-tanya, sebenarnya dia
punya hati atau tidak, kenapa tidak bosan menjadi sendiri. Tapi ya sudahlah, kan
itu hidup dia. Saya juga cuma tokoh sampingan yang kebeteluan ada saja.
Saya
pikir, hal paling menyenangkan di dunia ini adalah menjadi diri sendiri. Sama
seperti tokoh di novel itu. Sama seperti penulis novelnya (barangkali), sama
seperti siapapun yang tidak menggunakan kosmetik pencitraan dalam menjalani
hidup. Lagi pula, percuma, pencitraan hanya membuat orang menyukai kita yang
palsu, kita yang bukan kita. Berhentilah pura-pura kalau kau ingin dicintai apa
adanya.
Hmm,
oh ya, satu lagi, hal yang saya sukai dari novel itu adalah anti-mainstream,
semacam narasi yang digunakan untuk mendobrak hegemoni. Saya sudah rela membuang
waktu ketika membaca paragraph kedua di novel itu:
“Tokoh
utama dalam tulisan saya, yang jelas, dia tidak boleh cantik. Cih! Saya benci
orang-orang cantik karena mereka biasanya tolol. Saya akan membuatnya sangat
jelek. Jelek sekali. Tidak punya teman, sendirian. Mungkin, gagu.”
Itu
paragraph favorit saya. Akhirnya, ada juga penulis yang tidak menggunakan ‘cantik
non manusiawi’ pada tokohnya, bahkan bisa dibilang merobek-robek horizon ekspektasi
pembaca. Saya benci orang-orang cantik karena mereka biasanya tolol.
Mungkin,
kalau suatu saat menulis novel, saya pun akan membuat tokoh yang punya
kelemahan. Tidak, saya juga tidak mau pake cowok ganteng, karena biasanya mereka
playboy dan cuma pintar merayu. Saya merasa cukup dengan deskripsi seperti ini:
“Aku
tidak tampan. Kulitku lebih coklat dari sawo paling matang sekalipun. Secara
fisik, tak ada yang bisa dibanggakan dariku. Kecuali kau tipe anomali yang
menyukai tubuh tinggi tegap, rambut hitam legam. Meski begitu, aku memiliki
cukup banyak teman perempuan, dan sebagian dari mereka menyukaiku. Jika tidak
mengakui secara langsung, biasanya mereka mengatakan lewat tatapan mata. Kenapa
aku bisa tahu? Mudah saja, kalau kau cukup cerdas semua bisa dibaca, mata
adalah jendela hati paling murni.
Aku
suka perempuan tentu saja. Tapi bukan mereka. Gadis-gadis bodoh yang
perasaannya tumpul. Kalau harus jatuh cinta, aku akan jatuh tanpa pernah bangun
pada perempuan yang membuatku seperti bercermin. Sehingga aku selalu tahu
sebelah mana yang salah, selalu tahu persis tanpa perlu pura-pura.
Ngomong-ngomong,
namaku L. Kepanjangannya ada di presensi kuliah, di kartu pers mahasiswa, di
korps sukarelawan, di struktur organisasi senat paling atas dan tentu saja, di
hati orang itu. Kalau sudah ketemu, aku akan merangsek masuk dalam hatinya,
dalam hari-harinya.”
Terakhir,
novel itu menggunakan sudut pandang ‘aku’. Ini favorit saya juga. Sudut pandang
aku adalah yang terbaik dalam fiksi, karena bisa menyabotase interpretasi
pembaca. Memang banyak yang bilang bahwa sudut pandang ‘aku’ tidak objektif. Tapi
buat apa, kan ini fiksi. Objektif hanya untuk skripsi dan karya ilmiah.
Oke,
sudah dulu ya. Have a nice time.