Belakangan ini saya cepat sekali bosan. Pada pagi, siang, sore dan
malam yang sama. Sama-sama nyaman dan tentram. Namun, ketika sendiri, saya
sadar bahwa kenyaman selalu menghayutkan waktu seseorang pada suatu kemandekan,
membuatnya merasa bahagia itu memang sederhana tapi mahal harganya, hingga di
ujung kebahagian tersebut waktu kembali menyadarkan tentang apa-apa yang belum
terlaksana.
Setiap kali liburan nyaris berakhir. . .saya hampir selalu
menyesal. Entah, menyesali perjumpaan serta kebersamaan yang terlalu sebentar.
Atau justru menyesali kenapa liburan datang dalam porsi yang membingungkan:
sebentar tapi bermakna, lama tapi biasa saja. Dan lantaran saya mengalami yang
pertama, maka segalanya terasa tak berjeda, beruntun laksana kereta api dengan
gerbong silaturahmi wajah lama yang
masing-masing dari mereka menyimpan cerita di memori saya.
ada rasa malas yang berjelaga dan mengganggu pikiran, menderu seperti
peluru untuk menghalalkan keluhan pada tempat yang sejatinya tak pernah memberi
rasa aman. Bahkan tidak untuk tidur berkualitas yang seharusnya menjadi hak
semua orang. Sayangnya, toh, saya terlanjur nyaman dengan tempat itu. And I
wanna be a strong wall in the hard place.
Sungguh, di dunia ini, satu-satunya benda yang paling saya inginkan
adalah ‘pintu ke mana saja’. Konyol memang, bahkan sama sekali tak memiliki
setitik pun alasan baginya untuk disebut logis. Namun, andai selalu memiliki
jalannya untuk membuat orang terpukau. Karena namanya saja andai, jadi dia
harus berada pada tempatnya sebagai pengobat utopia yang menawarkan
fatamorgana.
Saya ingin berandai-andai memiliki benda itu, sekali ini saja.
Kalau saya punya pintu ke mana saja: kehidupan takkan pernah memberi
kebosanan spasial, yang ada hanyalah penjelajahan yang meruang dalam setiap
waktu luang. Saya ingin mendaki sumbing dan sindhoro yang kemarin-kemarin hanya
mampu dilewati, duduk menatap sunrise di puncak selamet -yang 21 tahun hidup
satu kabupaten- tapi hanya mewujud dalam bentuk verbal sebagai gunung. I wanna
go to the land four seasons, as long as possible. Setidaknya bisa merasai dingin
yang standar internasional atau musim di mana bunga-bunga tumbuh bermekaran
lebih cantik dari definisi cantik itu sendiri. Terutama Edelweis, yang baru
sempat saya lihat dalam bentuk layu karena turun dari asalnya ke Semarang.
Saya mau ke Edenham dan Edensore, dua tempat berdampingan yang
keindahannya baru saya lihat dalam bentuk kata-kata. Mau mendengar sendiri
bahasa perancis yang sengau, native speaker yang berbicara bahasa inggris
seperti orang selesma, juga ingin tau aksen british itu bagaimana –kata teman
saya inggris amerika yang sering di pakai dimana-mana itu kurang estetis dan
tidak begitu sopan.
Masih dalam rangka mengkhayal, dengan pintu ke mana saja, saya
ingin ke alam kubur. Jenguk bapak dan saudara yang lebih dulu menghadap. Jujur saja,
kerinduan pada mereka sudah demikian gigantik. Meski heran juga, kenapa saya
bisa begitu merindukan padahal jarak kami jelas-jelas tak tertempuh oleh apapun
kecuali harus melewati gerbang bernama mati, kecuali lagi… ya dengan pintu ke
mana saja. Mungkin dengan itu saya bisa insaf untuk tidak lagi mengkhayal
seperti ini.
Kehidupan ini akan jadi petualangan tak terpetakan, jika dan hanya
jika, ada pintu ke mana saja. Namun bisa jadi saya tak pernah benar-benar hidup
karena tak tau harga jarak, dan proses bermakna menuju tempat-tempat tadi.
Entahlah, saya juga masih ingin percaya, God’s plan is
always more beautiful than our desire.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar