Kaloran, 7 Agustus 2014
Waktu menunjukkan
pukul 08.25 WIB ketika saya menulis ini. Sudah siang, malah terlalu siang untuk
berbasa-basi dengan rasa malas yang hadir setiap fajar menjelang. Tapi ini
temanggung, tepatnya di Desa Geblog Kecamatan Kaloran, tempat dimana matahari
selalu menampakkan rupa yang nyaris sama, dan kabut senang sekali
mengintervensi suasana sehingga pukul 9 pun terasa jam setengah 7 di Semarang. Apalagi
hawa dingin masih berderak di lantai-lantai yang kami injak, membuat segalanya
terasa pas untuk kembali menggulung diri di balik selimut yang sempat direnggut
kewajiban menghadap.
There’s no grow
in comfort zone and there’s no comfort in growth zone. I have to leave my
comfort zone to grow.
Kata-kata yang saya baca dari salah
satu buku itu lagi-lagi membuat sadar, segala sesuatu memiliki syarat
tersembunyi. Pengembangan misalnya. Jika kita ingin terus menjadi individu yang
baru dan kaya pengalaman, kita harus siap ditantang ketidaknyaman yang hadir
dalam zona baru. Orang Jawa bilang ‘Jer basuki mawa bea’, bahasa indonesianya
jika kita menginginkan sesuatu maka harus siap mengorbankan sesuatu pula,
analogi dan implikatur bahasa inggrisnya ya seperti di atas itu.
Ngomong-ngomong soal
ketidaknyamanan, di sini sangat tidak nyaman. Ada semacam cultural shock, juga
berbagai adaptasi yang harus dijalani, baik dengan lingkungan, teman dan alam. Seperti
sudah saya sebutkan tadi, temanggung memiliki zona langit yang tidak
konvensional. Subuh saja rasanya masih seperti tengah malam, dan dinginnya
ituuu… sungguh tidak mufakat bagi orang-orang pantura. Jangankan mandi sehabis subuh, wudhu saja sudah bikin
gigi gemelutuk. Setelah sempat merasakan dingin yang serupa di Bantir, untuk
pertama kali sejak 2 tahun lalu, saya kembali merasakan dingin yang sampai
bikin pegel. ‘Dingin menusuk tulang’, rasanya sudah bukan idiom lagi.
Ketidaknyamanan lainnya adalah…. Banyak!
Salah satunya harus memakai jilbab kemanapun, bahkan kamar mandi. Ya karena di
sini kami tinggal serumah dengan komposisi 2 cowok 4 cewek. Setiap selesai
keramas harus pakai hair drier, meski saya tau itu menyakiti rambut. Di sini saya
sulit mendapatkan vitamin D karena tidak ada ruang terbuka yang aman. Sudah
begitu mandi harus selalu antri. Tapi ya mau bagaimana lagi.
Dan tidak nyaman bukan berarti tanpa
pelajaran.
Keuntungan berada di Temanggung juga
tidak kalah banyak. And I don’t want to deny the favors of God.
Pemandangan di sini itu luar biasa. Maklum,
setelah 21 tahun melihat sawah dan 3 tahun melihat jalan raya tiap keluar rumah,
melihat gunung tepat di samping rumah itu sungguh sangat langka. Rasanya seperti
jatuh cinta pada pandangan pertama. Kita kagum, kita suka dan kita ingin selalu
melihatnya, tapi sekaligus tidak memiliki deskripsi yang tepat untuk
membahasakan kekaguman. Subhanallah 100X pun rasanya masih jauh dari cukup. Dengan
ini saya jadi tau kenapa orang yang sudah mendaki selalu ketagihan untuk
kembali.
Di sini saya melakukan segala
sesuatu serba terjadwal. Makan, mandi, sarapan dan terutama sholatnya sejauh
ini selalu berjamaah. Alhamdulillah, walaupun satu tim ada yang non-islam,
toleransinya sudah tegangan tinggi.
.
.
.
.
Saya jadi sadar, bahwa kuliah memang gerbang dari banyak sekali
keterkejutan dan pelajaran. Setiap semester beda tantangannya. Di Semester 6
kali ini, KKN adalah bintang utama yang (semoga) luar biasa. Apapun yang
didapat di dalamnya lebih dari sekedar mata kuliah, makanya tidak cocok kalau
hanya diberi bobot 3 SKS dan dinilai dalam bentuk A serta kroni-kroninya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar