Your children aren’t your children.
The are the sons and daughters of
Life’s longing for itself.
They come through you but not from
you.
And thou they are with you yet they
belong not to you.
You may give them your love but not
your thoughts.
For they have their own thoughts.
You may house their bodies but not
their souls.
For their souls dwell in the house
of tomorrow, which you can’t visit, not even in your dreams.
You may strive to be like them, but
seek not to make them like you.
For life goes not backward nor
tarries with yesterday.
Your are the bows from which your
children as living arrows are sent forth.
The archer sees the mark upon the
path of the infinite, and He bends you with His might that His arrows may go
swift and far.
Let your bending in the archer’s
hand be for gladness;
For even as He loves the arrows that
flies, so He loves also the bow that is stable.
(Darma, 2008:122) *Raffilus
Sepertinya
memiliki anak bahagia sekali ya. Bisa menggendongnya, melihat turunan wajah
kita bercampur dengan wajah orang lain, menyuapkan bubur atau mendengarkan
kegagalan fonologinya yang justru merdu. Beberapa teman yang sudah berkeluarga
dan punya anak rajin update perkembangan putra mereka. Katanya membahagiakan,
walau harus merelakan waktu luang apalagi waktu istirahat, memikirkan baju-baju
dan kebutuhan lain yang harus dibeli. But it’s ok, it’s love.
Bukan, ini
bukan karena aku perempuan dewasa yang tiba-tiba ingin punya anak ketika
melihat anak kecil lucu. Atau hal-hal impulsif lainnya. Ini murni karena tema
tulisan ini adalah anak-anak.
Anak kecil
punya senyum paling tulus. Paling bersih dari pretensi apapun yang membuat
orang yang disenyuminya susah untuk tidak tersenyum balik. Bahkan terkadang,
membuat mereka tersenyum adalah suatu kebahagiaan tersendiri.
Mereka punya
dunia sendiri yang tak bisa kita masuki. Kendati setiap orang dewasa pernah
menjadi anak-anak, semua pasti lupa bagaimana cara menenangkan tangis yang
sedang meledak, meredakan emosi yang tak jelas, dan alih-alih bingung terpaksa
menyerah lalu bilang: “Sebenarnya mau kamu apa!”
Kita juga tidak
paham dan jengkel sendiri melihat manusia kecil yang lebih memilih hujan-hujan
ketimbang berdiam diri di rumah. Di sisi lain sering tertawa sok waras melihat
anak kecil ngobrol dengan tembok. Tanpa sadar bahwa dirinya sendiri pernah
melakukan itu (terutama cewek). Padahal beberapa orang dewasa jauh lebih absurd
dengan memaki-maki, mengeluh dan nyinyir di dunia maya. Anak kecil pun tidak
paham itu.
Berbicara
dengan benda mati, hujan-hujan, rumah-rumahan, berlarian di siang hari yang
panas gila, mencintai es setengah mati padahal rawan pilek, itu semua hanya
implementasi keluguan mereka yang tak bisa kita sentuh. Sekali lagi, mereka
punya dunia sendiri. Mereka dalam kacamata kita adalah anak-anak konyol yang
harus dibimbing, sementara kita bagi mereka adalah manusia sok logis yang
diktator.
Sebagai orang
dewasa, seringnya orangtua lupa bahwa anak-anak punya pikiran sendiri, memiliki
segudang cita-cita dan yang lebih utama yaitu punya perasaan. Pasti di antara
kalian ada yang pernah merasa dipaksa atau (dengan sedikit menyesal) mengikuti
apapun keinginan bapak/ibu.
Tidak
apa. Asal bahagia dan ikhlas, itu termasuk berbakti pada orangtua.
Namun apa
jadinya kalau orang tua menyetting anaknya menjadi seperti utopia mereka.
Seolah-olah mereka Tuhan yang menentukan nasib dan anak hanya kepala tanpa
rencana.
You may give them your love but not
your thoughts. For they have their own thoughts.
Sekali-kali mereka bukan segumpal daging belaka. Mereka punya hati,
perasaan dan pikiran yang apabila ditekan terus-menerus akan memuai, dan pada
akhirnya berontak.
Bagaimanapun,
setiap kita lahir melalui orang tua dengan membawa misi masing-masing. Misi yang
merupakan rahasia Tuhan yang harus digali dengan segenap potensi. Orang tua
dalam beberapa hal hanya pembimbing, rumah pertama yang harus merelakan
penghuninya pergi suatu waktu.
Sementara
itu, posisi sebagai rumah pertama juga sangat penting bagi perkembangan seorang
anak. Coba, andaikata ibunya Hitler tidak melahirkan dalam kondisi keluarga
tidak menentu. Sang suami adalah pamannya sendiri yang entah kenapa suka
menciptakan neraka bagi Hitler. Dan meskipun Hitler tidak cacat, malah
cenderung jenius, ada ruang dalam dirinya yang dibentuk oleh keluarga. Ruang yang
dalam perjalanan hidup Hitler mengendalikan sikapnya, menuntun langkah menuju
predikat aktor fasis internasional.
Ruang itu bernama jiwa.
Maka,
agar anak-anak kita nanti menjadi manusia yang berguna bagi nusa, bangsa dan
agama, pertama-tama kita harus bercermin dulu. Lihat, introspeksi, jadikan
kesalahan orang tua kita di masa lampau sebagai refleksi agar tak terulang
lagi. Berikan kebebasan bagi anak-anak untuk menjadi yang mereka mau, bimbing,
seperti dulu kita dititah dan setelahnya dibiarkan berlari menuju keinginan
masing-masing.