Mozaik Agustus
30 Agustus 2013:
aku masih aku yang cuek dan tidak peduli. Dengan bodoh aku terus
berpikiran bahwa semua akan baik-baik saja, kembali seperti sedia kala. Meski
dasar hatiku menjerit, “air mukanya sudah berubah, kosong, seolah menunggu sesuatu
yang entah.”
Dia, orang yang belakangan kusadari bahwa aku sangat menyayanginya,
sudah tidak pernah berinteraksi sejak seminggu terakhir. Aku menyesal karena
terlalu banyak kebodohan yang mengitari otak, padahal itu hari-hari terakhir.
Jika tahu, tidak pernah sedetikpun akan kutinggal, tidak seharipun aku menginap
di rumah kakak, dan tidak sekalipun bilang tidak. Ingat betul ketika dia
memanggil “Tang” (sapaan tunggalku di seluruh dunia, hanya ayah yang memanggil
begitu), melambaikan tangan tanpa suara. Ah, tak bisa dihitung kebodohan yang
terlewat.
Malam itu, entah kenapa seorang ‘bapa’ yang selalu sangat sulit
dibujuk, tiba-tiba menyerahkan diri untuk dibawa ke rumah sakit. Sikapnya
pasrah, tidak menolak bahkan begitu menyenangkan untuk ukuran orang
konservatif. Semua terlihat sempurna, apalagi saat melihat ibu yang melihat itu
sebagai kesempatan baik. Aku dan adikku yang kebetulan juga bodoh, kami bertiga
setuju-setuju saja. Lalu berangkatlah beliau dengan mobil yang baru dibeli
sehari sebelumnya. Bersama: ibu, mas bowo, pa Gatot dan pa Sokwan.
31 Agustus 2013:
Bisa dibilang Agustus adalah segalanya. Ramadhan, lebaran, HUT RI
dan musim karnaval. Aku menikmati keempat hal itu tanpa tahu sedikitpun hal
paling penting yang harus diperhatikan. Sayangnya aku sudah terlanjur
menjanjikan waktu pada kakak untuk merawat si kecil Shaka. Tentu saja semua
janji harus dipenuhi. Maka tanpa paksaan, Gita juga kutinggal seorang diri.
1 September 2013:
Pagi-pagi, aku pulang ke rumah dan nyaris marah besar karena penghuninya
masih tidur. Bayangkan, hari terakhir di rumah, bapa sudah masuk ICCU, dan aku
membuang waktu satu jam lebih untuk menunggu orang bangun. Mangkel tiada tara.
Sekitar pukul sepuluh kami (aku & adik) , sampai di RS Harapan
Anda. Langsung menuju ruang ICCU, namun bapa sudah dipindah diruang cuci darah.
Aku merasa sedikit aneh, kenapa harus ada kejadian cuci darah dalam waktu
kurang dari 24 jam. Kenapa tidak ditunggu dulu bagaimana kemajuannya.
Begitu masuk ICCU, kami diusir, katanya bapa sedang di ruang lain.
Kami bergegas menuju ruang itu. Ternyata ada mba ida, 2 budheku, tante dan om.
Bagaimana ya, segala sesuatunya sudah terlalu dramatis untuk
diceritakan. Bapa, orang paling kuat, keras, galak dan tidak pernah kalah oleh
sakit, kondisinya membuat mataku berair secara spontan. Pelupuk mata ini panas,
bahkan untuk bernafaspun beliau harus menggunakan ventilator. Anak mana yang
tetap biasa saja menyaksikan malaikatnya tidak berdaya. Bapa yang dengan
kreatin 300, urium 500 masih bisa sadar, tiba-tiba terlihat lemah. Mba ida dan
gita sudah menangis, bahkan budhe dan tante juga. Tapi aku tidak bisa.
Kesulitan terbesarku adalah nangis di depan orang lain, kecuali yang hatiku
merasa aman bahwa tangisan takkan mengubah persepsi apa-apa. Mataku hujan
deras, tapi tak terisak. Hanya mengalihkan pandang ke mana saja barangkali
mampet mendadak. Lagipula bagiku nangis memalukan karena aku tak pernah
membahagiakan siapapun.
Di sana aku masih bisa menjaganya, mengelus pundak bapa. Berbisik
apa saja untuk menghibur walaupun aku tahu itu bukan kalimat yang kuat. Tekanan
darahnya 180, urium 300, dia masih berinteraksi meski tanpa suara. Matanya
masih bicara.
Siangnya Bapa tidur tenang sekali. Sehabis sholat dzuhur aku juga
ketiduran.
Menjelang sore, bapa makan lewat cairan semacam infus. Keadaannya
mulai stabil. Dan karena sore adalah jam pembersihan ruangan di mana pasien
harus ditinggal sendiri, aku dan ibu pergi untuk makan. Kemudian dilanjut
sholat ashar.
Sebelum pulang aku pamit pada bapa. Tekanan darahnya naik 200. “why?”
batinku. Begitu melihatku, bapa seperti kaget dan langsung memalingkan kepala
agar lebih fokus. Yang kulakukan waktu itu hanya berusaha berbicara sebaik
mungkin, mengelus pundaknya dan mencium. Di titik ini aku merasa tenang sudah
berhasil mencium kening bapa. Mungkin semacam salim.
Sepanjang perjalanan pulang pikiran tertuju pada satu hal, bapa.
Bagaimana bisa merantau dengan tenang
sementara belahan hati dirawat, di ruang ICCU pula. Sepanjang sisa hari
walaupun mencoba terus bercanda dengan gita, suasana tak sesederhana tawa kami.
Mba ida berusaha menenangkan dengan terus berkata, “bapa akan cepat sehat.” Firasat
hatiku menolak, membayangkan September begitu berat, seperti akan kehilangan
sesuatu yang besar. Malamnya aku tidak bisa tidur. Kamar berjendela besar
memang phobia kecilku. Baru pukul setengah dua kantuk datang. Aneh, mataku
berkedut kencang dalam durasi panjang. Lalu mendengar suara hembusan nafas
berat entah dari mana. Aku merasa akan ada kejadian yang mencegah keberangkatan
besok.
2 Semptember 2013
Setelah hanya tertidur dua jam. Pukul setengah lima gita menggendor
pintu kamar dan memaksa mata terjaga. Kami ribut karena dia terus memaksaku
mandi. Padahal dingin tidak mufakat. Lalu aku membuka hape, satu pesan
berbunyi: “intan mbtn usah pangkat.” (pukul 02-sekian WIB) Aneh, bukankah
kemarin sudah direstui untuk berangkat. Aku sih senang2 saja menunda dua puluh
empat jam. Toh kuliah pertama adalah nama lain dari ‘jam kosong beruntun.’
Seperti biasa, seusai sholat aku ngaji. Baru dua lembar tiba-tiba
adikku menjerit, “Bapaaa..” teriaknya panjang sambil tersedu-sedu
Sontak aku berlari menghampirinya. Dia tidak menjawab pertanyaanku.
Tapi semua sejelas tangisnya. Sejelas bagaimana mulutnya Cuma sanggup membentuk
satu leksem: BAPA. Tak ada sebab yang meloloskan segala kekuatan untuk berdiri,
Lutut serasa ditarik lepas, Gravitasi pergi entah ke mana. Kehilangan besar
telah terjadi.
Aku sebisa mungkin membereskan diri sendiri. Mandi, berpakaian rapi
dan merapikan rumah. ibu masih di RS bersama bapa. Ah waktu itu aku tak tega
menyebutnya jenasah.
Sementara bapa dalam perjalanan pulang, orang berduyun-duyun
datang. Aku heran, ada saja yang terus menerus bertanya bapa sakit apa. disuruh
menceritakan sejak awal masuk RS. Padahal bicara pun aku sudah merasa
kesulitan. Untuk pertama kalinya aku tidak peduli jika harus nangis di depan
siapa saja. Tapi tangisan terbesarku terjadi saat mensholati jenasah. Meski tanpa
suara, pipiku seperti sungai yang diterjang bandang. Memang, aku selalu sukses
menangis dalam diam, tanpa terisak, tanpa sedu sedan. Baru setelah selesai
sholat kelopak mata bengkak bak disengat lebah, kepala pening luar biasa. Ini
peristiwa yang sulit, jauh lebih sulit daripada tidak lolos SNMPTN.
Ibuku, ya ibuku satu-satunya yang tidak menangis waktu itu. Wajahnya
bersih, seolah bapa hanya pergi ke warung sebelah. Disusul masku, yang kendati
wajahnya merah, begitu teratur dan melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Tapi
belakangan aku tahu kalau ibu sedih luar biasa. Dia hanya tak mau terlihat
lebay, dia mencintai ayah seperti mencintai diri sendiri. Dan masku, saking
sedihnya sampai lupa pakai sandal ketika memakamkan. Terbakarlah telapak
kakinya di jalan beraspal.
Pukul 1 siang, bapa dimakamkan. Aku ikut. Diluar dugaan, ternyata
aku kuat dan biasa saja. Tapi malamnya benar-benar tak terdeskripsikan. Sepanjang
sisa tanggal 2 september, aku terus berpikir bapa sedang apa di sana. Ditindih
tanah dan pasti gelap sekali. Setiap kepikiran nangis, papasan sama foto
nangis, denger tahlil nangis lagi. Benar-benar hari tercengeng selama dua puluh
tahun terakhir. Aku pikir ini momen yang saat kecil diadakan lomba nangis, aku akan
mendapat turus terbanyak.
Ibu selalu bilang, “orang meninggal itu seperti nonton tv. Tau apa
yang terjadi, tapi tak bisa berbuat apa-apa.” Jadi kesalahan, kebaikan,
kesedihan akan berdampak pada perasaanya di sana. Pahalanya kini tergantung
pada tiga hal. Ilmu yang bermanfaat, amal jariyah dan anak yang soleh. Untuk ilmu
yang bermanfaat, bapa seorang guru, jadi Insya Allah terus mengalir. Amal
jariyah, aku yakin beliau pernah melakukannya. Anak yang soleh, ini orientasi
terbesarku sekarang. Aku percaya, jika kita sama-sama baik, Allah pasti ridho
untuk mempertemukan dalam surgaNya. Tidak ada lagi sedih. Bapa sudah
menyelesaikan masanya di dunia. Sudah menjadi ayah yang baik dan sangat
menghibur.
Wahai makhluk kecil, kembalilah dari tiada ke tiada. Berbahagialah
dalam ketiadaanmu. [SHG]
titik air mata yng tak kan pernah terhapus sampai kpanpun karena sebuah cinta, cinta ayahmu pasti sangatlah besar, tapi cinta Allah pada ayahmu lebih besar....
BalasHapuskeep spirit teman.....