Masih ingat video
perempuan dilempari uang dan dimaki-maki sebagai pelakor? Iya, yang pakai
bahasa jawa itu? Kalau tidak ingat atau belum lahir waktu itu, ya nggak apa-apa
sih. Yang akan saya bahas di sini adalah bagaimana stigma perselingkuhan di
masyarakat.
Semua manusia (termasuk kita) punya potensi berselingkuh
dari pasangan. Kalau di cerita romance wattpad mungkin selingkuh dilakukan oleh
badboy yang dasarnya playboy. Tapi, di realita, selingkuh adalah penyakit yang
bisa menjangkit siapa saja. Termasuk pria baik-baik, orang yang memiliki
pasangan cantik/ganteng, mereka yang keluarganya tampak baik-baik saja.
Selama ini jika ada yang selingkuh maka akan langsung
menyorot ke dua pihak, yaitu pasangan sah (istri) dan pihak ketiga (pelakor). Misalnya
dengan mempertanyakan tingkat kebecusan istri sehingga suami sampai
berselingkuh. Atau dengan menghujat pelakor sebagai pihak paling berdosa. Video
menghujani pelakor dengan uang yang sempat viral (dan komentarnya), membuktikan
bahwa masyarakat gemar sekali mengkambing-hitamkan satu pihak. Parahnya, saking
kalap memaki-maki, jadi lupa pada aktor utama dalam drama perselingkuhan itu
sendiri: si suami.
Berikut stigma yang masih melekat di masyarakat kita
dalam melihat kasus perselingkuhan:
·
Mewajari
Laki-laki Selingkuh
Actually, this is so sick.
Saya membaca sebuah artikel di Kompasiana judulnya ‘Mengapa Pria Baik-baik Bisa
Selingkuh Juga?’ Oke, pada awal artikel diberi pengantar bahwa artikel tidak
ditulis untuk menuduh istri tidak melayani suami dengan baik. Tapi sepanjang
artikel, yang ditulis adalah justifikasi mengenai ego dan keinginan pria yang
perlu di-boost. Misalnya seperti pria butuh seks bergairah, ingin dipuji di
depan umum, istri perlu menjaga penampilan. Tidak ada satu point pun yang
merujuk pada kekurangan pria atau ketidakpahamannya akan komitmen sehingga
selingkuh.
Oke
setidaknya dari artikel tersebut saya jadi mengerti bahwa laki-laki ingin ini
ingin itu banyak sekali. Poinnya adalah, selingkuh dianggap sebagai hal wajar
karena pria baik-baik pun tetap manusia biasa. The hell! Seolah-olah perempuan yang harus melakukan segala usaha
agar pernikahan tetap berjalan, dan laki-laki adalah makhluk yang egonya mesti
dijaga. Tanya kenapa???
Di
masyarakat, alih-alih mengoreksi ketidakpahaman akan konsep berkomitmen bagi
pria, malah lebih suka mengurusi pelakor dan ketidakbecusan istri. Apalagi
dengan istilah puber ke dua yang mewajari jika pria jadi lenjeh seperti bocah. Padahal di dunia medis tidak ada istilah
puber kedua. Puber hanya terjadi satu kali, yaitu usia 9 – 14 tahun (perempuan)
dan 12 – 16 tahun (laki-laki). Dan istilah puber kedua itu entah dari mana
dijadikan tameng atas keganjenan pria.
·
Self-Gratification & Intimacy
Menurut
Mark Manson (penulis buku best seller The
Subtle Art of Not Giving A Fuck), dalam diri manusia terdapat dua kebutuhan
mendasar, yakni kebutuhan akan natural
desire/kepuasan pribadi (makanan
enak, good sex, tidur, games), dan
kebutuhan akan intimacy (merasa
dicintai dan keinginan berbagi kehidupan). Kedua hal ini harus seimbang dalam
sebuah hubungan. Sayangnya, kita tidak bisa mendapat intimacy tanpa
mengkompromikan self-gratification, dan
sebaliknya. Yang terjadi dalam perselingkuhan adalah salah seorang terlalu
mencari kepuasan pribadi dalam hubungan, dan kalau tidak dapat, mencari
kepuasan pada selain pasangan. Sedangkan dalam berkomitmen, untuk mendapatkan intimacy seseorang perlu menekan self-gratification, misal kalau merasa
tidak dihargai ya tanya dan dengarkan alasan pasangan mengapa mereka melakukan
itu.
Pada
point ini, jelas bahwa selingkuh merupakan akibat dari komunikasi yang tidak
baik, bukan mengakibatkan komunikasi jadi tidak baik. Kalau ada yang kurang
dari pasangan ya dikomunikasikan dong, itulah fungsi mulut. Sekaligus,
justifikasi bahwa perempuan kurang melayani atau pihak ketiga terlalu menggoda,
adalah bentuk ketidakpahaman kita akan konsep komitmen itu sendiri. Karena yang
paling perlu dikoreksi adalah perselingkuhannya, apa yang perlu dibenahi dari
pelaku dan memperbaiki trigger-nya.
·
Kambing
Hitam Bernama Pelakor
Wuh,
perempuan semangat dong bahas ini, tercium bau-bau antusiasme haha. Mari buka
lagi memori perempuan dihujani uang. Adakah dari kalian yang justru risih
melihat itu? Kalau ada, mari kita bergandengan tangan.
Memang
wajar bila istri sah marah, tapi tidak lantas berhak melakukan public shaming dengan memvideo dan
memviralkan, biar apa?
Lihatlah
dengan mata terbuka bahwa yang paling tepat “dijak gelut” adalah pasangan sendiri. People don’t belong to people, jadi pria selingkuh ya karena mereka
memutuskan berhianat pada komitmen. Laki-laki kan bukan benda mati yang bisa
direbut. Mereka homo sapiens alias binatang yang berpikir, dan pikiran itu seharusnya
digunakan mengontrol perilaku, bukan asal jadi dimana pun dengan siapapun.
Sayangnya
lagi, hujatan terhadap pelakor ini sebagian besar datang dari perempuan juga.
Sejujurnya, dengan melabrak dan mengatakan bahwa suami direbut, perempuan telah
melakukan objektifikasi terhadap laki-laki, yaitu memperlakukan manusia
layaknya barang. Your husband is not your
property. Tapi dengan mengajak bicara, kita menghormati mereka sebagai
subjek dalam hubungan, dan menghormati diri sendiri karena berhasil menahan
hasrat untuk tidak internalized misogyny.
Ngomong-ngomong
soal penyebab pelakor dihujat, ada istilah queen
bee syndrome yang di dalamnya terdapat internalized
misogyny. Sindrom ratu lebah ini merasa terancam bila ada perempuan lain
yang memiliki kualitas lebih. Sedangkan internalized
misogyny adalah hal dalam diri perempuan yang membenci perempuan lain. It takes two to tango. Pada kasus
perselingkuhan kan yang bersalah dua pihak, tapi yang mendapat sorotan hanya
pihak ketiga. Kalau ada perempuan lain melakukan kesalahan ya ditegur, bukan
dipermalukan dan direndahkan. Jika melakukan public shaming, kita hanya menyenangkan jiwa-jiwa penghujat tanpa
memberikan solusi.
Demikian hal-hal yang
masih menjadi area abu-abu dan menghasilkan penghakiman tidak seimbang antara
laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini, terjadi bias gender atau pemihakan pada
salah satu gender, padahal selingkuh melibatkan banyak faktor. Tulisan ini
tidak dimaksudkan sebagai encouragement atas
stigma bahwa perempuan selalu benar. Tetapi bentuk ekspresi (miris) atas
ketimpangan terhadap perempuan. Pun bila yang selingkuh perempuan, kesalahan
tetap pada individu yang bersangkutan. Mohon maaf pula bila ada kata yang
menyinggung.