“But metaphors can reduce the distance."
"We're not
metaphors."
"I know, but
metaphors eliminates what separates you and me.”
Pergi, ke mana pun itu, agaknya
merupakan cara terbaik untuk menguji seberapa tangguh dirimu. Coba, bagaimana
seseorang bisa merasa tangguh sementara ia selalu berada dalam zona nyaman. Selalu
berada di tengah-tengah apa yang dikenal dan mengenalnya.
Itulah yang berusaha dibuktikan oleh
Haruki Murakami. Ia mengeluarkan sang tokoh utama, Kafka Tamura, dari kehidupan
standar yang mengantarkannya hingga usia 15 tahun. Sebagaimana stereotipe tokoh
utama, Kafka memiliki pikiran yang lebih mendominasi sikapnya ketimbang tata
nilai yang ditetapkan masyarakat umum. Tidak tertarik pada pendidikan, cerdas,
gemar membaca, tidak tertarik pada pertemanan apalagi memiliki sahabat. Segala
yang ada padanya, ditentukan oleh pengetahuan yang didapat dari buku dan
seseorang lain bernama gagak. Seseorang lain itu adalah Kafka dalam bentuk
bisikan yang secara halus mempengaruhi perilakunya.
Kafka On The
Shore, bisa dibilang merupakan roman
tentang anak 15 tahun yang berusaha menjawab pertanyaan alamiah berwujud “Who
am I?”. Pertanyaan yang menggebu-gebu minta dijawab itu, pada akhirnya
justru menjadi simalakama yang mengantarkan Kafka pada masalah. Payahnya,
masalah tersebut bukan saja mengenai krisis identitas, tetapi juga semacam Oedipus
complex dan sibling relationship yang sangat kompleks. Dalam
petualangannya, Kafka secara (tidak) sengaja membuktikan kutukan ayahnya yang
seorang perupa terkenal dunia. Bahwa ia akan membunuh sang ayah, terlibat
asmara dengan ibunya dan menyetubuhi kakaknya. Adakah kutukan yang lebih indah
dari itu?
Memang dalam perjalanannya Kafka
tidak melaksanakan kutukan itu sendirian. Ada tangan-tangan tidak terlihat yang
membantunya mewujudkan hal tersebut. Seperti pria tua aneh bernama Nakata,
Hoshino, Oshima dan lainnya, mereka tak ubahnya benang merah yang menghubungkan
Kafka dengan arti dari semua. Termasuk dua perempuan yang sangat
mempengaruhinya secara psikologis, yakni nona Saeki dan Sakura. Secara teori,
mereka adalah kakak dan ibu biologis Kafka. Namun siapa yang peduli pada teori,
di kehidupan nyata, segala kejadian akan terjadi begitu saja. Protes pada
takdir hanyalah sesuatu sekonyol mempertanyakan kenapa setelah hari minggu itu hari
senin, atau kenapa H tidak marah karena diletakkan setelah I. Oke, bingung kan?
Kalian akan semakin bingung jika tidak menyelesaikan membaca novel setebal 597
halaman ini.
Membaca Kafka On The Shore
sama lelahnya dengan memperhatikan hidup seseorang. Seperti kebanyakan novel
terjemahan (jepang) pada umumnya, Kafka On The Shore hampir mendapat
predikat membosankan jika anda tidak tahan dengan teka-teki dan filosofi.
Murakami terkadang nampak basa-basi saja jika membicarakan tokohnya. Muncul
satu per satu tanpa penjelasan apapun. Terlebih gaya berceritanya yang berganti
sudut pandang tiap bab. Semakin membuat anda tidak sabar dan bertanya-tanya di
mana letak kewarasan si pengarang.
Untungnya, hal-hal membosankan tidak
terjadi dari awal hingga akhir cerita. Selalu ada pelangi setelah badai, kan?
Kafka On The
Shore pun demikian. Ketika teka-teki
mulai membuka dirinya untuk dipahami, segala sesuatunya jadi menarik. Seolah
pengarang merancang cerita dengan sangat detail. Ada begitu banyak sign
yang tiba-tiba saja mempesona. Hal-hal yang tampaknya imajinasi belaka, nampak
rasional. Kecurigaan Kafka bahwa dirinya tak setangguh yang diduga, tidak
terbukti. Persiapan fisik untuk menghadapi pelarian memang tak berguna, namun
jiwa dewasa yang terperangkap dalam tubuh 15 tahun itu sangat membantu.
Yang lebih menarik lagi, di luar
konteks cerita, pengarang berhasil menempatkan para tokoh sebagai orang cerdas
bukan dari kata-kata saja. Melainkan dari cukilan pengetahuan yang seperti
ingin membuktikan diri, bahwa satu sama lain memang layak untuk sebutan pintar.
Misalnya, di sini kamu bisa tahu musik-musik klasik, nama-nama filsuf dan
ajarannya, sedikit tentang spritiual dan cara terbaik membunuh orang dengan
bayonet.
Dengan demikian, Murakami semacam
memberikan referendum bahwa dirinya memang penulis kelas dunia. Tidak berlebihan
kalau kita menyebutnya sebagai Franz Kafka-nya Jepang, setuju kan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar