Setiap kita, memiliki satu tanggal yang apabila tiba waktunya,
orang akan menjabat tangan atau minimal mengucapkan selamat. Kemudian
mengalirlah doa-doa, seolah pada hari itu kau terberkati, dan orang-orang
demikian bermurah hati. Saat hari itu datang, mungkin sebagian merasa bersuka
cita, atau justru mati-matian kecewa karena dirinya merasa tua. Ya, titik itu
selalu menarik. Aku sendiri berada di antara keduanya.
Bahagia, tentu saja. Tapi bahagia terkadang cuma kata, yang jika
kau ucapkan lebih dari 5 kali maka tak ada rasanya. Seperti hukum Gossen.
Kecewa, bukan itu tepatnya. Mungkin semacam sedih melihat fakta
bahwa umur telah berkurang satu tahun. Sementara ‘aku’ masih sepotong kata, unsur
bahasa yang jika ingin bermakna, haruslah memiliki predikat.
Aku berada di antara keduanya, dan kau perlu tahu, menjadi orang
pragmatis setengah oportunis bukanlah hal mudah. Selalu ada ruang yang terasa
mengancam, juga kesempatan untuk berbahagia meski setipis niskala. Hidup
seperti hamparan probabilitas yang terbelah dua. Dan manusia adalah lilin yang meleleh
oleh waktu, berpendar dalam panas yang melenakan, terbakar habis namun cantik.
18 Mei sudah berlangsung 22 kali dalam hidupku. Ia seperti bilangan
waktu pada umumnya, memiliki kesempatan sama besar untuk menjadi masa lalu. Bagiku
sendiri, ia semacam teka-teki. Sebuah misteri yang membuatku bertanya-tanya
akan berhenti di mana.
Entahlah. Aku hanya ingin
mengalami, memberi terang kemudian padam dengan tenang.
Ngomong-ngomong, pernahkah kau merasa ulang tahun itu tak lain
merupakan ambivalensi? Orang-orang mengatakan umurmu bertambah, padahal cuma sebatas
angka. Dan mereka tak henti mendoakan agar semakin dewasa, padahal kau sudah
merasa dewasa sejak mampu berkedip. Konsep ini agak kacau, kawan. Ulang tahun
seharusnya jadi peringatan bahwa kita semakin habis, kemudaan semakin menipis.
Barangkali, satunya-satunya
yang perlu kau lakukan adalah berkontemplasi.
Membuka kotak demi kotak cerita selama satu tahun. Berterima kasih
pada orang tua: sepasang pertama yang memberimu kehidupan setelah Tuhan. Mungkin
juga berterima kasih pada dirimu sendiri, karena tak pernah berniat bunuh diri.
Bahwa kau masih terus berjuang meski segalanya terasa stagnan.
Tidakkah kau ingin bertanya bagaimana 21 tahunku?
Oke, aku tak peduli ada yang bertanya atau tidak.
Bagiku, semua usia istimewa. Tak ada golden age. Semua sama
manisnya, tergantung kau melihat dari kacamata apa. Aku pribadi bersyukur tak
mengenakan kacamata apa pun, terbebas dari frame yang akan memberi sekat.
Segalanya kulihat dengan mata yang satu, yang mengalami tiap-tiap usia dengan
warna berbeda. Hmmm. . . satu kata untuh keseluruhan 21:
Indah.
Indah yang tak perlu diejawantahkan dengan prasangka. Indah yang tak
perlu kata picisan. Indah yang tak membuat malu, dengan seseorang datang ke
kelasmu kemudian berlutut seperti 18 yang ke 17. Indah yang tak semu, seperti
saat kau terjerat hedonisme. Melainkan,
Indah yang sedikit harfiah.
Seperti ketika kau mengunjungi tempat yang membuatmu ingin menulis
puisi.
21 tahun, sebagaimana labirin kosong yang justru membuatku penuh. Alami,
dengan tawa berderai dan air mata berlinang. Di sana, ada satu bulan yang merupakan
fase teramah di sepanjang usiaku hingga kini. Ternyata, jadi orang lain
terkadang menyenangkan juga. Terlebih karena hidup tak selalu memenuhi prinsip
dramaturgi. Setiap yang ada harus memiliki peran. Kadang kala, peran seseorang
yang menyenangkan pun berhenti ketika kau menyelesaikan masa bakti di suatu
desa.
Orang berlalu-lalang datang. Serombongan yang lain pergi. Dan kau
hanya berdiri di satu sisi menatap itu semua. Karena suka tak pernah memberikan
hak untuk mengikat. Perasaan-perasaan kecil itu seperti noktah dalam sekumparan
memori. Melindap halus sebagai kenangan yang tak terlupakan.
Pada akhirnya, segalanya akan seperti seni yang lahir dari sebuah chaos.
Mempesona dalam ketidakmengertian kita. Maka, alami saja. Kau juga tak selalu
paham bagaimana takdir Tuhan bekerja, bukan?