Perjalanan kuliah seperti bom waktu
yang menunggu meledak pada titik ini. Sks, KKN, IPK, semua dikumpulkan demi
memasuki sebuah ruang eksekusi bernama skripsi. Seolah-olah ini satu-satunya barometer
untuk mengukur kompetensi mahasiswa.
Orang-orang di sekitar mendadak
rajin. Seperti ada setan dari perpustakaan yang merasuki mereka. Membuat
masing-masing kami terpaksa dan harus menuju perpus. Tempat paling representatif
seantero FIB, juga paling berpotensi membikin pengunjung terantuk-antuk dalam
kantuk. Di ruang yang seperti gudang buku itu, ada sudut terpencil yang biasa
dihuni angkatan tua. Sudut yang hanya ada meja, kontak charger dan
lemari-lemari berisi karya ilmiah mahasiswa. Tempat tersebut senantiasa disambangi
oleh kepala-kepala yang aku yakin sebenarnya pikiran mereka tak serta merta
berada di sana. Dahulu, saya menganggap sudut itu sebagai tempat pesakitan,
dengan wajah-wajah merana macam terdakwa yang tak bisa lari dari sidang. Sekarang,
saya sendiri mulai tahu rasanya.
Sebenarnya bayang-bayang itu sudah
tampak dari lama. Sejak semester 3, saya dan teman-teman mulai dijejali
penelitian, baik yang berupa tugas maupun lomba. Dari situ pula saya jadi tahu,
penelitian juga bisa dijadikan salah satu jalur bagi mahasiswa untuk mencari
uang. Lalu, puncaknya pada semester 5, teknik penulisan ilmiah menjadi
pengantar bagi muara bernama skripsi.
Kata senior-senior, skripsi tidak
semenakutkan yang kita duga. Saya juga sadar sih, terkadang pikiran para
awam jauh lebih mengerikan dari faktanya. Dan memang, sejauh ini yang paling
sulit adalah mengejar dosen. Karena kadang-kadang mereka lebih absurd dari
angin, ada tapi tak nampak, bisa dirasa tapi sulit dikejar. Semoga itu saja,
karena begitu pun sudah cukup memakan waktu. Terlebih skripsi adalah tugas
tanpa deadline yang cuma bisa diatasi yang bersangkutan.
Yang meresahkan adalah, perlahan
saya mulai sangat realistis. Mulai kehilangan sentuhan fiktif dan semakin jauh
dari mimpi menjadi juru dongeng. Segala sesuatunya perlahan memiliki batas,
kemungkinan-kemungkinan yang dulu manis berubah menjadi rasa skeptis.
Kalau-kalau dunia fiksi akan meninggalkan saya dengan kenyataan yang menyergap.
Bahwa masuk sastra bukanlah jaminan
untuk menjadi pendongeng yang berjaya. Dan ternyata lagi, sastra dalam lingkup
akademik tetaplah persoalan yang menyita waktu. Bukan berarti saya takut pada
skripsi, tetapi, keharusan untuk mengompensasi hobi itulah yang membuat para pengkhayal
macam saya semakin jauh menuju jatuh. Jauh dari harapan, jauh dari waktu luang
untuk membaca, dan mau tidak mau jauh dari teman-teman maya. Ini seperti masa
transisi dari peri dongeng menjadi peri kayangan, atau pengkhayal menuju
manusia profesional. Padahal, tanpa novel, tanpa sajak, tanpa dongeng, tanpa
fiksi, hidup saya terasa hampa. Karena bagi saya, mereka sudah seperti udara,
dan menjauh seperti ini tak pernah menghentikan saya untuk merindu mereka.
Tapi, saya akan mencoba baik-baik
saja. Dan memang harus seperti itu. Karena skripsi juga karya bukan? Setelah
pernah ada episode memaksakan diri dengan jurnalistik, mungkin ini bukanlah
sesuatu yang buruk. Seperti kata dosen seminar, “kamu itu harus belajar
mencintai objek. Biar mengerjakan segala sesuatunya dengan gembira dan penuh
totalitas.”