Widya Puraya, 12:55 WIB
Hujan deras. Air seperti prajurit
perang yang berlomba terjun ke tanah. Bau basah menguar di antara langit yang
menggelap. Dalam sebuah gedung bejendela kaca, seorang perempuan memandang
keluar ruangan. Mencari percikan inspirasi yang turun dari langit, turun
bersama hujan. Tak sepatah kata pun terlintas di pikirnya. Selain yang tengah
ada, dan menjebak sepenggal harinya dengan metafora becek, licin dan lembab.
Hujan.
Dia sedang tak kurang kerjaan. Di
sampingnya ada tugas, dongeng, dan artikel jurnalistik yang berebut minta
perhatian. Bahkan seharusnya dia belajar untuk dua jam mendatang, dua jam yang
mewajibkannya duduk dalam lingkaran diskusi. Tetapi ia memilih diam, memandangi
hujan yang meraung, me-ruang, serta membasahi siang yang semestinya terang.
Semua itu karena ia menyukai hujan.
Sejak dulu, hujan selalu indah dengan segala egosentrisnya. Memaksa aktivis
kehidupan untuk istirahat sejenak. Luruh dalam metrumnya yang tenang. Beberapa
orang sebal, beberapa lainnya mengutuk hujan habis-habisan, dan pembenci garis
keras menganggap hujan adalah musibah, induk banjir yang mereka tuai 6 bulan
sekali. Dan untuk pembenci garis keras, hujan memberi salam jari tengah pada
kalian. Pada yang benci hujan tapi masih buang sampah sembarangan. Karena satu-satunya
yang pantas dibenci adalah tangan-tangan tak sopan itu.
13:23 WIB
Masih dengan hujan. Perempuan tanpa
sayap, dengan satu malaikat itu, terus menatap hujan yang merintik. Melambat untuk
kemudian layak disebut gerimis.
Di matanya yang telah menatap banyak
peristiwa, namun kesulitan mengambil pelajaran, hujan dan gerimis adalah dua
bersaudara yang berdebat tentang siapa lebih romantis. Perempuan itu tersenyum mendengar
kata hatinya yang tidak masuk akal. Tetapi serius, keduanya adalah kakak-adik
yang manis.
13:37 WIB
Sekarang tak ada rintik, tak ada
tetes air, yang ada hanyalah indikasi bahwa langit segera terang. Mentari
bertugas lagi setelah (barangkali) makan siang.
Waktunya kembali pada kehidupan
nyata. Pada waktu yang tergesa-gesa dan entah sampai di mana. Sejujurnya perempuan
itu bosan sekali. Menjalani aktivitas datar, dengan amplitude tak terduga yang
bisa menghancurkan semangatnya. Kadang-kadang ia ingin tinggal di dunia
dongeng, di mana semua cerita berakhir dengan “happy ever after”,
bahagia selamanya tanpa mengenal kata mati. Atau hidup di dunia anime/manga
yang penuh kisah heroik, yang terluka berkali-kali tapi sanggup bangkit lagi.
Perempuan itu menginginkan terlalu banyak khayalan untuk hidup yang demikian
kongkret. Makanya mimpi terasa maya dan sejauh cakrawala.
Perempuan itu aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar