Suara Srikandi bergetar mengejanya.
Tiba-tiba saja ia merasa lemah. Ada sosok lain yang bernafsu menggantikan,
meluruskan takdir sang Dewabrata. Matahari meredup ditatang maut yang mendekat.
Lalu Srikandi beralih rupa.
***
Keduanya
berhadapan. Dalam labirin tersendiri, mereka membahasakan penantian lewat mata
yang bicara. Luka yang dicipta Bhisma merekah lagi. Pandawa-Kurawa, kurusetra
dan Bharatayudha adalah garam yang menghalalkan keduanya bersua. Tak ada lagi
cakrawala. Semua melebur dalam piringan masa lalu yang diputar. Bahkan Srikandi
pun hanya nama.
“Bhisma
yang agung, biar kami menyelesaikan perempuan satu itu.” Prajurit Kurawa
mendekati kereta Arjuna. Tanpa aba-aba mereka mengepung dan menodongkan tombak.
Kresna,
Arjuna dan Srikandi dalam posisi siaga. Kereta stagnan di tengah kepungan
prajurit Astina. Merekalah pusat perhatian mulut senjata yang haus darah. Bukan
mereka gentar terhadap pelukan kematian. Dengan sendirinya kematian adalah awal
yang dirindu jiwa-jiwa surga. Namun, cara seseorang mati punya harga
tersendiri. Terlebih bagi Kresna sang titisan Rama, atau Arjuna putra bathara
Indra. Tidak lucu rasanya, bila dua orang jagal tewas oleh pisau dapur prajurit
rendahan. Sama halnya dengan pendaki sok berani yang tamat tersapu belerang.
Baik Kresna maupun Arjuna, keduanya memiliki ekspektasi tinggi terhadap cara
mati. Ksatria setengah dewa harus mati ditangan dewa, minimal sekali panah
ksatria semacam Duryodhana. Bagaimana dengan Srikandi? Haha. Tak usah ditanya.
Ia sudah tercerabut dari akar kurusetra. Berhadapan langsung dengan takdirnya,
takdir yang menjelaskan mengapa ia laki-laki berkelamin perempuan.
Prajurit
Astina semakin terburu. Memenuhi tiap jengkal yang bisa mendekatkan pada kereta
Arjuna. Tanpa berpikir dua kali, Arjuna beraksi dengan gandewanya. Ditembakkan
anak panah ke langit yang menjadi singgasana para dewa. Di tempat tak tersentuh
itu, panah menari-nari, membelah diri menjadi puluhan, ratusan, ribuan hingga
jutaan yang simbah ke medan perang. Jutaan panah berkecepatan cahaya tersebut
memburu prajurit kurawa laksana hujan mengusir kerumunan. Menerbangkan
boneka-boneka raja ke swargaloka.
Di
samping Arjuna, Srikandi yang bukan dirinya masih terpaku pada Bhisma. Ia tak
mengindahkan suaminya yang kewalahan menghadapi serbuan panah, tombak dan
sesekali gada. Arjuna dibiarkannya sibuk menghantam siapapun yang berusaha
menjarah kereta. Sementara prajurit Astina seperti mambang yang punya seribu
nyawa. Tiada habisnya untuk lagi dan lagi melemparkan senjata. Dikeriuhan
perang tersebut, Srikandi terasing dalam dimensi lain. Tak henti menatap Bhisma
yang entah dengan cara apa, menjadi muda, seolah itu momen ketika dia masih
putra mahkota. Dengan raut tenang yang sama, serta bahasa tubuh yang takzim
mempesona, tak berubah.
Merah
kian berjelaga. Burung gagak terus bersenandung di atas mayat-mayat, berdoa
sebelum makan. Lagu kematian senantiasa berdengung membangkitkan rasa takut.
Bathara Yama dengan tangan seribunya sibuk menjemput nyawa. Pandawa dan kurawa
tak lagi berporos. Dua kubu telah bercampur untuk melunasi sebanyak-banyaknya
kehidupan. Agar semua berakhir di situ, hanya Astina atau Amarta, atau keduanya
dengan kurawa atau pandawa saja. Sementara para dewa leluasa menontoni mereka,
berseru untuk jago masing-masing.
Beberapa
dewa terperangkap dalam aksi bisu Bhisma-Srikandi. Sebagian bingung, mengapa
keduanya bergeming dalam kurusetra yang membara. Ketika semua memburu waktu,
Srikandi malah terpaku pada tatapan Bhisma sambil membiarkan panahnya kebas di tangan.
Terpesona, jauh lebih parah dibanding saat menyaksikan Arjuna bersanding dengan
Sembadra. Tanpa sadar, Srikandi membiarkan dirinya terancam di antara Kresna
dan Arjuna yang sibuk oleh senjata. Lupa bahwa ia masih di medan perang, yang
dengan sejuta bahaya mempertemukannya dengan Bhisma.
Di
tengah momen autis tersebut, beberapa prajurit astina melemparkan pedang,
tombak, gada dan semacamnya.
“Srikandi
awas!” Arjuna yang tengah menghadapi Jayadrata berteriak frustasi.
Srikandi yang terbangun,
baru sadar bahwa keretanya dikepung. Tak ada waktu meratapi senjata yang menuju
arahnya. Tak ada waktu, sungguh tak ada. Lagi pula senjata-senjata itu datang
dari semua arah. Perlahan Srikandi memejamkan mata. Bukan pasrah, bukan
menyerah, tapi belajar menerima. Menerima uluran tangan Bathara Yama.
Tombak
tercepat nyaris mengoyak perut Srikandi. Tetapi tiba-tiba….
Klentingggg…
Bunyi
besi dan baja beradu. Semua senjata berdentang jatuh. Seseorang telah
menghalaunya jauh-jauh dari Srikandi. Arjuna dan Kresna yang tengah mengangkasa
tercengang sekaligus bersyukur. Salah satu pemanah andalan pandawa
terselamatkan.
Srikandi
yang dibawa terbang penyelamatnya itu masih syok. Setelah ini, ia tak yakin
sanggup melesatkan panah.
“Turunkan
aku Bhisma!” Seumur hidup, untuk pertama kalinya Srikandi berani memanggil
tanpa atribut kebangsawaan atau persaudaraan.
Bhisma
mengalah, diturunkannya Srikandi ke tempat yang aman. Lalu dengan takzim
dipasangkan zirahnya demi mengganti selendang Srikandi yang koyak. Instrumen
perang tadi telah mengubah pakaian putri yang indah menjadi sobekan tak
berbentuk.
Walaupun terharu oleh penghormatan Bhisma,
Srikandi tak menunjukkan itu. Didorongnya lelaki kesayangan dewa tersebut, dan
ditampar. Namun aneh, Bhisma tak bereaksi. Ia malah menunjukkan raut bersalah
dan maklum. Seolah ia sudah tahu hal macam apa yang akan terjadi dalam tiap
detik mereka. Hal ini membuat Srikandi malu bercampur geram. Memang, Srikandi
ingin menenggelamkan Bhisma dalam kubangan rasa bersalah tak bertepi. Tetapi
Srikandi tak menginginkan Bhisma ini, Bhisma yang pasrah dan tenang menjemput
kematian.
“Seharusnya kau
membiarkanku tertusuk pedang! Lihat, kau bahkan masih bisa menunda kematian,
Bhisma. Kenapa kau menyelamatkanku? Bukankah aku yang terlahir untuk menjadi
penyebab kematianmu?”
“Tidak Amba.
Kau tidak akan mati sebelum membunuhku.” Bhisma berkata tenang. Tak sedikitpun
gentar terhadap lagu kematian yang menggaungkan namanya. Ia telah tahu, adalah
Amba yang membuat Bharatayudha berbeda. Sejak bertatap mata dengan Srikandi, ia
telah tahu itu. Hanya Amba yang berani menantang Begawan Parasurama demi
melunasi dendam anehnya pada Bhisma. Demikian pula Srikandi. Pancala, Arjuna
dan Bharatayudha hanyalah tangga yang membawa pada momen ini. Setelah Amba, tak
ada perempuan seberani Srikandi. Karena itu pula, ia Amba.
“Amba?
Perempuan konyol yang bermandi dendam sebelum mati, hanya untuk mimpi membunuh
Bhisma yang agung ini? Tidak Bhisma, aku Srikandi. Putri Pancala yang rajanya
telah kaupecundangi itu. Dan aku tidak ingin berhutang nyawa padamu!”
Di
atas singgasananya, Bathara Narada sang pembuat cerita, terpukau pada beban
perasaan yang dipikul keduanya. Bhisma yang cintanya tertahan sumpah, serta
Amba yang meminjam Srikandi untuk melunasi semua, masing-masing menyimpan
rahasia terdalam hatinya. Di singgasana tersebut, Bathara Narada melukiskan
akhir dari romansa berdarah. Beberapa dewa lainnya penasaran dan mengharap ada
dalang lain yang berpihak. Jika tidak, mereka akan meminta Venus
untuk menuliskan akhir yang berbeda. Kisah Bhisma-Amba ini membawa sedikit
kehangatan dalam perang yang dingin dan kejam. Membuat beberapa dewa menepi
sejenak, menyejuk dalam cinta yang dibawa dua insan beda generasi.
“Tidak
Amba, akulah yang berhutang padamu. Sejak kau begitu membenciku karena Salwa,
aku sudah memutuskan kematianku. Betapa beratnya menanggung ini: menyakiti
orang yang seharusnya kucintai. Maka kematian adalah harga yang sesuai bukan?
Dan memang kau meminta orang yang salah. Hidupku sudah kubaktikan pada Astina.
Kesaktian, umur, mahkota bahkan hati sendiri, aku tak pernah memiliki. Jadi
akhiri aku sekarang, Amba.” Ujar bhisma sambil memberikan busurnya pada
Srikandi.
Srikandi
menatap Bhisma. Sesungguhnya pemuda itu tak pernah merasakan sedikitpun bahagia.
Kasarnya, Bhisma adalah robot sakti Astina yang mengorbankan setiap detiknya
untuk berbakti. Mulai dari mahkota yang diminta Setyawati, penyelamatan
Wicitrawirya dari Pancala yang menimbulkan kutukan, pemenangan sayembara tiga
putri, sampai ini - menentang hati nuraninya untuk membela Negara. Bhisma,
sosok paling bersih yang rela menuai kutuk demi kebaikan Astina. Bhisma,
satu-satunya orang yang menghidupi orang lain dengan hidupnya. Tanpa sadar air
mata Srikandi menetes. Ia begitu ingin mengeluarkan Bhisma dari kegelapan
selama-lamanya. Menghindarkan Dewabrata yang suci itu dari ingar-bingar dunia.
Agar ia bisa pergi tanpa takut kehilangan. Tapi sumpah tengah berjalan.
“Amba,
sejauh apapun aku berlalu, waktu selalu menambatku padamu. Mungkin kau memang
Srikandi, tapi sorot itu terlalu familiar bagiku. Mata yang membuatku merasa
jatuh bila dia berair. Jangan menangis Srikandi, jangan biarkan aku mati hanya
karena itu. Untukku saja, ambilah segala yang dulu kauminta dengan darah.”
Srikandi
mengusap air mata. Sekarang ia tau, bebas bagi Bhisma mungkin memang mati. Dalam
pilu yang menyesakkan dada, Srikandi merentangkan busur, menyiapkan panah
terbaik untuk melepas jangkar yang terlalu lama tertambat. Ya, dia memang Amba.
Satu-satunya cinta sekaligus maut dalam kehidupan Bhisma.
3…2…1
Setelah
sempat melayang di udara, panah itu menembus dada Bhisma. Dada yang selama ini
dijadikan sandaran bangsa kuru. Tak ada teriakan. Bhisma menerimanya dengan tenang,
dan senyum menyaksikan siapa yang keluar dari diri Srikandi.
Arjuna
yang menyaksikan itu semua, membuatkan bantalah panah bagi Bhisma. Tidak,
Bhisma belum mati. Dia masih memilih waktu kematiannya. Bhisma akan terus ada
sebagai penonton. Sampai nanti, setelah kemenangan terakhir berhasil ditenggak.
Di
titik nadir, segalanya berlalu hebat. Darah terus memuncrat, dari liang-liang
luka yang membanjirkan merah. Latar belakang itu menyelimuti Bhisma yang telah
menggenapkan darma. Di antara denting baja, atau erangan maut yang pilu, Amba
menyanyikan lagu surga. Sepasang yang lepas dari sumpah, memadu kasih dalam
bayang-bayang mata nanar. Sesungguhnya penantian selalu berbuah indah.