(Review The Outliers by Malcolm Gladwell)
Hai. Jadi saya baru selesai baca buku, dan itu membuka perspektif
saya ke beberapa hal yang sebenarnya “the way it is”, tapi pandangan sebagian
orang terlanjur stuck oleh konsensus masyarakat. Judulnya Outliers: The Story of Success.
I know the definition of success depends on our
personal reference. Nah, bukunya Malcolm Gladwell ini menubirkan kesuksesan
orang-orang yang kemudian disebut ‘Outliers’. Tapi outliers di sini adalah
mereka yang sukses melampaui rata-rata umat manusia. Kalau bahasa konspirasinya
itu Elite Global.
Membaca buku ini berpotensi membuat kamu (yang sering
merasa gagal) sedikit lega. Karena sukses itu bukan cuma tentang kerja banting
tulang lempat lembing, tetapi memang ada beberapa variable yang membuat
kesuksesan mudah bagi sebagian orang, dan susah ampun-ampunan bagi lainnya.
Selama
ini sukses terlanjur dipandang sebagai mukjizat individual, ketika sejatinya
banyak faktor yang menopang. Orang sukses tidak lahir sendirian, mereka
diantarkan ke titik itu. Oleh apa? Ya oleh hal yang mau dibahas di sini:
·
Kesempatan
Seseorang
lahir bersama privilege yang menyertai mereka. Yaitu hak istimewa yang tidak
dimiliki kebanyakan manusia. Bentuknya macam-macam, bisa berupa well educated
parents, fisik rupawan/rupawati, otak cemerlang dan kesempatan (tentunya masih
banyak).
Outliers,
pastinya adalah orang yang memiliki kesempatan dan melejit melalui itu. Tidak
mungkin seorang yang tak berkesempatan belajar baca-tulis, mengharumkan nama
negara sebagai peraih nobel sastra. Melek aksara merupakan modal utama untuk
menuangkan pikiran melalui kata-kata. Jalan satu-satunya adalah memiliki
peluang yang merupakan setapak pertama dari segala pencapaian.
Sebut
saja Ernest Hemingway, peraih nobel sastra tahun 1954. Ia lahir tahun 1899 dari
seorang ibu musisi dan ayah ahli fisika. Keduanya merupakan orang-orang well
educated dan well respected. What’s more
a kid could ask for?
Hemingway
menjalani masa sekolah di tahun-tahun ketika perang dunia I meledak, dan tidak
banyak orang cukup nyaman sekadar belajar. Tapi dia memiliki kesempatan yang
tentu berguna jauh ke jenjang panjang kehidupannya.
Jelas
bahwa sukses merupakan akumulasi keuntungan yang dimanfaatkan individu
bersangkutan. Tapi masyarakat terlalu sering kagum buta terhadap kesosokan.
Tanpa melihat kenapa rumput tetangga lebih hijau.
·
The
Great Ten Thousand Hours
Pernah
dengar kalau ingin jadi ahli di suatu bidang, kita perlu practice setidaknya sepuluh ribu jam? Itu kalau dilakukan secara
konsisten selama 8jam/perhari, memakan waktu sekitar tiga setengah tahun. Tapi
kita kan makhluk sosial yang punya peran dan tanggung jawab, seperti sekolah,
kerja, tidur, ngerumpi dll, sepuluh ribu jam jelas waktu yang sulit dicapai dalam
tiga tahun straight. It’s an enormous amount of time, you need to
have a parents who support you as much as your effort for the passion itself.
You can’t be poor because side job or everything you do to earn money won’t
spare enough time to practice.
See? It costs a lot.
Untuk mencapai sepuluh ribu jam seseorang butuh kondisi khusus.
·
Geniuses
Kalian
pasti punya teman sekolah yang saking pinternya, nilai raport dia macam karya
seni: estetis dan nyaris mustahil kecuali dikerjakan ahli. Orang-orang yang
bikin kita bertanya mereka makan apa, atau ibunya waktu hamil ngidam apa
(nyemil buku kali ya). Aliasnya keponakan Einstein.
Nah
mereka ini bisa jadi jenius. Dan jenius itu bakat alami, seorang yang secara
natural merupakan outliers. Tapi apakah selepas sekolah mereka sungguhan jadi
outliers atau minimal tokoh nasional? Belum tentu.
Ada
seorang bernama Cristhoper Langan yang sering disebut Epitome of American Genius. Dia berbicara pada usia 6 bulan,
baca-tulis umur 3 tahun dan menguasai matematika tingkat professor di usia 16
tahun (itu umur ketika segala yang saya pikir adalah tidur cepat dan bangun
tengah malam untuk menyelasaikan PR). Langan memahami buku yang digunakan
kurikulum selama 2 hari, dan berangkat sekolah hanya ketika ujian. Tapi siapa
juga bakal protes, gurunya pun mungkin tidak lebih pintar dari dia. IQnya
mencapai 195 poin, jauh di atas Einstein. Tapi apakah dia kemudian menjadi
seseorang yang dicatat sejarah? Kecuali bahwa dia meraih IQ tertinggi, tidak.
Dia mencukupkan diri sebagai pemilik peternakan kuda, hidup dengan damai di
pedesaan bersama anak-istri.
Tentu
semasa sekolah Langan merupakan ultimate outliers, melesat dapat beasiswa
hingga perguruan tinggi, lebih dari mereka yang lahir dengan sosial privilese.
Faktanya dia memang begitu kekurangan, dalam wawancara di buku ini, diceritakan
bahwa ia benar-benar telanjang selama beberapa jam untuk menunggu baju kering
(tak ada baju lain). Sayang beasiswanya terhenti karena sang ibu lupa
memperbaharui rincian keuangan. Drop outlah ia, macet di tengah jalan.
Langan
yang jenius tidak berminat mengejar gelar akademik ke ujung dunia. Jadi pemilik
peternakan kuda merupakan upgrade yang jauh melebihi orang tuanya. Ia tumbuh di
keluarga yang memicu anak untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya. Bayangkan
jika Langan bertukar posisi dengan Hemingway, apakah mereka tetap orang yang
sama?
Kecerdasan
dan pencapaian pada akhirnya bukan sesuatu yang sebanding. Orang jenius belum
tentu jadi outliers. Segala potensi yang Crish Langan punya berakhir dalam
kefrustrasian. Dia tahu seharusnya bisa mencapai lebih, mungkin benar-benar
menjadi Elite Global, tetapi Langan tidak tahu caranya. Dia tidak mastering sesuatu yang orang standard
bisa melakukannya, seperti kemampuan negoisiasi dan komunikasi. In other words, not even a genius makes his
success alone.
·
Cultural
Legacies
Cultural Legacy
merupakan warisan kebudayaan yang mempengaruhi kesuksesan seseorang. Emang ada?
Ada banget.
Faktanya,
siapa kita tidak bisa dipisahkan dari tempat asal kita, mau selupa apapun
kacang pada kulitnya. Sebab cultural legacy mempengaruhi attitude dan behavior
seseorang. Misal, mengapa orang Batak banyak yang jadi pengacara hebat? Konon
di Batak ada kampung yang menjadi titik penegakan hukum di Samosir. Terdapat
pengadilan berupa batu berbentuk meja dengan kursi melingkar. Sudah menjadi habit orang sana untuk mempersidangkan
konflik melalui hukum adat, yang disaksikan masyarakat. Bisa disimpulkan bahwa
sukses merupakan produk dari tempat-tempat dan lingkungan seseorang berasal.
Hal-hal di atas merupakan sedikit
yang terdapat di buku Outliers. Saya
tidak mengatakan bahwa orang dengan privilege
bisa sukses tanpa usaha. Tetapi hak-hak itu berkontribusi banyak persen
dari kesuksesan mereka. Setiap orang berangkat dari titik nol yang berbeda.
Buku ini menyadarkan bahwa
kesuksesan tidak dimonopoli otak cemerlang saja, tetapi mereka—yang memiliki
kesempatan, kekuatan dan keteguhan hati— untuk meraihnya. Kamu diizinkan
belajar tanpa interupsi pun sudah merupakan privilege besar. Banyak orang yang
baru buka buku sudah diteriaki, “Kae loh joglone reged, mbok disapu. Cah wedok
jagongan wae.” The least we can do is to
give that kind of privilege to our kids.
Oke sampai di sini. Teruslah hidup karena
waktumu masih ada.