11 April 2020
Jadi, saya follow salah satu language enthusiast di
twitter, sejauh kemarin tweet beliau saya anggap berkualitas dan sarat
informasi, kadang juga berupa motivasi. Tapi tadi sore saya terkejut karena
tweetnya sangat heart stopping. He’s trying to hurt himself in way most people
wouldn’t understand.
Saya harap beliau selalu baik-baik saja, dan mudah-mudahan
dengan adanya tweet itu siapapun nggak akan menyakiti dia lagi, tidak pula
dirinya sendiri. Dan gara-gara itu, saya jadi berkesimpulan bahwa most people
in twitterland respond better toward some issues than other social medias.
Beberapa tahun lalu ada seorang yang commit suicide dan entah siapa menggunggah
ke fb (itu tetangga desa btw tapi saya nggak kenal). Nah pas saya baca kolom
komentar, rasanya mau nangis. Isinya hujatan, penghakiman, lelucon bahkan,
padahal yang sedang mereka bicarakan adalah manusia, literally manusia yang sudah nggak bernyawa. Menurut saya respon
kayak: kurang iman, mau mati kok bilang-bilang, gitu doang bunuh diri, komentar
demikian bukan hanya dangkal tapi jahat.
The thing is, same problem could happen to two people but
the respond can be very different. Misalnya aja ketika orangtua meninggal,
sekeluarga pasti responnya beda-beda. Si A bisa kehilangan motivasi hidup, si B
justru termotivasi buat jadi tulang punggung keluarga, si C hancur banget sampe
pengin nyusul. Perbedaan respon ini faktornya banyak, dan sensitivitas manusia
kan beda-beda, perspektifnya atas suatu peristiwa juga beda (krn dipengaruhi
pergaulan, konsumsi bacaan/seni/hobi). Coba dirasain, misal jadi B, bijak nggak
ngomong ke si C bahwa B harus jadi tulang punggung (sementara dia tahu Si C ini
masih bocal yang labil).
Semakin tua, saya sadar bahwa manusia hampir selalu lebih
rumit dari kelihatannya. Respon mereka terhadap orang, peristiwa dan situasi,
berbeda-beda tergantung yang dihadapi. Manusia seperti menggunakan topeng dan
kepribadian merupakan caranya memainkan peran. Orang lain yang hanya tahu
sekelumit, tidak bisa menghakimi sebab pengetahuannya terhadap yang
bersangkutan sekadar yang dibagikan saja. Karena itu, tidak bijak juga
menjustifikasi tindakan suicidal, meskipun kenal pun kita tidak tahu sejauh
mana pikiran mereka bekerja.
Masih berkaitan dengan suicidal, ndelalah saya baru selesai baca buku yang satu topik. Judulnya All The Bright Places. Memang itu buku
fiksi, tapi fiksi juga ditulis dengan riset, dan kita bisa mengambil pelajaran
dari esensinya. Self-harm, dalam semesta behavioral manusia, sering dianggap
sebagai upaya cari perhatian. Orang cenderung menganggap aneh dan caper
manusia-manusia yang punya tendensi self-harm. Dan ya, memang benar, mereka
mencari perhatian. Tetapi perhatian itu sungguhan perhatian, yang mengosongkan
pikiran, yang melegakan sesak di dada, yang menampung kata-kata sebab ia mau
didengar bukan dihakimi.
Kebanyakan, kode suicidal ini hanya dianggap caper
belaka, dan tidak dipedulikan kecuali sungguhan terjadi. People never care
unless the person die.
It will generally
be found that, as soon as the terrors of life reach the point at which they
outweigh the terrors of death, a man will put an end to his life (Arthur
Scoepenhaur). Kematian itu menakutkan bagi yang hidup, beberapa orang masih
berpikir demikian. Sampai pikiran-pikiran itu menguasai dirinya, seperti
kegelapan yang mengambil alih lalu dia tidak melihat alasan apapun selain pergi
menuju ketiadaan. Dalam kondisi demikian, orang yang bersangkutan merasa
sendirian, dan tak punya pilihan lain meskipun sebenarnya ada. Dia hanya ingin
menghilang.