Hai. Hari ini saya mau
cerita dua hal yang bikin saya bersyukur. Saya merasa perlu menulis ini supaya
nggak lupa cara Dia membuat saya takjub.
Pertama, pas kuliah awal saya pernah ngekos yang bayarnya
per tahun. Sudah dibayar lunas, eh pas baru ditempati sekitar sembilan bulanan
saya disuruh keluar sama ibu kos. Alasannya karena mau ditempati anak kos baru.
Lah yang bener aja buk? Kan saya bayar
setahun yang artinya 12 bulan, kok baru 9 bulan udah diusir. Mana ibu kos ngomong
nggak ada manis-manisnya. Di situ saya sedih banget, mau tinggal di mana apa
tidur di masjid aja ya. Mana budget saya buat kos perbulan cuma 300 ribu, dan
susah naudzubillah nyari kosan harga segitu di Tembalang.
Akhirnya
saya nyari kos bareng temen sejurusan yang nggak ada akrab-akrabnya. Tapi dari
teman itulah saya kemudian ketemu kos baru dengan segala kemudahannya yang
langka banget kalau dicari di Tembalang. Misal harganya yang 250k/bln
(bayangkan coy mana ada kos harga segitu di Tembalang, bahkan di tahun 2012),
minum dan listrik gratis, nggak ada piket, ibu kosnya baek bat (saya pernah
nyuci belum kelar tak tinggal kuliah, eh pulang-pulang udah nangkring di
jemuran), makan gratis di hari minggu, setiap puasa dapat takjil. Tapi yang
paling berharga adalah teman kosnya yang kayak keluarga.
Akhirnya saya sadar, kalau ibu kos pertama nggak ngusir,
manalah mungkin saya kenal temen-temen kos rasa saudara. MaksudNya mungkin biar saya nggak sendirian, punya temen-temen yang
menghibur soalnya tahun 2013 bapak saya pergi. Biar saya adaptasi dan akrab
dulu sama temen-temen itu.
Kedua, Desember 2017 saya mengalami kejadian yang
menyedihkan di tempat kerja. Sedih banget pokoknya (to the point I thought
about killing myself to prove something to some people). Alay banget? Iya, tapi
orang kalau pikirannya lagi nggak beres mana sadar. Karena nggak betah banget,
2018 saya memutuskan resign dari tempat yang kayak neraka itu. Selang beberapa
minggu saya sakit. Saya jarang sakit, tapi kali itu lumayan serius sampai berat
badannya jadi 40an doang. Pas periksa diagnosanya beda-beda, kadang usus buntu,
kadang tipes. Lalu disuruh kakak rontgen, dan taraaa… something is terribly
wrong with my lungs.
Akhirnya lagi, saya mikir bahwa mungkin itu caraNya biar
saya istirahat. Kalau diterusin mungkin tubuh ini gagal catch up sama
kehidupan. Soalnya aneh sih, kadang suka demam siang-siang, bediri lima belas
menit aja mau semaput. Jadi yaudah deh istirahat aja. Plus saya bisa bonding lebih sama keluarga. Bisa bantuin kakak,
ibu, bapak-bapak smua yang ada di siniii ehehe. Dan terpenting, supaya saya
nggak semena-mena menggunakan tubuh ini, lebih rajin makan dan blabla.
Jadi, saya menyadari kalau kejadian sesialan apapun pasti
ada hikmahnya. Yang diperlukan hanyalah waktu untuk menemukan itu. Jangan
buru-buru benci, mungkin orang [yang kita judge]
antagonis justru gerbang kita untuk ketemu orang-orang baik. Saya justru pengin
bilang makasih sama ibu kos pertama. Everyone
who shared a certain period of time with us is important. Mereka punya
peran tertentu barangkali, karena itu, jangan benci apalagi menganggap rendah.
Kalau kata stoisisme, nggak satu orang pun sanggup menyakiti kita, kecuali kita
izinkan. Take control of our own
perception, so we could see thing as it is, without labelling it as good or
bad.
P.S : I suggest you to
read Filosofi Teras. Especially when you felt like WTF-ing everything.