Matilah
engkau mati…
Kau
akan lahir berkali-kali
Saya sering menangis ketika baca buku, tapi Laut Bercerita, adalah buku yang
benar-benar mematahkan hati. Terlalu banyak realita menyakitkan, yang seperti
dongeng tapi merupakan kenyataan bagi manusia Indonesia semasa Orba. Betapa
mengerikan bahwa manusia bisa berlaku sedemikian jahat pada sejenisnya.
Laut
Bercerita adalah buku yang merangkum kisah pemuda bernama Laut,
bergantian dengan sang adik, Asmara. Saya tidak akan membicarakan presentasi
bukunya, melainkan bagaimana buku ini mempengaruhi perasaan saya. Sudah lama
pula saya tak merasa demikian kosong selepas menamatkan sebuah buku. O Leila, why did you do this to me?
Meskipun lahir di masa Orba, tapi saya tidak dibesarkan
zaman itu. Ketika ingatan saya masih tipis-tipis terbentuk, ada beberapa
manusia yang justru sedang berusaha membangun Indonesia baru. Indonesia yang
tidak dinikmati oleh mereka, melainkan kita: adik, anak dan cucu para pejuang
reformasi.
When
I was child, I used to think that college students are anarchist.
Saya besar di keluarga yang mengagumi pemerintah, karena itu, tentu saya
menganggap mereka yang berdemo tak lebih dari kang protes belaka. Mat keluh.
Mereka memprotes, tapi tidak membawa Indonesia kemana-mana selain keadaan yang
lebih parah. Kerusakan fasilitas, tersendatnya transportasi dan terror.
Seiring waktu, terutama setelah kuliah, pandangan saya
memudar lalu berhenti. Justru, para mahasiswa kritis itu barangkali orang-orang
paling menderita. Tahu kesengsaraan rakyat (termasuk pula bapak-ibunya), ingin
protes tapi terikat kampus, terikat posisi mereka sebagai harapan dan beban
keluarga. Ketika protes gagal dianggap pengacau, saat berhasil pun tak dapat
melakukan apa-apa karena kuasa bukan di tangan mereka. It’s hard to be awake people.
Membaca Laut
Bercerita, pembaca diberi kesempatan menjadi Biru Laut Wibisana, mahasiswa
Sastra Inggris cum aktivis gerakan mahasiswa dalam menentang Orba. Dalam
persona Laut (begitu dia dipanggil), pembaca disuguhkan pada terror yang
ditimpakan pemerintah. Bahwa mahasiswa adalah daging segar yang sedang digodog
agar masak, tetapi diganggu lalat beterbangan. Lalat dalam hal ini intel,
begitu jelinya mengawasi bahkan aktivitas mubah semacam diskusi buku. Jika
ditangkap, matilah engkau mati, kembali pun kau akan pulang dengan trauma.
Aktivis yang tertangkap akan disiksa sampai mengakui jaringannya; disetrum, berbaring
di balok es berjam-jam, disengat semut rangrang, digantung terbalik, apa-apa
yang tidak manusiawi, jauh lebih hewani dari terpidana korupsi.
Mengalami jadi Laut, hati saya seakan nggak tertolong.
Maksud saya, lihat hidup kita, mudah dan penuh harapan. Sementara di hidup
Laut, berharap pun terasa neko-neko. Meski dia senatiasa menggumamkan jargon
perjuangan, reformasi, bangsa dsb, Laut sendiri tak lepas dari perasaan bahwa
dirinya muluk-muluk. Entah dia akan merasakan Indonesia baru atau tidak
.
Setelah menjadi Laut, pembaca akan dibawa ke sudut
pandang Asmara. Adik Laut yang logis itu bahkan kesulitan bersikap rasional
kala kehilangan sang kakak. Ia sepi ditinggalkan oleh Laut, benar-benar
ditinggal tanpa kabar. Kehilangan itu membungkus keluarganya ke suatu kondisi
aneh. Ibu dan bapak mereka tetaplah orang tua yang bersikap seolah Laut masih
ada. Menolak kemungkinan bahwa Laut dibinasakan, sehingga mereka tetaplah
keluarga dengan empat piring di meja makan, kunjungan ke kamar Laut, dan
perbincangan seolah sosok itu sekadar pergi ke kota. Kehilangan yang tanpa
kabar memang aneh, pasti sulit menganggap keluarga kita tiba-tiba berhenti
eksis. Seperti kata sang penulis, Ketidaktahuan
dan ketidakpastian kadang-kadang jauh lebih membunuh daripada pembunuhan.
Mungkin deskripsi saya kurang sedih. Tapi kesedihan
sesungguhnya adalah, saat pelaku kejahatan ham masih berkeliaran tanpa disentuh
hukum, bahkan mungkin terlibat dalam oligarki negeri ini. Para orangtua,
saudara, kawan, dan kekasih dari para aktivis hilang pun belum mendapat
kejelasan hingga detik ini. Padahal setiap kamis mereka menuntut kepastian di
depan istana negara, sudah 12 tahun.
Mereka yang hilang atau menghalami penghilangan paksa
(desaparecidos), semoga tenang di manapun berada. Perjuangan kalian nggak
sia-sia, kalian akan lahir berkali-kali. Dalam setiap tekanan, akan selalu ada
pahlawan yang melesat menuntut kebebasan kaumnya. Laut Bercerita membawa sekeping hati kami untuk meletakkan
penghormatan kepada kalian. Hostoria
magistra vitae!