“Rainbirds”
merupakan novel debut karya Clarissa Goenawan, penulis Singapore kelahiran
Indonesia. Jika anda tipe pembaca yang judge the book by its writer,
maka pinggirkan dulu segala prasangka mengenai novel perdana. Faktanya, “Raindbirds”
ini telah menyabet gelar ‘The Winner of Bath Novel Award 2015’. Penulisnya
sendiri, Clarissa Goenawan, memenangkan penghargaan dan muncul di beberapa
majalah sastra Singapore, Australia dan Inggris.
Jika anda penggemar
Haruki Murakami maka takkan sulit jatuh hati pada novel ini. Kedua penulis itu
sama dalam hal self judging- absurd sense of thoughts – soulful yet ignorant
at the same time, membuat karakter-karakter mereka begitu hidup. Menggunakan
cara penulisan liris, Clarissa Goenawan menciptakan
tokoh utamanya, Ren Ishida sebagai pusat sekaligus variabel semata dalam dunia
paralel yang ia jalani. Manusia keluar-masuk di kehidupannya, sebagian memberi
makna besar sementara yang lain hanya remah, dan Ren Ishida adalah poros bagi
kebermaknaan tersebut. Tidak hanya tokoh utama, para periferal di sini pun
dibuat mengisi perannya secara maksimal oleh sang penulis. Sebutlah Rio
Nakajima alias Seven Star, tokoh ini memiliki porsi lumayan yang banyak dalam interaksinya
dengan tokoh utama. Dalam sebuah wawancara (oleh difreeman .com), Seven Star
ini merupakan karakter favorit sang penulis, yang dalam novelnya adalah pelajar
SMA yang sarkas, pendiam, hobi mengutil, pintar tapi antisocial, dan tentu saja,
cantik. Sebuah kombinasi sulit untuk ditemukan di dunia nyata, karena gadis
pemaksa (yang bicaranya nonfilter) itu ternyata bisa juga menangis lantaran
ditolak Ren Ishida.
Berbicara mengenai
Writing Style Clarissa Goenawan, bahasa yang digunakannya cukup simple
tetapi memiliki daya evokasi mengesankan. Bukan tipikal prosa puitik namun
efektif dalam menggabungkan unsur-unsur pembangun cerita. Seolah tidak ada kata
yang terbuang percuma, dan setiap aksara bekerja dengan baik untuk substansi
cerita. Perlu diketahui, novel ini dibuka dengan konflik pembunuhan Keiko
Ishida (kakak kandung Ren), membuat pembaca nyaris menebak alur yang bakal
akrab dengan kejahatan kerah putih. Namun justru sebaliknya, penulis membawa
pembaca dalam karangan liris yang penuh tanda tanya. Anda akan menebak-nebak
siapakah misteri di balik pembunuhan Keiko Ishida, tetapi pasrah saja pada
suguhan penulis yang tidak straight forward.
Pada awalnya anda
mungkin sebal karena chapter-chapter yang dihadirkan tak kunjung memberikan clue
mengenai konflik utama. Malahan, kehidupan Ren Ishida beserta sentiment pribadinya
terus saja berserak di halaman buku. Rasanya seperti membaca jurnal pribadi
seseorang yang tidak mengarah ke manapun selain pengalaman sehari-hari. Namun,
akhirnya anda justru heran kenapa tidak menyerah juga. Mengapa? Tentu saja
karena gaya penulisannya tak pernah membosankan.
Sayangnya, ada
pertanyaan yang belum jua terjawab hingga ending, atau tidak dinyatakan
secara jelas oleh penulis. Namun secara garis besar, “Raindbirds” adalah karya
memukau untuk sebuah novel debut, ia menciptakan ukurannya sendiri antara
misteri detektif dan main centric
character prose.
Apakah recommended?
Tentu saja!