Di luar semua rasa syukur. . .
Ada resah yang berhembus dari sela-sela senja, pikir terpenjara
macet, jalan raya berdebu penuh orang-orang. Aneh rasanya menyebut diriku
bagian dari mereka. Para pekerja yang hidupnya disetir sistem, waktu kami habis
terbeli dari petang ke petang lainnya. Aku bagian dari mereka, yang terlalu diatur
keadaan sampai tak sempat merenung, melirik diri lama kami, seberapa jauh
kehidupan melempar kami dari cita-cita. Di sini, saat ini, idealisme terdengar
sangat omong kosong. Dan prinsip tak ubahnya zat cair yang mengemas diri,
menyesuaikan wadah.
Pertanyaannya bukanlah apa aku sedih atau tidak, tetapi perasaan
tak mengenal diri sendiri terus saja membuatku menengok ke belakang. Setiap
bagian dari aku, tidak berserah pada tempat orang-orang menjajal nasib. Melainkan
terus rindu pada hari lalu yang mengikatku sekuat temali namun serapuh mimpi.
Hatiku masih di sana, di sebuah masa yang aku mencintai atmosfernya, tempat
bertukar pikir tanpa tedeng prasangka.
Sering kudatangi perpus, rumah makan, toko buku, toko baju di mana
hanya pantas dilihat-lihat karena harga tak mahasiswawi, cafe ngopi tanpa
camilan dan segala sesuatu yang kupikir bisa memenuhi kosong ini. Tapi tak ada.
Tak ada yang semanis hari lalu, tak ada pembenaran atas lagu Koes Ploes “Hati
Senang Walaupun Tak Punya Uang”. Aku justru teralienasi, seperti berdiri di
antara latar belakang mengabur, di antara para dewasa muda yang masih sekolah.
Tak ada lagi mereka dan aku selesai dengan masa itu. Seharusnya.
Hari-hari terus mengulang dirinya, di tempat yang sangat sementara
ini, rekan datang dan pergi seperti lalat pada sepiring masakan. Kami bertemu,
berteman lalu berpisah, hanya menodai memori dengan kenangan yang sulit
dihapuskan: manis tapi sangat sebentar. Tiap kali bercanda, diam-diam ada
tanya, berapa lama kesementaraan ini berlangsung? Berapa lama lagi kami tertawa
sampai rahang sakit, sebelum tercerai dan menjadi kenangan saja. Berapa lama?
Inilah yang kutakutkan dari keterikatan: erat dan meninggalkan
bekas.