Bagi saya, jika ada hal yang paling
sulit dilakukan di dunia ini, adalah meminta maaf dan memaafkan. Hal termudah
pun hampir senada, meminta maaf dan memaafkan. Pembahasan mengenai kata maaf
ini hampir sama mustahilnya seperti soal kalkulus untuk anak bahasa. Seolah
bukan pada tempatnya, tak pernah tepat, dan mengapa tidak kita berbicara
mengenai kisah cinta saja, yang ada abadi dalam dongeng-dongeng serta hampir
semuram mitos.
Mungkin,
maaf selalu sulit ketika ia berkaitan dengan hati, gudang penyimpan rasa yang
tak ada hubungannya dengan indera pengecap. Setiap hati selalu memiliki
peraturan sendiri. Jika ia baik maka baiklah segala tentangnya, jika buruk maka
penjara paling gelap akan kita temukan di sana. Hati dengan peraturan-peraturannya
itu adalah prerogatif individu, tak tersentuh seolah ia ruang terjauh, tak terukur
bagaikan samudra paling dalam. Dan suatu ketika, kata maaf hanyalah susunan
huruf dan suara yang tak pernah sampai.
Benar
bahwa maaf tak pernah mengembalikan kerusakan apa pun. Tak pernah. Tak perlu
kau beri contoh gelas pecah atau apalah, semua terlalu jelas untuk dibicarakan
dalam ruang dan waktu yang tak bisa disetel mundur. Manusia adalah debu dalam
roda yang berputar ke depan, sekali salah, ia takkan berakhir menjadi benar
hanya karena persetujuan atas sebuah maaf. Tapi apakah manusia normal pernah
berencana merusak hidupnya dengan rasa bersalah? “Ah, lima menit lagi aku mau meracuni
makhluk sombong itu.” atau “Pengecut pantasnya dibuang ke laut sehabis mandi”,
tidak kan?
Lagi
pula, kebencian adalah perasaan yang melelahkan. Ia lebih omong kosong dari janji-janji,
harapan-harapan dan horizon ekspektasi. Ia perlahan memakan kebaikan, dan
setelah dilumat oleh marah yang bertubi-tubi, kita akan menjadi asing pada diri
sendiri. Diri kita yang baru tak pernah memberi ruang untuk kedamaian karena ia
memasang terali berupa kesempurnaan. Sempurna untuk apa yang terlanjur dirusak,
sempurna untuk perjanjian bahwa kompensasi atas kata maaf adalah keadaan
seperti semula. Nonsense? Tentu saja! Lebih irasional lagi jika setelah
perkara maaf selesai, kita harus bertingkah seolah tak ada apa-apa.
Apa
yang sedang coba saya sampaikan, tidak lain, adalah usaha untuk lepas dari
perasaan benci yang sudah mengarat. Waktu untuk memberi syarat atas luka selalu
bisa ditebus dengan hal-hal membahagiakan. Kita masih hidup, tinggal di bawah langit
yang dua kali sehari berubah warna, maka segala sesuatunya mungkin. Ada
bilangan kala tersisa untuk senyuman yang bisa diusahakan. Dibanding bersikukuh
pada kebencian yang semakin omong kosong, dan berjelaga seperti mau memberi
gelap pada dunia kita. Setiap orang memiliki hak meminta dan diberi maaf, jika
tidak, dunia akan selalu merah oleh darah karena nyawa dibalas nyawa.
Saya cukup normal untuk menginginkan
hati yang bersih, dan hati yang bersih tak layak menyimpan benci di dalamnya. Seperti
kata Agus Noor, "Aku percaya: langit
paling luas ialah hati tanpa kebencian."