Masih segar dalam ingatan, ketika
kau yang menjadi sumbu dalam sebuah lingkaran, menasihati kami yang tampak
jahiliyah, sombong dan penuh rencana
seolah akan hidup selamanya. “Menjadi orang sibuk itu bukanlah hal yang hebat,
melainkan suatu keberuntungan karena bisa memaksimalkan waktu dalam kebaikan.”
Ujarmu kala itu, sambil sesekali menatapi kami satu persatu.
Entah itu pertemuan ke berapa, namun
sepertinya ada banyak sekali waktu (yang sekarang nampak ilusif), di mana aku
seharusnya mendengarkanmu. Menekuri kalimat demi kalimat dan menekan nafsu
bercanda yang agak keparat. Meski demikian, kau tetap tersenyum manis, menegur
kami dengan pandangan teduh, lebih teduh dari langit sesaat sebelum gerimis. Kau
memang punya pesona itu, semacam pembawaan yang
membuat lawan bicaramu santun tanpa perlu segan.
Pasti, ada banyak sekali orang yang
menyayangimu, dan apalah aku dibanding mereka semua. Setitik makna pun
barangkali tiada. Namun, rencanaNyalah yang menautkan hati kita, hati kami
dalam lingkaran kecil tempat berdiskusi, mempercakapkan kabar rohani dan apa
saja asal bukan boyband korea. Aku tahu, adalah rencanaNya untuk mengenalmu meski
sebentar, terlalu sebentar bagi orang yang kemudian jatuh sayang. Lingkaran
itu, kalau boleh kubilang lebih berfaedah dibanding kelompok manapun yang
mencatat namaku sebagai anggota. Kenapa? Karena kita saudara, sebagaimana doa
rabithah yang senantiasa kau baca.
Hari ini, pukul 15.30 WIB lebih
tepatnya, Allah memanggilmu kembali. Mendengar kabar itu, hatiku serasa kosong,
dan pikiran pergi tanpa permisi ke suatu tempat yang tak kutahu tepat. Seperti distraksi,
di mana otak tak sinkron dengan hati, atau otak dan hati sejalan, namun tubuh
terlalu fana hingga mematung tanpa melakukan suatu apa. Bukan berita kematian membuatku
sedih hebat, yang mengejutkan justru perasaan ditinggal, seakan hal berharga
dicerabut paksa dari tengah kami. Rupanya aku belum kebal, dan menganggap
kematian adalah sesuatu yang begitu jauh dari realita. Lagi-lagi perasaan
tersebut hadir, bahwa hidup sedikit tak adil, bertemu-saling mengenal-sayang-sayang-sayang-berpisah
begitu saja. Berpisah, bahkan tanpa selamat tinggal yang cukup memadai untuk
melanjutkan hidup tanpa orang bersangkutan. Pola semu yang seperti mau
membenarkan kata Chairil Anwar, Hidup hanyalah menunda kekalahan.
Padahal siapa kita? Memiliki diri
sendiri saja tidak, mengapa ada acara tak ikhlas segala. Sejenis debitur yang
tak tahu diri! Bukankah segala sesuatu lebih baik pada tempatnya, pada
pemiliknya? Lantas tak cukupkah pinjaman waktu untuk berjumpa dalam ketaatan
padaNya?
Ah, sebenarnya kita terlalu dewasa
untuk membahas itu lagi dan lagi. Kita terlalu dewasa untuk menangisi sesuatu
yang seterang aksioma.
Mbak May, selamat menempuh hidup
baru Mbak. Bersama Maha Cinta yang (semoga) menyayangimu lebih besar dari cinta
mana pun yang didefinisikan manusia. Allah baik sekali sudah mengenalkanmu padaku,
akhwat tangguh, inspiratif dan senantiasa berjuang di kala sehat dan sakit. Nisa
sayang mbak May. Insya Allah mbak dapat tempat yang baik, sebagaimana mbak pernah bilang, "tempatkan Allah sebagai cita-cita tertinggi kalian, dek".
Jazakillah atas segalanya.