Assalamualaikum, pa, apa kabar? Semoga
engkau dalam keadaan terbaik dari yang bisa kubayangkan. Sudah lama sekali aku
tidak menulis surat untukmu, aku bahkan tidak menulis paragraf-paragraf selamat
untuk hari ulang tahunmu dan hari-hari yang tampak penting padahal tidak. Ah,
maaf, belakangan ini aku terkungkung dalam—katakanlah perasaan terlena pada
waktu—sehingga tak banyak berkabar lagi. Tapi bukan berarti aku lupa. Tak pernah
sehari pun kosa kata itu mengambil alih peranmu dalam hidupku, karena lupa
sudah kuletakkan sebagai kasus durhaka dalam taraf tertentu.
Ngomong-ngomong, sebentar lagi dua
tahun kita menjadi keluarga yang hidup dalam dimensi berbeda. Tak apa, sekarang
engkau sudah tidak sakit lagi, dan aku pun sudah lebih baik karena tidak
melihatmu dalam keadaan sakit. Aku pernah bilang kan, jika kita menyayangi seseorang,
maka empati kita akan dua kali lipat lebih menyedihkan. Setidaknya, papa sudah
terlepas dari parahnya kamuflase persepsi dalam kehidupan ini. Aku jadi ingin
bertanya, apakah benar yang dimiliki manusia hanya jiwa? Baru-baru ini aku
membaca sebuah blog yang penulisnya bernama Harun Yahya (secara subjektif aku
menjadi tertarik karena nama Yahya di belakangnya), menyatakan bahwa materi itu
ilusi, dan segala sesuatu berada dalam kungkungan persepsi. Blog itu, sedikit
lagi menjawab semua pertanyaanku tentangNya, dengan penjelasan ilmiah sederhana
yang membuatku malu sudah lancang bertanya-tanya. Aku ingin sekali mendengar
pendapat dari sudut pandangmu, tapi, ya sudahlah itu kita bicarakan nanti saja.
Kali ini, aku ingin sedikit protes
kenapa papa jarang datang ke mimpiku! Meskipun masih takut gelap, aku bukan
lagi gadis kecilmu yang takut hantu dan selalu tidur membawa Juz Amma (dulu aku
memiliki semacam kepercayaan bahwa orang yang meninggal akan berubah menjadi
hantu, pocong misalnya). Jadi kalau mau datang, datanglah saja, dan apapun
bentuknya engkau adalah ayahku. Ayah nomor satu. Lagi pula persepsi
hantu-hantuan itu sudah lama kuhapuskan, karena berimplikasi bahwa kelak aku
akan jadi hantu juga. Fatally creepy, naudzubillah!
Mungkin alasan engkau tidak sudi
datang ke mimpiku adalah ibadahku yang memburuk akhir-akhir ini. Iya pa, aku
juga menyesal dan merasa munafik untuk itu. Tapi semoga masih ada kesempatan
memperbaiki.
Sebenarnya, selain kangen, ada
alasan lain aku membuat surat padamu. Seperti biasa, aku ingin menanyakan
sesuatu, (ck, bagian ini masih menyedihkan karena komunikasi kita serasa
benar-benar putus). Aku ingin bertanya, kenapakah seseorang harus mendiamkan
orang lain tanpa alasan yang ybs ketahui? Hal paling sulit dimengerti selain
trigonometri dan kawan-kawannya yang seperti alien itu, adalah kenapa proses ‘mendiamkan’
harus ada dalam kamus pertemanan? Kenapa? Kenapaaa?
Diam itu ambigu, menjengkelkan dan
absurd Masya Allah. Itulah sebabnya aku lebih takut pada marahmu ketimbang ibu.
Sebagai wanita normal, ibu akan merepet satu juz jika marah, tapi setelahnya
sudah. Selesai tanpa sisa. Dan aku jadi tahu apa yang membuatnya marah sehingga
menjelma Qariah bersuara indah. Berbeda dengan engkau, marahmu diam, hanya diam
dengan tatapan maut—jika saja tatapan bisa membunuh, niscaya aku tamat saat itu
juga. Ini semua, proses diam dan tatap-menatap yang mengerikan itu, sungguh
membuatku kalang kabut. Aku seperti digiring pada fait accompli yang
membuatku jadi tersangka tanpa pengacara. Program minta maaf yang diselimuti
oleh rasa segan tersebut harus kuhadapi sendirian. Macam kambing hitam yang menawarkan
diri untuk dibantai. Rasa-rasanya aku kuat dimarahi macam apapun—kata-kata
kasar dan kekerasan tidak termasuk—asal jangan diam.
Parahnya, orang yang marah dalam
diam bukan hanya engkau saja, Pa. Salah seorang temanku suka tiba-tiba
mendiamkan, bahkan ketika baik-baik saja pada awalnya. Aku nggak ngerti, dan
derajat nggak ngerti ini bergerak menuju seratus persen. Bahkan dalam
ketidakmengertian ini aku berusaha mengiriminya sms permohonan maaf. Kau tahu
pa, minta maaf adalah program yang berat seperti menguliti harga diri. Tapi kulakukan
juga. Semua demi waktu keramat, bahwa sesama muslim tidak diperkenankan
berselisih lebih dari tiga hari. Ini sudah menjelang dua hari, maghrib nanti
waktuku habis telak. Dan engkau perlu tahu, hal menyedihkan nomor satu dari
perang dingin ini adalah smsku tidak dibalas, tapi dia update bbm dan melakukan
aktivitas sosmed lainnya.
Oh Allah, kuharap engkau mengerti
niat hamba mengantarkan maaf. Perkara diterima atau tidak, menjadi urusan dia
dan Engkau semata. Tapi tinggal serumah dalam keadaan diam rasanya sedikit
mengganggu ketentraman.
Pa, coba jelaskan padaku trik untuk
mengatasi jenis marah seperti ini. Jujur, aku lebih bahagia menjadi pihak yang
disakiti, daripada merasa bersalah—merasa loh ya, aku bahkan tak tahu apa
salahku. Aku kembali pada posisi didiamkan yang tidak enak. Kejadian-kejadian
semacam ini menciptakan keyakinan bahwa jika pada waktunya aku berkomitmen
nanti, harus ada sejenis pakta dengan pihak kedua, agar tidak ada rahasia di
antara kita. Marahlah kalau mau marah, mau memuji tinggal bilang, mau pisah? Silakan
kalau alasannya jelas dan bisa diterima. Segala sesuatu yang pada tempatnya
adalah hak, dan sebagai orang yang nilai semiotikanya B, aku benci aktivitas
perkodean yang tidak konvensional!
Pada dasarnya diam itu menimbulkan
prasangka. Dan aku tidak suka berlarut-larut dalam prasangka yang membunuh
logika. Memang ada benarnya pepatah yang berkata, “quiet people have the
loudest minds”. Tapi si pepatah yang terhormat itu pasti belajar dari tokoh
macam Edward Cullen, Aro, Sherlock Holmes, Morpheus, Kaname Kuran, atau Si Buta
dari Gua Hantu. Lantas dari mana aku harus mendapatkan ilmu itu, dan hey,
they don’t even exist!
Pa, nanti kalau kita bertemu di
kehidupan selanjutnya (semoga itu surga), jangan pernah marah macam demikian.
Aku bukan mind reader, atau dukun berkekuatan supranatural yang memahami orang
dalam sekali kedip. Sampai di sini, aku cuma tertolong oleh keyakinan yang
berbunyi, “It isn’t my duty to please everybody.” Lagi pula permintaan
maafku seperti beterbangan di udara dan nggak ada artinya. Atau mungkin tidak
membalas justru sikapnya yang paling jelas. Entahlah, once more, it’s not my
duty to please everybody.
Baiklah, pa, kalau kau ingin
mendengar tentang istrimu yang militan dan dermawan (minimal padaku) itu, dia
baik-baik saja. Semua pada tempatnya, meski ada satu dua hal yang seperti jalan
di tempat dan tidak segera bermuara. Tapi nggak apa, asal berjalan dalam tujuan,
kita semua akan sampai.
Sampai jumpa pa, dalam mimpi
mungkin, semoga Allah selalu menyayangimu sebagai orang yang mengajarkan
tentangNya. Selamat HUT RI, merdekalah dalam definisimu di sana. Terima kasih atas segalanya, atas adzan pertama dan dua puluh tahun
yang bermakna lebih dari sekadar waktu.
With love,
Intang.