Ngapain
kamu belajar filsafat? Ndak edan.
Ngapain
kamu belajar filsafat? Mau jadi atheis?
Kalimat
seperti itu kerap terdengar ketika seseorang bersinggungan dengan filsafat.
Seakan membaca buku bercover filsafat merupakan indikasi menuju sesat, atau ciri-ciri
bahwa pembacanya mau murtad. Tapi sebenarnya tidak demikian kawan, sungguh
tidak.
Filsafat
memiliki banyak sekali cabang. Namun dasar paling transenden yang membuatnya
jadi seperti samudra makna, adalah rasa skeptis. Orang-orang yang tergabung di
dalamnya merupakan individu yang tak pernah mengangguk setuju pada pernyataan
umum. Mereka, atau mungkin kita, akan menukil sampai dasar terbawah hingga
hasratnya untuk bertanda-tanya terpenuhi. Hal tersebut didukung oleh kebebasan
berpikir seluas-luasnya, tanpa tepi dan batasan cakrawala bernama dogma. Meski secara
keilmuan filsafat terbagi menjadi beberapa cabang seperti epistemologi, ontology
dan aksiologi, yang beranak-pinak menjadi isme-isme bergantung pada tokohnya, kebutuhan
akan berfilsafat bagi homo sapiens ini senantiasa dilandaskan pada refleksi.
Praktiknya, ketika orang berpikir filsafati, ia akan mengandalkan dirinya
sebagai kosmos dan tidak melulu berkutat pada satu aliran. Malah, bukan aliran
yang dipilih sebagai metode berpikir, melainkan orang ybs-lah yang memiliki
tendensi untuk menjadi salah satu –isme.
Bisa
dikatakan, filsafat merupakan area bebas dogma, dan yang terpenting kamu cukup
rasional untuk act like a philosopher. Rasional di sini merupakan kata
kunci, bekal paling utama bagi siapapun untuk merasa berhak berfilsafat. Maka
jelas, filsafat bukan hanya monopoli mereka yang Ph.D atau mahasiswa pada sebuah
gedung bernama Faculty of Humanity, melainkan milik semua yang diberi
anugrah akal oleh Yang Maha Kuasa.
Atas
kesadaran bahwa filsafat lebih mengandalkan logika ketimbang menghormati dogma,
maka muncullah pemikiran-pemikiran yang menyatakan diri sebagai Ateisme (nah
kan, isme lagi. Karena –isme adalah hak bagi sebagian orang). Sebut saja Ludwig
Feurbach yang terkenal dengan ‘Manusia menciptakan Tuhan’, mari kita hormati
pandangannya sebentar. Menurutnya, keberadaan Tuhan, malaikat, surga-neraka dan
agama, merupakan proyeksi manusia untuk mengakui suatu ke-Maha-an. Hegellian
(pengikut Hegel –filsuf yang mengasosiasikan Tuhan sebagai roh semesta) satu
ini berpendapat bahwa sejatinya itu semua sudah ada dalam diri manusia sebagai
kosmos. Manusialah pusat jagat raya sehingga sudah sepatutnya memulangkan
ke-Maha-an tersebut dalam dirinya. Feurbach tidak sendirian dalam pandangan
akan ateisme, kawannya antara lain Jean Paul Satre (yang terkenal itu), bapak
psikoanalisis Freud, dan yang cukup kondang dengan “God Is Dead” yaitu
Frederich Nietzche. Namun yang menarik, Nietzsche tidak secara literal
menyatakan ateis. Ia menganggap bahwa Tuhan telah mati dalam kehidupan beragama
di Eropa, Dia bukanlah sosok humanis dan tidak mampu menyelesaikan berbagai
permasalahan. Maka merupakan tugas manusia untuk membunuhnya.
Menilik
keberadaan ateisme dalam filsafat (jangan berputih mata dulu, orang filsafat banyak kok yg ibadah) yang dikukuhkan oleh beberapa tokoh, tidak
mengherankan bila beberapa orang memilih untuk berpikir demikian, entah atas
pengaruh seseorang maupun berada di bawah tanggung jawab pemikiran sendiri. Tetapi
yang seyogyanya perlu diingat dan dipatri dalam hati kita, adalah adagium bahwa
filsafat membawa pada kebijaksanaan. Lover of wisdom. Logika dan
rasionalitas macam apapun harus diimbangi dengan pengertian awal bahwasanya
pergerakan filsafat mengarah pada sikap arif (yg kalau di KBBI berarti
menggunakan akal-budi/pengetahuan cs pengalaman). Seseorang belum dikatakan
filsuf jika ia belum meraih kebijaksanaan hakiki, yang logis dan mengerti.
Konon,
ateisme merupakan fase awal dari filsafat. Sebagaimana bingung adalah gerbang
menuju pengetahuan. Mungkin ada yang belum tuntas dalam pemahaman ontologi,
yakni mengenai hakikat hidup yang tidak selesai hanya dengan menjawab
pertanyaan ‘apa’. Barangkali aksiologi dapat menawar rasa ingin tahu akan
fungsi pengetahuan bagi hidup.
Saya pribadi yakin, berTuhan
merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap manusia. Terlepas dari pengakuan bahwa
Tuhan kita adalah Dia Yang Satu, tempat bergantung segala sesuatu, tidak
beranak maupun diperanakkan, serta tak satu pun yang setara denganNya (terjemahan
surat Al-Ikhlas), aforisme tiap individu akan ketuhanan nyatanya cukup jelas. Ia
bisa saja seorang agnostic (percaya akan Tuhan namun tak beragama), panteisme
(menyamakan Tuhan dg kekuatan semesta) dll. Namun sejatinya ia percaya, bahkan
alterego Nietzsche dalam Thus Spoke Zarathusra (novel tentang pria
bernama Zarathusra yang pada usia 30 tahun menyepi untuk mengajarkan humanitas.
Namun dalam kesepiannya merasakan ada kekuatan di luar diri yang tak pernah
mampu ia tolak), apakah namanya kalau bukan pengakuan atas superioritas Yang
Maha?
Entahlah, no matter what, philosophy
take us to the wisdom, is it?
Wallahua’lam.
P.S: Catatan ini dibuat bukan atas
dasar penelitian. Mohon maaf apabila ada kekeliruan. Apalah saya, cuma anak
sastra yang mau tak mau harus bersentuhan dengan filsafat. Karena sastra tanpa
falsafah, lebih kering daripada kripik tempe yang dijemur tujuh kali, meaningless.
P.S (one more): Saya belum selesai
baca Thus Spoke Zarathusra. Karena selain bahasanya engrish nyebelin, ya
begitulah, kadang-kadang saya nggak cukup pintar memahami. Mungkin kamu mau
bantu saya baca dan bikin Summary?