Selamat malam ayah nomer satu di
dunia. . .
Apa kabarmu di sana? Di tempat yang
serupa tera incognito dalam kepalaku. Hanya serupa, ya, bagaimana pun
serupa tak memiliki padanan yang cukup membahasakan sesuatu. Maka, serupa
itulah yang membuat rindu ini tak terjelaskan. Hanya rindu. Tanpa rupa, tanpa
warna.
Hari ini tepat 17 bulan kita tak
bertemu. Rasanya lama sekali, lama yang tak terkira.. seperti bertahun-tahun
dan kenangan terus menjadi larat bersama waktu yang menyeret ke masa-masa di
depan. Hari ini, hari biasa ketika aku merindukanmu, rindu gigantis yang
memaksaku menulis sebuah surat. Lagi dan lagi, surat yang tak pernah sampai
padamu. Bahwa yang kulakukan ini tak ubahnya ngobrol dengan batu, tak
menghasilkan apa-apa selain aktivitas yang tak jauh beda dengan gila. Tapi
sudahlah, aku memang berniat terus melakukannya. Menulis surat rindu yang
terlalu bertepuk sebelah tangan. Surat yang memang harus kutuliskan, atau tidak
aku akan gila betulan.
17 bulan waktu yang sangat lama. Aku
melewatkan banyak peristiwa yang takkan pernah sampai kepadamu sebagai cerita.
Padahal di antara 17 bulan itu ada beberapa hal yang seharusnya bisa membuatmu
tersenyum. Eh salah, kau tak pernah melakukan itu, di depanku kau hanya akan
berkelakar seolah itu hal yang sangat biasa. Remeh temeh yang nyaris tanpa
harga. Yang hebatnya, kelakarmu pun tak membuat tersinggung sama sekali. Justru
seperti pegas yang melentingkan objeknya untuk melompat mencapai sasaran. Aku sedih
karena kau takkan seperti itu lagi.
Ada begitu banyak hal sebenarnya.
Saking banyaknya, cerita seperti ikan tanpa air yang melompat-lompat. Untuk
menghentikannya, eksekusi saja. Tapi pertama-tama, hal yang perlu kulakukan
adalah mengubah sapaanmu menjadi pa. Karena menggunakan ‘ayah’ dan ‘mu’
merupakan hal yang tidak kita. Aku pikir bapa akan tertawa sendiri saat membaca
sapaan yang mirip aristokrat kurang kerjaan, ‘ayah’ istilah dari belantara mana
itu?
Pa, kehidupan memang berjalan
baik-baik saja. Tapi sepi jadinya, rumah yang tanpa suara dan canda-tawa
tercerabut habis, menjadi keseriusan yang semakin miris saat dibercandakan. Bapa
harusnya tau, ibu dan aku adalah orang-orang nyaris kaku yang membutuhkan orang
sepertimu, pembercanda nomer satu yang bisa mengubah luka sebagai ladang tawa. Dalam
hal ini, aku pikir Gita agak mirip denganmu, sayang hanya dalam taraf ‘agak’
sehingga tak sepenuhnya terganti. Takkan pernah. Makanya aku tak suka pulang,
dan buat apa? Bersama ibu, kami hanyalah dua orang yang bertangis-tangisan saat
mengenangmu. Dan itu tidak lucu, sama sekali tak lucu, jika mengingat kejenakaan
yang entah kenapa bijak juga, tapi dengan suasana mengharu biru. Mata berkaca-kaca
dan ujung-ujungnya kangen yang obatnya cuma doa. Dua orang ini hanya akan
menciptakan setting sinetron Indonesia yang penuh air mata, sedikit memalukan
memang. Kau pasti takjub melihat kami mengenangmu demikian, pa.
Tapi di atas rasa malasku untuk
pulang, rasa malas yang tumbuh bahkan sebelum kau tiada, aku merasa bersalah
pada ibu. Aku sayang ibu, tapi sebagian diri ini juga Malin Kundang yang sering
tak berniat pulang. Benar bahwa aku merindukan kampung halaman, tapi itu
kampung halaman berpuluh tahun lalu. Sebelum Negara api menyerang dan semua
elemen berada dalam equilibrium sama rata. Rasa-rasanya yang mengikatku pada
tempat itu hanya ibu dan sarehanmu, pa.
Maaf karena aku domba kecil yang
selalu terpana pada hijaunya rumput tetangga. Dan tentu saja, hujan emas di
negeri orang lebih baik daripada hujan batu di negeri sendiri.
Baiklah, ini terlalu sensitif untuk
dibicarakan. Lagi pula masa depan selalu tanda tanya, bisa jadi besok pagi aku
terbangun dan jatuh cinta lagi sama Pesarean. Desaku yang kucinta, pujaan
hatiku. Prettt… haha seharusnya memang aku ditendang dari tempat itu.
Tempat yang dengan sendirinya malah… ah, sudah. Kenapa aku jadi tak nasionalis
begini!
Eh, pa, sekarang aku sedang
mendengarkan lagu Ebiet. Musisi favoritmu yang lagunya seperti sajak, stanzanya
puitis dan suaranya sejernih elegi patah hati. Seleramu tinggi juga, pa. Tapi
maaf, aku menyukai Ebiet bukan karenamu. Karena dia memang layak disukai. Lihat
saja, musisi Indonesia manakah yang akan menulis lirik ini:
Gugusan hari-hari indah bersamamu…
Camelia,
Bangkitkan kembali, rinduku
mengajakku ke sana
Ingin kuberlari, mengejar seribu
bayangmu..
Camelia
Tak peduli kan kuterjang, biarpun
harus kutembus
Padang ilalang
Tiba-tiba langkahku terhenti, sejuta
tangan tlah menahanku
Ingin kumaki, mereka berkata…
Tak perlu kau berlari, mengejar
mimpi yang tak pasti
Hari ini juga mimpi
Maka biarkan. . .
Ia datang… di hatimu
Ah, aku curiga jangan-jangan Ebiet
ini tidak makan nasi saking puitisnya. Ia makan kata dan metafora. Aku jatuh cinta
semenjak kau sering memutar lagunya pada pagi buta. Semenjak aku masih suka
mencabuti ubanmu demi mendengar sepotong dongeng bahkan.
Lagi, Ebiet ini pandai sekali menyanyikan
duka. Kau tau pa, dua hari selepas kepergianmu, aku menangis saat memutar Camelia
IV. Lagu yang kau nyanyikan beriringkan gitar yang petikannya belum penuh dihapal.
Ada lirik yang membuat jangtungku berhenti sejenak.
Kematian hanyalah tidur panjang,
maka mimpi indahlah engkau…
Aku ingat dengan tepat, bagian
ketika kau menceritakan Ebiet kehilangan Camelia, lalu dia menuliskan lagu
berseri tentang puisi dan pelitanya yang telah meninggal itu.
Adakah kau di sana mengingatku? Mengingat
dua puluh tahunku, 17 tahun adikku dan bertahun-tahunmu yang memberi begitu
banyak makna pada kami.
.
.
.
Pa, aku hanya mau menurut kata Seno
Gumira Ajidarma. Bahwa perpisahan sesungguhnya terjadi bila dua orang
benar-benar saling melupakan. Dan keberadaan seseorang tidak ditentukan oleh
eksistensinya, melainkan oleh sebuah makna dalam sekumparan kenangan.
Terakhir, aku ingin memberitakan,
bahwa mulai bulan depan aku adalah mahasiswa tingkat akhir yang sedang bergelut
dengan skripsi. Doakan aku, di horizon manapun kau berada. Bahwa meski bukan
feminis, aku tangguh dengan caraku, dengan dua puluh tahun pendewasaan penuh
cerita. Ingat dengan cermat, pa, aku akan terus menulis surat padamu. Agar rinduku
abadi dalam kata dan doa. Selamat tidur panjang, tetaplah berbahagia dalam
ketiadaanmu. Salam sayang.