|
cover buku |
Jika menulis adalah bekerja untuk
keabadian atau aktualisasi diri atau (lagi) perpanjangan eksistensi seseorang
di dunia, maka membaca adalah sumbu itu semua. Poros tempatmu memulai setapak
pertama dan memahami dunia yang tak pernah selebar daun kelor. Bagusnya,
membaca akan mengurangi karat kesombongan seseorang karena tahu bahwa
pengetahuannya hanyalah seringan massa debu di udara. Perbandingan buku yang
kita baca dengan ilmu dunia jika digabungkan, selalu seperti burung Hud-hud
yang melempar belalang ke tengah lautan, teks-teks yang pernah tersentuh mata
kita akan tenggelam dalam jutaan kubik gelombang air. Dan bentuknya takkan
lebih besar dari satu ekor belalang saja.
Sayangnya,
membaca yang laksana candu itu terkadang menciptakan realitas maya di kepala
kita. Ada saja monolog yang tercipta, atau pikiran-pikiran yang mendorong
realita mampat pada horizon ekspektasi. Membaca merupakan aktivitas yang
memperluas cakrawala tapi mempersempit dimensi, seolah-olah kita lebih besar
dari tempurung dan imaji-imaji pribadi. Begitulah kira-kira yang dialami Sekala
dalam Taman Sunyi Sekala-nya Aida Vyasa. Novel filsafat satu ini, ah,
entah aku harus mereviewnya dari sudut pandang mana. Kompleks, ambigu, rumit
sekaligus indah. Begitu banyak warna kontinu tergerlar dalam novel ini serupa
spektrum.
Hal
pertama yang membuatku memutuskan membuang waktu untuk membaca 292 halaman
novel ini adalah labelnya sebagai novel filsafat. Aku tahu, prosa jenis ini
akan kering dialog maupun konflik dan tidak menguntungkan secara literal.
Terlebih karena terdapat merek lain bernama autobiografi spiritual, yang sama
merugikannya dengan membaca resep masakan tanpa dipraktikkan. Kau tahu kawan,
buku paling kuhindari ke dua di dunia ini selain kumpulan rumus IPA adalah
autobiografi. Auto –sendiri, biografi –riwayat hidup pribadi, alias buku diary
yang diterbitkan. Kenapa? Karena jika diciptakan oleh orang yang kurang pintar
menulis, hasilnya akan mirip buku motivasi gagal yang congkak dan sedikit
sekali mengandung hikmah. Tapi memang kita tak boleh mengeneralkan segala
sesuatu, Catatan Seorang Demostran-nya Gie, Anak-anak Revolusi-nya
Budiman Sudjatmiko, dan mungkin beberapa gelintir di luar sana, adalah
autobiografi yang menggetarkan. Ditulis dengan jujur dan tendensius, tapi tidak
menghakimi pihak yang namanya tercantum dalam autobiografi. Seakan-akan penulis
buku itu menepuk bahumu sambil berkata, “selalu ada alasan untuk sebuah
kebencian, kawan”. Membaca buku semacam itu membuatmu sejenak lupa bahwa kau
sedang membaca, adalah yang mereka berbicara padamu tanpa jarak tentang
dirinya.
Kira-kira
seperti itulah Taman Sunyi Sekala, mengisahkan seorang gadis keturunan
Arab—Persia yang haus pengetahuan. Ketertarika pada noir –gelap dan
misterius–membawanya pada Niskala yang
merupakan perwujudan noir dalam dirinya. Niskala ia anggap sebagai sosok
pujaan. Dan bersama dia, Sekala menceritakan banyak sekali hal absurd.
Membaca
Sekala sangat berbeda dengan novel filsafat lain (bentuk fiksi filsafat memang
cenderung mewujudkan diri dengan cara berbeda), misalnya Dunia Sophie-nya
Jostein Gaarder yang meskipun fiksi, sangat cocok dibaca mahasiswa yang
mengambil kelas dasar-dasar filsafat. Aku tidak sedang memuji salah satu dan
merendahkan yang lain, tapi memang begitulah kenyataan. Dunia Sophie
memiliki ranahnya sendiri, sedangkan Sekala adalah fiksi setengah nyata namun
nggak layak disebut fakta. Aida Vyasa menuliskannya dengan gaya essay yang
sedikit prosais. Gramatika stilistika seperti itu menghadapkanmu pada dua
pilihan, hanya dua, yaitu membaca sampai tuntas atau jangan memulai sama
sekali. Kamu mungkin lelah dan bosan karena tak kunjung menemukan hikmah,
tetapi berhenti di tengah-tengah sama buruknya dengan meletakkan jari-jarimu di
antara engsel pintu, terjepit dan sia-sia. Apalagi pada bagian akhir Vyasa
membahas sesuatu yang menginspirasi seluruh jagad raya, sesuatu yang kau, aku
beserta jutaan batok kepala memiliki definisinya sendiri dan tak pernah paten.
Apa itu? Ah, kamu sudah tahu
jawabannya.
Iya, betul itu, apalagi memang.
Sudah jangan pura-pura! Apa, coba katakan sekali, kau muak. . .Baiklah mari
kita sebut bersama-sama dengan sekali hembusan nafas. 1, 2, 3. . .
.
.
.
Cinta.
Lihat, aku menghadiahkan beberapa
space hanya untuk mengucap cinta. Kata benda ini memang luar biasa, sampai
Tuhan menciptakan kehidupan dengan segala ketaktertebakkannya dan kita masih
bertahan. Kau pikir karena apa? yap, pintar sekali, karena Tuhan tentu saja,
orang tua, cita-cita atau bahkan cinta seseorang yang mengikatmu ke bumi
seperti gravitasi. Kita tak perlu berbicara apapun tentang cinta, yang ada
hanyalah puisi dan bunga-bunga mekar memasuki pikiran juga hati. Ambillah
pengertianmu sendiri, maka aku pun begitu.
Cinta
sejati yang entah bagaimana bentuknya, terkadang justru yang paling tidak
disadari. Invisible. Seperti simulakrum di mana realitas yang ada adalah
realitas semu. Sebagaimana yang Baudrilard katakan dalam Triumph of
Simulacra, awalnya citra merupakan representasi realitas, citra menutupi
realitas dan citra menggantikan realitas. Dalam hal ini, cinta sejati sebagai
realita telah sirna, “Not into nothingness, but into the more real than real”.
Cinta sejati menjelma citra serta hiperrealitas
dalam simbol dan tanda. Konon simbol merupakan bahasa paling tinggi dari sebuah
makna sebelum menjadi absurd.
Sedangkan
cinta-cinta lain yang sering kita bicarakan tak lebih dari manifestasi Lust.
Bagiku, Love dan Lust adalah kembar siam yang akan kanibal jika salah
satunya tak cukup kuat mengimbangi yang lain. That’s why seperti yang
dikatakan Sekala, cinta lebih baik tetap dalam bentuk kata benda. Aku setuju
dengan itu, cinta tak harus mengambil hal yang bukan dirinya, ia selalu
menempati ruang dengan tepat. Kamu memiliki lebih dari cukup untuk dibagikan
tanpa harus mengambilnya dari orang lain. Oleh sebab itu ia harus dua arah,
agar ada pihak pemberi dan pihak penerima, semacam pertukaran yang setimpal.
Aku ingin
memperlihatkanmu bagian yang paling kusuka dari buku ini. Ketika seorang
penulis berbicara cinta.
Aku
jatuh cinta pada agama apapun yang membuatku jatuh cinta kepada diriku yang
akan membawaku jatuh cinta pada tempat yang kutinggali sehingga aku ingat siapa
yang menggerakkan angin sebagaimana aku ingat siapa yang meniupkan roh ke dalam
janin ibuku.
Aku
jatuh cinta kepada siapa pun yang membawa kerical ini kembali ke jalan yang
benar, yaitu jalan yang aku ridai karena aku tahu bahwa diriku takkan bertahan
lama dalam jalanan yang tak tentu arah. Aku pun manusia yang merindukan pulang
ke rumah teduh.
Aku
jatuh cinta pada apapun yang membuatku ingat bahwa deraka dan surga itu tak ada
sehingga aku tidak berbuat baik dan menghindari kejahatan hanya karena upah
semu yang mampu menurunkan derajatku sebagai hamba tuhan dan bukan hamba-nya
yang ditinggikan
Aku
jatuh cinta pada kegilaan paling gila yang mana hanya sebuah kehilaan saja yang
termasuk kategori kenormalan paling normal seperti gilanya para manusia suci
yang mencintai makrifat dan hikmah sehinga dianggap paranoia dan pesakitan.
Aku
jatuh cinta kepada para narsis yang mengharfai diri mereka sendiri, seperti
para pelacur yang menghargai diri mereka dengan ribuan dolar dan bukan seperti
para istri yang seperti dicocok hidungnya.
Aku
jatuh cinta kepada mulut berbusa kata-kata.
Aku
jatuh cinta kepada diriku sendiri sebagaimana mereka membenciku!!!
(Vyasa,
2006:260)
Pada beberapa
bagian, kata-kata Aida sangat aku. Dan di antara itu semua, yang membuatku
menghormatinya adalah kemampuannya mencintai Allah SAW. Ya, Tuhannya nabi
Muhammadi, aku, kamu, (mereka), matahari, bintang-bintang yang seluruh alam
semesta bersandar padaNya, dan Dia tak merasa berat untuk itu. Jangan lupa,
Sekala telah banyak makan asam garam buku filsafat bahkan langsung dalam bahasa
asalnya. Tapi dia mencintai agama dan
menyebutkan secara gamblang. Di luar sana, betapa banyaknya orang beragama dan
mengakui Tuhan, tapi pengecut dalam menyebut nama tertentu bahkan agamanya
sendiri. Takut dibilang ngga objektiflah, radikallah, puritanlah, apalah itu
yang mengurangi rasa hormat kita pada agama. Bahkan sampai terkesan kita hidup
di Negara mayoritas tapi menjunjung tinggi hak-hak minoritas.
Aida Vyasa
tidak demikian, ia menghormati agama sebagai cinta yang hakiki. Meski
terang-terangan mengaku jatuh cinta pada Frederich Nietsche, mengagumi Chairil
Anwar yang semasa hidupnya tak memiliki apapun selain rokok dan masalah, Aida
Vyasa mencintai manusia yang dengan akhlaknya mampu menciptakan revolusi dalam
damai, yaitu Muhammad SAW. Ia paham betul tragedi Karbala yang mensyahidkan
Imam Husein (bin Ali bin Abi Tholib), bahkan mengerti dasar kenapa orang-orang
Syiah berani mati (Syiah men, syiah, yang di sini masih tabu dan kurang layak
diperbincangkan). Sebagai sekala, ia memuji keindahan Al-Quran dan betapa Tuhan
suka bermetafora. Ah, rasanya dia banyak sekali bercerita tentang agama, yang
paling menyentuh, dia ingin beridabah dengan tataran makna bukan gerak semata.
Penulis yang
menciptakan Niskala-Sekala ini membuktikan hobinya membaca bukan cuma lewat
kata-kata. Pengetahuan yang dibagikannya mengatakan itu semua, dan seperti Don
Quixote, ia juga menciptakan realitas sendiri. Paparan realitas ini sungguh
mengantarkan pada kepercayaan bahwa ini sama sekali bukan fiksi, kecuali bagian
akhir yang boleh kamu simpulkan sebagai apa saja. Membaca Sekala bukan cuma
membingungkan, tetapi juga menjengkelkan karena kamu akan terlihat bodoh dengan
tidak mengetahui apapun.
Akhir kata:
Niskala, aku
ingin bertemu orang sepertimu.