UA-51566014-1 Catatan Harian: Oktober 2015

Sabtu, 10 Oktober 2015

Selamat Jalan Mbak (Sekali Lagi, Rasa Sayang yang Tak Sampai)

Masih segar dalam ingatan, ketika kau yang menjadi sumbu dalam sebuah lingkaran, menasihati kami yang tampak jahiliyah, sombong dan  penuh rencana seolah akan hidup selamanya. “Menjadi orang sibuk itu bukanlah hal yang hebat, melainkan suatu keberuntungan karena bisa memaksimalkan waktu dalam kebaikan.” Ujarmu kala itu, sambil sesekali menatapi kami satu persatu.

Entah itu pertemuan ke berapa, namun sepertinya ada banyak sekali waktu (yang sekarang nampak ilusif), di mana aku seharusnya mendengarkanmu. Menekuri kalimat demi kalimat dan menekan nafsu bercanda yang agak keparat. Meski demikian, kau tetap tersenyum manis, menegur kami dengan pandangan teduh, lebih teduh dari langit sesaat sebelum gerimis. Kau memang punya pesona itu, semacam  pembawaan yang  membuat lawan bicaramu santun tanpa perlu segan.

Pasti, ada banyak sekali orang yang menyayangimu, dan apalah aku dibanding mereka semua. Setitik makna pun barangkali tiada. Namun, rencanaNyalah yang menautkan hati kita, hati kami dalam lingkaran kecil tempat berdiskusi, mempercakapkan kabar rohani dan apa saja asal bukan boyband korea. Aku tahu, adalah rencanaNya untuk mengenalmu meski sebentar, terlalu sebentar bagi orang yang kemudian jatuh sayang. Lingkaran itu, kalau boleh kubilang lebih berfaedah dibanding kelompok manapun yang mencatat namaku sebagai anggota. Kenapa? Karena kita saudara, sebagaimana doa rabithah yang senantiasa kau baca.

Hari ini, pukul 15.30 WIB lebih tepatnya, Allah memanggilmu kembali. Mendengar kabar itu, hatiku serasa kosong, dan pikiran pergi tanpa permisi ke suatu tempat yang tak kutahu tepat. Seperti distraksi, di mana otak tak sinkron dengan hati, atau otak dan hati sejalan, namun tubuh terlalu fana hingga mematung tanpa melakukan suatu apa. Bukan berita kematian membuatku sedih hebat, yang mengejutkan justru perasaan ditinggal, seakan hal berharga dicerabut paksa dari tengah kami. Rupanya aku belum kebal, dan menganggap kematian adalah sesuatu yang begitu jauh dari realita. Lagi-lagi perasaan tersebut hadir, bahwa hidup sedikit tak adil, bertemu-saling mengenal-sayang-sayang-sayang-berpisah begitu saja. Berpisah, bahkan tanpa selamat tinggal yang cukup memadai untuk melanjutkan hidup tanpa orang bersangkutan. Pola semu yang seperti mau membenarkan kata Chairil Anwar, Hidup hanyalah menunda kekalahan.

Padahal siapa kita? Memiliki diri sendiri saja tidak, mengapa ada acara tak ikhlas segala. Sejenis debitur yang tak tahu diri! Bukankah segala sesuatu lebih baik pada tempatnya, pada pemiliknya? Lantas tak cukupkah pinjaman waktu untuk berjumpa dalam ketaatan padaNya?

Ah, sebenarnya kita terlalu dewasa untuk membahas itu lagi dan lagi. Kita terlalu dewasa untuk menangisi sesuatu yang seterang aksioma.


Mbak May, selamat menempuh hidup baru Mbak. Bersama Maha Cinta yang (semoga) menyayangimu lebih besar dari cinta mana pun yang didefinisikan manusia. Allah baik sekali sudah mengenalkanmu padaku, akhwat tangguh, inspiratif dan senantiasa berjuang di kala sehat dan sakit. Nisa sayang mbak May. Insya Allah mbak dapat tempat yang baik, sebagaimana mbak pernah bilang, "tempatkan Allah sebagai cita-cita tertinggi kalian, dek". 

 Jazakillah atas segalanya.