UA-51566014-1 Catatan Harian: Februari 2015

Senin, 02 Februari 2015

Surat Untuk 17 Bulan Tepat

Selamat malam ayah nomer satu di dunia. . .

Apa kabarmu di sana? Di tempat yang serupa tera incognito dalam kepalaku. Hanya serupa, ya, bagaimana pun serupa tak memiliki padanan yang cukup membahasakan sesuatu. Maka, serupa itulah yang membuat rindu ini tak terjelaskan. Hanya rindu. Tanpa rupa, tanpa warna.

Hari ini tepat 17 bulan kita tak bertemu. Rasanya lama sekali, lama yang tak terkira.. seperti bertahun-tahun dan kenangan terus menjadi larat bersama waktu yang menyeret ke masa-masa di depan. Hari ini, hari biasa ketika aku merindukanmu, rindu gigantis yang memaksaku menulis sebuah surat. Lagi dan lagi, surat yang tak pernah sampai padamu. Bahwa yang kulakukan ini tak ubahnya ngobrol dengan batu, tak menghasilkan apa-apa selain aktivitas yang tak jauh beda dengan gila. Tapi sudahlah, aku memang berniat terus melakukannya. Menulis surat rindu yang terlalu bertepuk sebelah tangan. Surat yang memang harus kutuliskan, atau tidak aku akan gila betulan.

17 bulan waktu yang sangat lama. Aku melewatkan banyak peristiwa yang takkan pernah sampai kepadamu sebagai cerita. Padahal di antara 17 bulan itu ada beberapa hal yang seharusnya bisa membuatmu tersenyum. Eh salah, kau tak pernah melakukan itu, di depanku kau hanya akan berkelakar seolah itu hal yang sangat biasa. Remeh temeh yang nyaris tanpa harga. Yang hebatnya, kelakarmu pun tak membuat tersinggung sama sekali. Justru seperti pegas yang melentingkan objeknya untuk melompat mencapai sasaran. Aku sedih karena kau takkan seperti itu lagi.

Ada begitu banyak hal sebenarnya. Saking banyaknya, cerita seperti ikan tanpa air yang melompat-lompat. Untuk menghentikannya, eksekusi saja. Tapi pertama-tama, hal yang perlu kulakukan adalah mengubah sapaanmu menjadi pa. Karena menggunakan ‘ayah’ dan ‘mu’ merupakan hal yang tidak kita. Aku pikir bapa akan tertawa sendiri saat membaca sapaan yang mirip aristokrat kurang kerjaan, ‘ayah’ istilah dari belantara mana itu?

Pa, kehidupan memang berjalan baik-baik saja. Tapi sepi jadinya, rumah yang tanpa suara dan canda-tawa tercerabut habis, menjadi keseriusan yang semakin miris saat dibercandakan. Bapa harusnya tau, ibu dan aku adalah orang-orang nyaris kaku yang membutuhkan orang sepertimu, pembercanda nomer satu yang bisa mengubah luka sebagai ladang tawa. Dalam hal ini, aku pikir Gita agak mirip denganmu, sayang hanya dalam taraf ‘agak’ sehingga tak sepenuhnya terganti. Takkan pernah. Makanya aku tak suka pulang, dan buat apa? Bersama ibu, kami hanyalah dua orang yang bertangis-tangisan saat mengenangmu. Dan itu tidak lucu, sama sekali tak lucu, jika mengingat kejenakaan yang entah kenapa bijak juga, tapi dengan suasana mengharu biru. Mata berkaca-kaca dan ujung-ujungnya kangen yang obatnya cuma doa. Dua orang ini hanya akan menciptakan setting sinetron Indonesia yang penuh air mata, sedikit memalukan memang. Kau pasti takjub melihat kami mengenangmu demikian, pa.

Tapi di atas rasa malasku untuk pulang, rasa malas yang tumbuh bahkan sebelum kau tiada, aku merasa bersalah pada ibu. Aku sayang ibu, tapi sebagian diri ini juga Malin Kundang yang sering tak berniat pulang. Benar bahwa aku merindukan kampung halaman, tapi itu kampung halaman berpuluh tahun lalu. Sebelum Negara api menyerang dan semua elemen berada dalam equilibrium sama rata. Rasa-rasanya yang mengikatku pada tempat itu hanya ibu dan sarehanmu, pa.

Maaf karena aku domba kecil yang selalu terpana pada hijaunya rumput tetangga. Dan tentu saja, hujan emas di negeri orang lebih baik daripada hujan batu di negeri sendiri.

Baiklah, ini terlalu sensitif untuk dibicarakan. Lagi pula masa depan selalu tanda tanya, bisa jadi besok pagi aku terbangun dan jatuh cinta lagi sama Pesarean. Desaku yang kucinta, pujaan hatiku. Prettt… haha seharusnya memang aku ditendang dari tempat itu. Tempat yang dengan sendirinya malah… ah, sudah. Kenapa aku jadi tak nasionalis begini!

Eh, pa, sekarang aku sedang mendengarkan lagu Ebiet. Musisi favoritmu yang lagunya seperti sajak, stanzanya puitis dan suaranya sejernih elegi patah hati. Seleramu tinggi juga, pa. Tapi maaf, aku menyukai Ebiet bukan karenamu. Karena dia memang layak disukai. Lihat saja, musisi Indonesia manakah yang akan menulis lirik ini:

Gugusan hari-hari indah bersamamu…
Camelia,
Bangkitkan kembali, rinduku mengajakku ke sana
Ingin kuberlari, mengejar seribu bayangmu..
Camelia
Tak peduli kan kuterjang, biarpun harus kutembus
Padang ilalang

Tiba-tiba langkahku terhenti, sejuta tangan tlah menahanku
Ingin kumaki, mereka berkata…
Tak perlu kau berlari, mengejar mimpi yang tak pasti
Hari ini juga mimpi
Maka biarkan. . .
Ia datang… di hatimu

Ah, aku curiga jangan-jangan Ebiet ini tidak makan nasi saking puitisnya. Ia makan kata dan metafora. Aku jatuh cinta semenjak kau sering memutar lagunya pada pagi buta. Semenjak aku masih suka mencabuti ubanmu demi mendengar sepotong dongeng bahkan.

Lagi, Ebiet ini pandai sekali menyanyikan duka. Kau tau pa, dua hari selepas kepergianmu, aku menangis saat memutar Camelia IV. Lagu yang kau nyanyikan beriringkan gitar yang petikannya belum penuh dihapal. Ada lirik yang membuat jangtungku berhenti sejenak.

Kematian hanyalah tidur panjang, maka mimpi indahlah engkau…

Aku ingat dengan tepat, bagian ketika kau menceritakan Ebiet kehilangan Camelia, lalu dia menuliskan lagu berseri tentang puisi dan pelitanya yang telah meninggal itu.
Adakah kau di sana mengingatku? Mengingat dua puluh tahunku, 17 tahun adikku dan bertahun-tahunmu yang memberi begitu banyak makna pada kami.
.
.
.
Pa, aku hanya mau menurut kata Seno Gumira Ajidarma. Bahwa perpisahan sesungguhnya terjadi bila dua orang benar-benar saling melupakan. Dan keberadaan seseorang tidak ditentukan oleh eksistensinya, melainkan oleh sebuah makna dalam sekumparan kenangan.

Terakhir, aku ingin memberitakan, bahwa mulai bulan depan aku adalah mahasiswa tingkat akhir yang sedang bergelut dengan skripsi. Doakan aku, di horizon manapun kau berada. Bahwa meski bukan feminis, aku tangguh dengan caraku, dengan dua puluh tahun pendewasaan penuh cerita. Ingat dengan cermat, pa, aku akan terus menulis surat padamu. Agar rinduku abadi dalam kata dan doa. Selamat tidur panjang, tetaplah berbahagia dalam ketiadaanmu. Salam sayang.