UA-51566014-1 Catatan Harian: September 2014

Selasa, 30 September 2014

Mereka, Sekali Lagi.

            Saya merindukan mereka. Tak peduli lagi ini bertepuk sebelah tangan atau tidak haha. My KKN Team. Mereka orang-orang asing pertama yang membuat saya nyaman seketika. Aneh, hanya butuh 2 hari bagi saya untuk membatasi diri. Setelah sebelumnya membayangkan akan melewati satu bulan penuh basa-basi. Further, yang membuat saya bahagia adalah fakta bahwa ternyata saya memang professional. :D There’s no ‘cinlok’ ever. Not at all. Bahwa doktrin yang disuguhkan oleh dosen, senior dan kawan-kawan mengenai mitos KKN paling santer itu, secuil pun tidak merombak kontruksi kewajaran sebuah pertemanan. Memang, di sana saya bertemu orang-orang mengagumkan yang sudah keren semenjak tulang rusuk. Beberapa dari mereka merupakan pioneer jurusan, bahkan pula fakultas. Tapi dari mereka saya belajar, ini baru KKN, kalau yang masih satu atap saja sudah tergila-gila menuju gila betulan, bagaimana bisa objektif  terhadap kekerenan di luar sana. Saya percaya, mutiara sekali pun berada di dalam laut ia tetap mutiara yang berharga. Orang-orang yang diberi kemampuan olehNya untuk mengagumkan, adalah pelajaran sekaligus contoh bagi makhlukNya yang lain. #Ngelantur.

            Di KKN, perasaan yang terjalin adalah murni kekeluargaan. Sekalipun pernah ada masalah, segalanya tertutupi oleh simpul-simpul kenangan-kenangan kocak yang tak bisa dilupakan.

            Mengingat mereka, lalu dipaksa menyebutkan satu frase, maka yang akan keluar dari mulut saya adalah:

Terima Kasih.


            Terima kasih telah menarik saya dalam zona abu-abu yang membuat segalanya relatif. Sekaligus mutlak menyenangkan. Saya menyayangi kalian tanpa pretensi apapun. Semata-mata sayang. 


Senin, 22 September 2014

Untuk yang Butuh Digenapi Untuk Menjadi Definisi

            Selamat pagi, kamu yang selalu ada. Salam dari manusia penuh tanda tanya yang dengan sendiri tak pernah yakin pada kalimat-kalimat, pada janji sebelum benar terjadi, pada esensi yang masih diselimuti teka-teki.

Untukmu yang begitu kaku, beku dan lugu.

            Bisakah kamu melebur tanpa warna? Berhentilah bersuara dalam bahasa angka, please, jangan memburu seperti hantu atau peluru-peluru yang rindu untuk menghabisimu dalam eksistensi kami. Sehingga kita bisa tau, apa yang membuatmu begitu terhormat sekaligus angkuh mengkotak-kotakan entitas ke dalam absurditas malka.

Orang bilang kamu seperti pedang, layaknya uang, sebagaimana ilmu. Tapi dengan sendirinya membuktikan bahwa tak pernah ada yang tepat untuk memetakanmu.

Kamu berharga, aku tahu itu, selalu tahu. Sayangnya bagian mana darimu yang bisa setitik saja mengerti, kemudian sepakat untuk tidak sepakat bahwa bahagia itu sederhana. Mari sini, kita rinci bersama-sama. Bahwa katakanlah, bahagia memang sederhana. Tapi kamu membuatnya serumit benang kusut yang simpulnya sudah tak dapat dipastikan lagi. Sesekali, tanpa tanda kau membuat kami berada dalam kondisi yang dirasa sempurna, namun kali lain memaksanya untuk tak bisa diformulasi menjadi rencana. Hingga masing-masing hilang, dan sekali ini, kamu masih selalu ada. Entah sampai kapan.

            Segalanya menjadi meta dalam Terra Incognita. Apa itu “Carpe diem, quam minimum credula postero”! Cih. Cuma kamu yang bisa memaknai maknanya, kan? Memaknai makna. Memaknai makna. Sekalipun aku berada dalam infinitum bersama orang serupa, mengalami déjà vu, atau bahkan merasakan inkarnasi berkali-kali… tetap kamu yang bisa menarik premis postulat dalam sebuah riwayat. Memecahnya jadi ceceran aksioma yang harus digali tanpa apa.

Hey, kamu yang sangat semena-mena dan ambigu… orang bilang namamu WAKTU. Betul begitu?




Sabtu, 20 September 2014

September Course


Ini September kedua, sejak setahun lalu saya bertanya dan dengan utopis mengharap jawaban dari siapapun yang bisa menjawab. “Sebenarnya hidup itu apa sih?”
            Manusia adalah makhluk yang unik. Barangkali kita memang satu-satunya makhluk Tuhan yang diberi kesempatan untuk berdualisme dalam satu bentuk. Descartes mengatakan bahwa ‘seorang’ manusia, ditopang oleh dua hal dalam dirinya yakni pikiran dan fisik. Betapa pun ia meyakini sesuatu sebagai kebenaran, logikanya tidak tahan untuk tidak bertanya mengenai keberadaan dirinya atau setidaknya bertanya mengapa dia harus ada. Pertanyaan transenden itu yang menjadi dasar filsafat eksistensialisme, walaupun Descartes sendiri menyadari: berpikir tidak membawa seseorang pada kebenaran bahkan bisa jadi menyesatkan.
            September kedua ini, setelah kehilangan (lagi) orang dekat, saya jadi ingin mengamini pendapat (entah siapa lupa) bahwa keberadaan seseorang tidak ditentukan oleh kehadirannya secara fisik saja. Seringnya, orang yang dianggap sudah tak ada justru memiliki makna berarti bagi kehidupan seseorang. Atau kepergiannya justru membuat dia semakin eksis. Meski di satu sisi, eksis adalah satu hal yang simpel dan singkat sebagaimana ia timbul. Kita bisa saja menangis guling-guling hari ini, lalu esok hari bisa melupakan objek tangisan itu hanya karena sesuatu sesederahana flu. Hanya yang memiliki memori dan perasaan mutual saja yang akan melanggengkan sebuah eksistensi.
            Perasaan mutual itulah yang pada akhirnya mengikat seseorang dengan orang lainnya. Ia abadi (tentu saja dalam versi phisicly) sebagai kenangan yang membuat sebuah nama terus hidup dalam ingatan. Dulu saya ingat pernah jalan dengan seorang teman, hari ini dia sudah tidak ada, saya
jadi berpikir jangan-jangan suatu saat akan ada yg mengingat saya sebagai kenangan belaka. Dan saya yang sudah pergi entah ke dunia macam apa, mungkin akan menganggap ‘hidup’ sebagai masa lalu yang kendati lekat namun begitu rapuh dan tak mungkin lagi disentuh. Seperti album-album lawas dalam bingkai, ia akan berada di tempatnya sebagai sejarah yang tak terjamah.
            Orang datang dan pergi, menciptakan interaksi dan kenangan, lalu suatu saat ia hilang adalah hal biasa. Yang selalu ada hanya waktu, kan? Waktu yang (menurut kepercayaan saya) suatu saat akan luruh juga. Kita yang sekarang ‘ada’, bisa merangkai cerita, bisa tau hari dan tanggal, bisa makan bahkan bisa saling mencinta atau benci, pada hakikatnya merasa berhak menyebut dirinya hidup karena menempati bentuk fisik tertentu. Tanpa kita sadar, kecuali waktu, semuanya akan berada pada kondisi yang sama sebagai nous.
            Ngomong-ngomong soal nous, apakah kita tidak boleh menyebut mereka hidup hanya karena tidak mengerti yang sedang mereka jalani itu ‘kehidupan’ macam mana? Saya sih sering merasa, jangan-jangan mereka yang di sana bilang begini:
            “Puas-puas o ndes, urip o kono. Suk mben nek wes dadi aku rak nduwe kesempatan, nyesel kowe.”
            Sepertinya kita yang terlalu sibuk tumbuh menjadi ‘orang’, lupa bahwa kepastian paling pasti dalam hidup adalah mati. Bahkan mati pun bukan titik henti, apabila kita percaya manusia itu dualisme dari fisik & pikiran, tubuh & jiwa, tindakan & perasaan. Apakah setelah melewati gerbang bernama mati, jiwa kita tidak mengalami apa-apa? yakin? Atau jangan-jangan kita terlalu takut mengingat mati sehingga lebih memilih buta saja.
            Sementara ini yang eksis hanya waktu.
            Lalu apakah masa depan itu? Apakah bertahun-tahun lagi setelah kita menua dan menjadi puritan dengan sendirinya?
 Bisa ya, bisa tidak. Kalau kita lepas dari realitas fisik, maka masa depan kita adalah kehidupan yang disekat-sekat oleh batas. Batas itu berupa besok, tahun depan, kehidupan setelah ini atau apapun. Menurut saya pribadi, masa depan adalah apa yang dialami jiwa kita setelah ini.
Oia, pernah baca novel Supernova karya Dee? Kalau sudah berarti masa dewasa awal anda biasa saja, kalau belum ya belilah sana. Novel itu bukan hanya keren dari segi sastra, tapi juga esensinya. Ia adalah manifestasi filsafat pengarangnya yang mampu menginfeksi pikiran pembaca tentang bagaimana menimbang hidup dari sisi lain. Hidup ini banyak rasa, kata salah satu iklan, maka kita perlu melihat simpul-simpulnya untuk bisa menarik hipotesa. Benar kata Sherina, lihat segalanya lebih dekat dan kau akan mengerti. Hidup adalah semesta kemungkinan yang membuat bermacam-macam hal di dalamnya menjadi relatif.
Kembali ke topik, dalam novel itu pengarang mengajak pembaca untuk membuka mata, Hey ini loh kita punya pikiran. Pikiran itu jangan hanya dibuat menghitung satu tambah satu sama dengan dua atau anggota triple setelah tiga dan empat adalah lima, tetapi coba buka seluas-luasnya. Tuhan itu Maha Cerdas, ia menciptakan segala sesuatu dengan seimbang, hitam-putih, langit-bumi, laki-laki-perempuan, mikrokosmos-makrokosmos. Yap, akhirnya sampai pada istilah itu, mikrokosmos dan makrokosmos.
            Masih berdasarkan novel itu, taruhlah alam semesta adalah makrokosmos, manusia sendiri adalah mikrokosmos. Sebagai bagian dari mikrokosmos, tentunya kita merupakan replika itu sendiri, dengan kata lain bisa mengeksplore lebih dalam untuk mengerti lebih jauh. Kesadaran itu akan membuat kita jadi lain, maksudnya, memperlakukan sesuatu bukan dari sudut pandang diri sendiri. Kita tahu sama tahu, sangat banyak spesies makhlukNya yang tinggal di bumi. Maka, merupakan kebrengsekan tingkat dewa apabila melakukan sesuatu tanpa menimbang baik-buruknya bagi orang lain.
            Sebenarnya saya membaca novel itu sudah sekitar setahunan yang lalu, jadi lupa-lupa ingat. Intinya, berkat membaca novel sejenis itu saya jadi merasa bukan apa-apa sekaligus sangat apa-apa dalam berbagai waktu. Ruang dan waktu itu sesuatu yang relatif juga. Orang datang dan pergi sesuka kehendakNya, karena saya percaya, tidak ada yang namanya kebetulan di muka bumi ini. Bahkan perkara seringan daun jatuh pun telah ditimbang olehNya. Hanya saja, untuk menghindari kemelekatan, disarankan tidak mencintai atau membenci apapun terlalu dalam. Benci itu sesuatu yang melelahkan, sementara Cinta adalah sesuatu yang melelahkan berlipat-lipat. Bagaimana tidak melelahkan, kalau kita benar-benar mencintai seseorang, maka kita akan merasa menanggung beban dua kali lipat dari apa yang kita cintai rasakan. Dia sakit kita yang sedih, dia putus asa kita yang bingung setengah mati, dia meninggal? Menyaksikan orang yang kamu cintai meninggal, jika belum pernah maka bersiaplah saja. Atau persiapkan orang yang kamu cintai untuk ikhlas ditinggal kapan saja.

            Ngomong-ngomong soal cinta, saya jadi merindukan hari tanpa tanggal, bulan tanpa nama dan waktu tanpa jeda untuk berkumpul bersama orang-orang tercinta. Hanya ada kita. Tanpa waktu, tanpa pembatas bilangan dunia. Kapan ya?

Kamis, 11 September 2014

Menuju padaNyalah engkau dengan tenang.

Tegal, 12 September 2014

            Kawan, hidup begitu seperti ini ya. Memintamu, meminta kita menjalani apa yang tak terbayangkan sebelumnya. Lalu suatu pagi kau membangunkanku lewat orang lain, lewat berita-berita yang tercecer seperti darah dari luka menganga, lewat tanya yang menderu.. sementara aku tak pernah punya cukup peluru untuk menjawab tentangmu. Aku tak memiliki cukup nyali untuk meyakinkan diri sendiri, bahwa kau memenuhi panggilanNya dengan sebuah cerita yang siapapun tau itu duka.

            Setelah hari itu, antara kita akan berlalu seperti waktu. Seperti ilusi yang ditinggal pergi penciptanya. Seperti ladang yang telah menumbuhkan demikian banyak buah, tapi tak lagi dikenang sebagai rumah. Kemudian hari-hari yang kita lalui bersama hanyalah angka, hanyalah cerita yang pada akhirnya usang hingga mati sama sekali.

            8 September 2014, mana aku tau kalau itu pertemuan terakhir kita? Mana aku tau kalau sejatinya kita telah begitu asing dengan hari yang akan datang. Dengan esok hari yang kemudian menjabat tanganmu sebagai korban suatu tindak kriminal. Dan yang lebih membuatku tidak menyangka, kau pergi tanpa meninggalkan tanda yang bisa kubaca sama sekali. Lantas, di hari yang begitu sepi ini.. masih layakkah aku menyebut diri sebagai sahabatmu? Setelah apa yang terlewat bahkan tak menyisakan kepantasan bagiku untuk sekadar disebut ‘teman’.

            Aku masih menyimpan senyum terakhirmu, saat aku meneriakkan namamu dari seberang kursi kuliah, sementara kau hanya menengok untuk berekspresi sekedarnya yang bila dideskripsikan dalam bentuk kalimat adalah:

            “Opo toh?!”

          Ya, hanya sesederhana itu. Tapi senyum tersebut lantas menjadi bagian paling giris jika diingat.

            Aku masih pada tempatku sebagai orang yang susah menangis. Tapi kawan, taukah kau bahwa yang tak bisa kukeluarkan lewat mata sejatinya lebih mengganjal di dada, seperti bebatuan yang dilesakkan paksa.. berat dan tak bisa kulepas satu persatu lewat ekspresi. Kau tak tau rasanya, membaca namamu dari suatu Koran yang menjadikan kejadian semacam itu sebagai makanan, adalah sembilu yang berkali-kali memaksaku berhenti dan menyebutNya karena melihat bahwa itu memang benar-benar kau. Beberapa teman yang lainnya malah menangis, ada pula yang sampai bolak-balik ke kamar mandi entah karena shock atau apa.

            Aku yakin, pada bagian ini… jika saja kau masih sempat membacanya, kau akan tertawa, meledek atau mengataiku sebagai orang yang mellow plus alay. Tapi, aku tidak ingin mengulang berita-berita tak berprikemanusiaan tentangmu, tidak ingin segala sedih hanya berujung pada status dan cerita saja.. Aku, dengan segenap ke-bukan-siapa2an-ku, ingin tetap menjadi sahabat yang semestinya. Yang memohonkan pada Tuhan kita agar kau senantiasa diberi tempat terbaik. Ikhlaslah kawan, seperti ikhlasnya embun pagi yang dihapus mentari.. biarlah dia yang menjadi jalanmu pergi lewat titik nadir menemui perhitungannya. Ada Yang Maha Adil yang akan menghitungkannya untukmu. Aku tau dan (mungkin) kau juga mengerti, tangis bukanlah sesuatu yang penting… dan seseorang tidak akan benar-benar pergi jika masih ada yang menyimpan namanya dalam hati.

Hai jiwa yang tenang.  Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku. (QS Al-Fajr 27-30)

Wahai makhluk kecil, kembalilah dari tiada ke tiada, berbahagialah dalam ketiadanmu.