UA-51566014-1 Catatan Harian: Agustus 2014

Sabtu, 23 Agustus 2014

Akan tiba suatu masa ketika pada akhirnya kita bingung mau apa. Bagi saya, inilah waktu itu..

Setelah menjalani 3 minggu bersama mereka, karakter yang tadinya abu-abu di mata saya mulai bermunculan. Their true colour comes up. Tentu saja sebagai orang yang sama-sama mencari ilmu (red: nilai juga), KKN adalah rentetan lorong yang rasanya tidak habis-habis dijelajahi. Sangking panjangnya, kita lelah mengejar pintu terakhir dan memilih bergabung dengan penumpang di sepanjang jalan itu.

Mata kuliah ini seperti shock therapy di tengah kebosanan terhadap kehidupan akademik dan organisasi. Semua begitu semu sebagai ilmu, di sisi lain terlalu kaku untuk disebut mata kuliah. Bagaimana tidak, di kehidupan akademik mana yang ada pelajaran menyalakan tungku.. Atau mempresentasikan tingkat kesopanan di hadapan para warga. Apalagi SKS yang isinya seni mendalami karakter.

Mau tidak mau, kita dipaksa untuk tau bahwa sabda yang keluar dari mulut para dosen, pada kenyataannya cuma membantu seujung kuku. Dan hepotesis yang timbul dari buku-buku, bisa dibilang pemanis paling pahit dalam menjalankan 30 hari di sini. Bukan bermaksud sok atau apa, tapi segala sesuatunya benar-benar senjang. Banyak sekali antithesis yang membukti bahwa duduk 15 tahun di bangku pendidikan sama sekali bukan jaminan kecakapan. Ada sejumlah faktor X yang kalau dirinci satu-satu sudah seperti jerapah kebanyakan kalsium, Panjang.

Di sini juga, lagi-lagi saya harus menjawab pertanyaan paling muskil sepanjang hidup,
Pertanyaan itu adalah:

“Kenapa kamu ambil jurusan sastra Indonesia? Nanti kerjanya apa? Kuliahnya bagaimana?”

Jujur saja, orang yang mengajukan pertanyaan itu sesungguhnya tidak mengetahui perasaan yang ditanyai. Tipe2 yang kalau di kampung saya sudah meneriakkan ini di belakang punggung:

Pegawean Loyang!

Mereka masih satu tipe dg tante dan saudara2 di rumah yang menganggap bahwa jurusan paling gemilang di muka bumi ini hanya ada 3. Kalau bukan Kedokteran, Teknik ya Ekonomi.

Padahal kalau semua orang berpikir jadi dokter, siapa yang akan membuat bacaan bermutu untuk anak-anak. Kalau seluruh penduduk Indonesia adalah Teknisi, siapa yang bisa mendidik karakter muda-mudinya dengan asupan seni yang bergizi. Dan Kalau semua jadi ekonom, siapa yang melanjutkan tradisi bercerita dengan bahasa sederhana tapi bermakna? Siapa?

Tapi ya ngga pa2 sih, toh, saya mengambil jurusan ini karena renjana. Karena otak saya terlalu terbatas untuk memvisualisasikan bagaimana rasanya kerja di bidang yang tidak disukai. Lagian guru matematika privat saya pernah bilang, “Pelajari satu bidang yang kamu sukai. Tekuni, jadikan itu sebagai profesi. Maka kamu tidak akan pernah merasa bekerja, tapi berbahagia.”

Back to KKN

Sampai detik ini aku bersyukur karena tidak jadi revisi krs pada maret 2014, karena tidak jadi menyesali apa yang harusnya aku syukuri. Setiap saat adalah saat yang berkualitas. Betapapun muaknya, bagaimanapun jerinya, seberapa pun kerjaan datang bertubi-tubi.. Segalanya terasa manis dan pas bila dipandang dari sisi yang tepat. Bahkan kalau ini mata kuliah sunah (red: pilihan) pun akan tetap saya ambil. Berkat KKN saya jadi tau bahwa laki-laki adalah makhluk yang kalau habis makan piringnya tidak pernah dicuci. Tidak bisa nyetrika dengan rapi, bahkan sekadar basa-basi dengan tetua pun pake acara dorong2an dulu. Intinya, umur 20an masih tahap belajar dan belum bisa diandalkan dalam urusan rumah tangga.

Tapi ya nggak papa sih, toh, masih 20an juga. Waktu di mana seseorang belajar keras, lalu mengambil keputusan yang tepat atau justru membuat kesalahan besar.

Saya berterimakasih kepada Undip yang sudah mewajibkan pengais ilmunya menetap di desa terpencil. Kata Rosulullah menuntut ilmu itu sampai negeri Cina. Temanggung masih belum Cina, tapi bisa dibilang berharga untuk diingat.

Di sini saya merasa tinggal di Pesarean th 90an. Tapi yang keren adalah organisasi pemudanya sangat hidup, banyak kegiatan masyarakat juga, sehingga walaupun penghuninya berpencar ke mana-mana, mereka akan selalu punya atap untuk pulang. Pesarean, apa kabar?

And well, God always has a way to insert a sense of happiness…

Entah itu dalam bentuk rasa, persahabatan, teman, hubungan, pengalaman tak terlupakan dan juga seseorang J


Sabtu, 09 Agustus 2014

Dini hari Minggu, 10 Agustus 2014

Suatu sore ketika tim yang mulai hangat menjelang panas ngobrol tentang LDR

A : Eh, LDR tuh gampang tau.
B : Ah apa enaknya jauhan.
A : LDR beda kota, beda benua itu gampang.
     Yang susah LDR beda tempat ibadah.
B: Ya nggaklah, paling susah itu LDR beda Alam.

di salah satu sudut saya cuma bisa berujar dalam hati, 'berarti bapak dan ibukku dong'.

Dalam suatu rapat Karang Taruna

Bpk Kadus : Mbak, kulo lak kesupen lagu nasional sing enten pemuda-pemudine niku.
Kami          : Sing kados pundi pak?
Bpk Kadus : Nggih duko. Cobi dipadosaken lirike.
Kami          : Nggih mangke tak takenaken mbah'e 
Bpk Kadus : Lah mbahe daleme teng pundi to?
Kami          : Lak nggih caket..

Padahal dalam hati bilang, "mbah Google pak maksude."

Rabu, 06 Agustus 2014

Kaloran, 7 Agustus 2014
           
Waktu menunjukkan pukul 08.25 WIB ketika saya menulis ini. Sudah siang, malah terlalu siang untuk berbasa-basi dengan rasa malas yang hadir setiap fajar menjelang. Tapi ini temanggung, tepatnya di Desa Geblog Kecamatan Kaloran, tempat dimana matahari selalu menampakkan rupa yang nyaris sama, dan kabut senang sekali mengintervensi suasana sehingga pukul 9 pun terasa jam setengah 7 di Semarang. Apalagi hawa dingin masih berderak di lantai-lantai yang kami injak, membuat segalanya terasa pas untuk kembali menggulung diri di balik selimut yang sempat direnggut kewajiban menghadap.

            There’s no grow in comfort zone and there’s no comfort in growth zone. I have to leave my comfort zone to grow.

Kata-kata yang saya baca dari salah satu buku itu lagi-lagi membuat sadar, segala sesuatu memiliki syarat tersembunyi. Pengembangan misalnya. Jika kita ingin terus menjadi individu yang baru dan kaya pengalaman, kita harus siap ditantang ketidaknyaman yang hadir dalam zona baru. Orang Jawa bilang ‘Jer basuki mawa bea’, bahasa indonesianya jika kita menginginkan sesuatu maka harus siap mengorbankan sesuatu pula, analogi dan implikatur bahasa inggrisnya ya seperti di atas itu.

Ngomong-ngomong soal ketidaknyamanan, di sini sangat tidak nyaman. Ada semacam cultural shock, juga berbagai adaptasi yang harus dijalani, baik dengan lingkungan, teman dan alam. Seperti sudah saya sebutkan tadi, temanggung memiliki zona langit yang tidak konvensional. Subuh saja rasanya masih seperti tengah malam, dan dinginnya ituuu… sungguh tidak mufakat bagi orang-orang pantura. Jangankan  mandi sehabis subuh, wudhu saja sudah bikin gigi gemelutuk. Setelah sempat merasakan dingin yang serupa di Bantir, untuk pertama kali sejak 2 tahun lalu, saya kembali merasakan dingin yang sampai bikin pegel. ‘Dingin menusuk tulang’, rasanya sudah bukan idiom lagi.

Ketidaknyamanan lainnya adalah…. Banyak! Salah satunya harus memakai jilbab kemanapun, bahkan kamar mandi. Ya karena di sini kami tinggal serumah dengan komposisi 2 cowok 4 cewek. Setiap selesai keramas harus pakai hair drier, meski saya tau itu menyakiti rambut. Di sini saya sulit mendapatkan vitamin D karena tidak ada ruang terbuka yang aman. Sudah begitu mandi harus selalu antri. Tapi ya mau bagaimana lagi.

Dan tidak nyaman bukan berarti tanpa pelajaran.

Keuntungan berada di Temanggung juga tidak kalah banyak. And I don’t want to deny the favors of God.

Pemandangan di sini itu luar biasa. Maklum, setelah 21 tahun melihat sawah dan 3 tahun melihat jalan raya tiap keluar rumah, melihat gunung tepat di samping rumah itu sungguh sangat langka. Rasanya seperti jatuh cinta pada pandangan pertama. Kita kagum, kita suka dan kita ingin selalu melihatnya, tapi sekaligus tidak memiliki deskripsi yang tepat untuk membahasakan kekaguman. Subhanallah 100X pun rasanya masih jauh dari cukup. Dengan ini saya jadi tau kenapa orang yang sudah mendaki selalu ketagihan untuk kembali.

Di sini saya melakukan segala sesuatu serba terjadwal. Makan, mandi, sarapan dan terutama sholatnya sejauh ini selalu berjamaah. Alhamdulillah, walaupun satu tim ada yang non-islam, toleransinya sudah tegangan tinggi.
.
.
.
.

Saya jadi sadar, bahwa kuliah memang gerbang dari banyak sekali keterkejutan dan pelajaran. Setiap semester beda tantangannya. Di Semester 6 kali ini, KKN adalah bintang utama yang (semoga) luar biasa. Apapun yang didapat di dalamnya lebih dari sekedar mata kuliah, makanya tidak cocok kalau hanya diberi bobot 3 SKS dan dinilai dalam bentuk A serta kroni-kroninya.

Jumat, 01 Agustus 2014

Pintu Kemana Saja



Belakangan ini saya cepat sekali bosan. Pada pagi, siang, sore dan malam yang sama. Sama-sama nyaman dan tentram. Namun, ketika sendiri, saya sadar bahwa kenyaman selalu menghayutkan waktu seseorang pada suatu kemandekan, membuatnya merasa bahagia itu memang sederhana tapi mahal harganya, hingga di ujung kebahagian tersebut waktu kembali menyadarkan tentang apa-apa yang belum terlaksana.

Setiap kali liburan nyaris berakhir. . .saya hampir selalu menyesal. Entah, menyesali perjumpaan serta kebersamaan yang terlalu sebentar. Atau justru menyesali kenapa liburan datang dalam porsi yang membingungkan: sebentar tapi bermakna, lama tapi biasa saja. Dan lantaran saya mengalami yang pertama, maka segalanya terasa tak berjeda, beruntun laksana kereta api dengan gerbong silaturahmi  wajah lama yang masing-masing dari mereka menyimpan cerita di memori saya.

ada rasa malas yang berjelaga dan mengganggu pikiran, menderu seperti peluru untuk menghalalkan keluhan pada tempat yang sejatinya tak pernah memberi rasa aman. Bahkan tidak untuk tidur berkualitas yang seharusnya menjadi hak semua orang. Sayangnya, toh, saya terlanjur nyaman dengan tempat itu. And I wanna be a strong wall in the hard place.

Sungguh, di dunia ini, satu-satunya benda yang paling saya inginkan adalah ‘pintu ke mana saja’. Konyol memang, bahkan sama sekali tak memiliki setitik pun alasan baginya untuk disebut logis. Namun, andai selalu memiliki jalannya untuk membuat orang terpukau. Karena namanya saja andai, jadi dia harus berada pada tempatnya sebagai pengobat utopia yang menawarkan fatamorgana.

Saya ingin berandai-andai memiliki benda itu, sekali ini saja.

Kalau saya punya pintu ke mana saja: kehidupan takkan pernah memberi kebosanan spasial, yang ada hanyalah penjelajahan yang meruang dalam setiap waktu luang. Saya ingin mendaki sumbing dan sindhoro yang kemarin-kemarin hanya mampu dilewati, duduk menatap sunrise di puncak selamet -yang 21 tahun hidup satu kabupaten- tapi hanya mewujud dalam bentuk verbal sebagai gunung. I wanna go to the land four seasons, as long as possible. Setidaknya bisa merasai dingin yang standar internasional atau musim di mana bunga-bunga tumbuh bermekaran lebih cantik dari definisi cantik itu sendiri. Terutama Edelweis, yang baru sempat saya lihat dalam bentuk layu karena turun dari asalnya ke Semarang.

Saya mau ke Edenham dan Edensore, dua tempat berdampingan yang keindahannya baru saya lihat dalam bentuk kata-kata. Mau mendengar sendiri bahasa perancis yang sengau, native speaker yang berbicara bahasa inggris seperti orang selesma, juga ingin tau aksen british itu bagaimana –kata teman saya inggris amerika yang sering di pakai dimana-mana itu kurang estetis dan tidak begitu sopan.

Masih dalam rangka mengkhayal, dengan pintu ke mana saja, saya ingin ke alam kubur. Jenguk bapak dan saudara yang lebih dulu menghadap. Jujur saja, kerinduan pada mereka sudah demikian gigantik. Meski heran juga, kenapa saya bisa begitu merindukan padahal jarak kami jelas-jelas tak tertempuh oleh apapun kecuali harus melewati gerbang bernama mati, kecuali lagi… ya dengan pintu ke mana saja. Mungkin dengan itu saya bisa insaf untuk tidak lagi mengkhayal seperti ini.

Kehidupan ini akan jadi petualangan tak terpetakan, jika dan hanya jika, ada pintu ke mana saja. Namun bisa jadi saya tak pernah benar-benar hidup karena tak tau harga jarak, dan proses bermakna menuju tempat-tempat tadi.

Entahlah, saya juga masih ingin percaya, God’s plan is always more beautiful than our desire.