UA-51566014-1 Catatan Harian: Mei 2014

Rabu, 21 Mei 2014

Bali dan Sekelumit Tentangnya

            “Di dalam hidup ini kita sering menginginkan peran orang lain. Kita selalu merasa dengan menjadi orang lain kehidupan jadi lebih mudah. Nyatanya? Bermimpi untk menjadi orang lain justru membuat kita semakin menyulitkan diri kita dan membenci peran yang kita mainkan, yang sudah jadi hak kita. Kita tidak bisa menukar peran.” (Rusmini, 2007:13
            Sebenarnya kutipan di atas kurang relevan dengan apa yang akan saya bahas. Kalau ada, mungkin sebatas Semarang – Tegal. Jauh maksudnya. Karena sebentar lagi KKL dan kebetulan nemu novel yang mengangkat Bali bersama budaya patriaki yang dalam batas-batas tertentu sangat matrilineal, saya jadi tertarik menuliskannya sebagai upaya melawan lupa. Selain biar bisa berbagi sedikit, juga mengekalkan memori dalam bentuk catatan. Konon katanya, berbagi tidak akan mengurangi apa yang sudah kita miliki. Malah seseorang bisa semakin kaya dengan berbagi.
            Bali merupakan pulau kecil di Indonesia (kalau di peta terletak di sebelah timur pulau Jawa), yang termasuk objek wisata kelas dunia. Pulau yang juga disebut pulau dewata ini masih kental dengan adat leluhur. Beberapa yang diturunkan secara estafet itu antara lain: sistem kasta, upacara dan tari-tarian. Adapula bermacam-macam istilah yang asing di telinga tapi maknanya familiar, kalau diteliti melalui LHK (Linguistik Historis Komparatif) maka baru bisa dillihat akar bahasanya. Secara kasat mata, kita bisa melihat bahwa Bali yang mayoritas beragama Hindu itu berkiblat pada India. Nama-nama yang disematkan oleh orang tua pada anaknya pun hampir mirip. Seperti Sagra, Sadri, Sarma, Kenten dan lain-lain.
·         Sistem Penamaan
Tentu kita sudah tahu bahwa dalam agama Hindu terdapat tiga kasta: Brahmana, Kesatria, Sudra. Sebenarnya ada satu lagi bernama Paria, tapi entah kenapa jarang sekali disebutkan. Mungkin karena dianggap sangat hina atau dalam bahasa kasarnya orang non-kasta. Sistem penamaan ini tidak seperti Binomial Nomen Klaktur (bener gak tulisannya?) dalam pelajaran-pelajaran IPA, sistem penamaan masyarakat Bali punya aturan sendiri dan sangat menentukan alur hidup seseorang.
1.      Kasta Brahmana
Ini adalah yang tertinggi dalam dunia perkastaan. Tempatnya orang-orang di dewakan bahkan tidak jarang dikultuskan karena dianggap kesayangan Dewa. Saking tingginya, masyarakat Hindu percaya bahwa manusia Brahmana ibarat matahari yang dipinjamkan para Dewa untuk menyinari dunia.
Nama untuk brahmana putra adalah Ida Bagus, sedangkan untuk putri adalah Ida Ayu. Seorang Ida Bagus hanya boleh menikah dengan Ida Ayu. Anak yang lahir dari keduanya akan diperlakukan sangat terhormat karena memiliki karat kebangsawanan yang tinggi. Tapi dalam beberapa kasus pelanggaran, apabila seorang pria Brahmana menikahi perempuan berkasta di bawahnya, maka si perempuan harus menjalani upacara tertentu untuk menjadi Brahmana. Pastinya juga si perempuan itu harus berganti nama yang berbau Brahmana pula. Kebanyakan berganti menjadi ‘Jero’ siapa gitu. Tapi sebagai Brahmana jadi-jadian (bukan Brahmana murni), seorang Kesatria/Sudra yang mengalami mobilitas kasta akan tetap dipandang rendah oleh Brahmana murni. Yah semacam strata di dalam strata. Bahkan kelak ketika melahirkan anak, perempuan itu tak boleh bersikap sembarangan pada buah hatinya. Sembarangan di sini dalam artian harus menghormati, tidak boleh menyentuh rambut, tidak boleh menghardik bahkan yang ekstrim tidak boleh minum/makan dari wadah yang sama. Pasti ini menyiksa sekali, bagaimana mungkin seorang ibu harus mengasingkan anaknya dalam dunia bangsawan yang tak bisa di sentuhnya. Tapi inilah harga yang harus dibayar. Walau bagaimanapun, lancang naik kasta adalah pelanggaran terhadap adat. Dan perempuan seperti itu akan dikucilkan dalam pergaulan para Brahmana.
Di sisi lain Brahmana baru tersebut tetap dianggap Brahmana oleh keluarga lamanya. Otomatis ia tidak boleh sembarangan berinteraksi dan mengunjungi kerabatnya. Budaya yang demikian ini melarang Brahmana berinteraksi bebas dengan kasta dibawahnya karena dianggap tidak etis. Bahkan dalam kasus terjepit seperti kematian pun orang Brahmana baru tidak boleh menyentuh orang tuanya yang meninggal. Dalam acara ngaben[1] Ia hanya boleh berada di tempat tinggi yang dihormati sebagai Penonton. Ya, Penonton. Sekali lagi biar dramatis, PENONTON. Bayangkan, betapa sedihnya seorang anak yang tak bisa menyentuh wajah orang tuanya untuk terakhir kali. Saya sih tidak mau dan tidak ingin membayangkan.
Lalu bagaimana jika yang naik kasta adalah seorang pria? Jika pria dari kasta lain ingin menikahi perempuan Brahmana, maka definisinya adalah dibeli. Jadi si perempuan yang melamar laki-laki. Dan si pria harus menjalani upacara Nyentanain[2]. Pria ybs dalam keluarga nantinya akan dianggap sebagai perempuan. Tidak hanya kehilangan hak memimpin saja, ia bahkan kehilangan hak bicara atau menyampaikan pendapat. Keputusan apapun akan menjadi otoritas pihak perempuan. Perkara perempuan mau mendengarkan pendapat suaminya atau tidak itu terserah. Dinamika menarik inilah yang terkadang dijadikan tema novel-novel atau film-film berlatar Bali. Makanya saya menyertakan kutipan yang sedikit tidak nyambung tadi. Tidak dipungkiri, budaya berstrata yang menghalalkan untuk memandang rendah orang, membuat mereka yang berada di bawah berusaha naik tangga agar bisa diperlakukan manusiawi. Sementara orang Brahmana yang turun kasta lebih sering karena terjerat cinta. Banyak yang menginginkan peran orang lain hanya karena ia seorang Ida Ayu atau semata-mata Ni Luh.
Oia, Rumah tinggal seorang Brahmana disebut Griya.

2.      Kasta Kesatria
Hubungan kestria dan Brahmana agak sulit dijelaskan. Ada semacam rasa rikuh di antara dua kasta ini. Secara materil dan sosial, orang-orang kesatria lebih makmur dari Brahmana. Secara mereka keturunan raja, kalau di Jawa darah biru istilahnya. Tapi Bali juga melegalkan kasta Brahmana sebagai bangsawan yang patut di hormati.
Kalau di Mahabharata dan Ramayana sih orang-orang Brahmana dibayar raja untuk menjadi mentor atau penasihat mereka. Misalnya resi, Begawan dan pujangga. Mereka saling menghormati satu sama lain, Brahmana menghormati ksatria karena mereka keturunan raja, dan kestria menghormati Brahmana karena mereka adalah pemberi ilmu.
Nama bagi kasta kesatria kebanyakan adalah I gusti. Tempat tinggal mereka disebut Puri.
3.      Kasta Sudra
Kasta sudra adalah kasta yang terendah. Mereka biasa menggunakan nama Putu, Wayan dan Luh. Mereka yang menikah dengan kasta-kasta di atasnya harus beradaptasi, di satu sisi juga tetap dianggap rendah. Karena walau bagaimanapun kelahiranlah yang menentukan apakah seseorang akan diperlakukan sebagai sudra, kesatria atau Brahman. Bagi orang-orang yang lancang memobilisasi status mereka akan dianggap sebagai pembawa sial dan mengalami kesulitan-kesulitan.

Itulah sedikit tentang kasta. Bisa dibilang Bali masih bersifat feodal, bagi orang-orang pribumi yang ortodok, merupakan suatu kesulitan tersendiri menerima perpindahan kasta dan terkadang menyulitkan ybs. Tapi tidak tau dengan Bali 2014, mungkin dengan terbukanya kran globalisasi, hal semacam ini sudah bukan masalah besar.

·         Istilah-istilah
Karena saya bukan orang Bali, anda juga mungkin bukan, ada beberapa istilah penting yang sebenarnya biasa saja tapi maknanya tidak kita ketahui.
                                    -Meme             : Ibu
                                    -Tugeg             : Panggilan untuk anak Brahmana
                                    -Tiang              : Saya
                                    -Tuniang          : Nenek
                                    -Bli                  : Mas
                                    -Ratu               : Panggilan untuk menghormati pria brahmana
                                    -Dayu              : Singkatan dari Ida Ayu

                        Demikianlah sekelumit tentang Bali. Terimakasih sudah membaca J





[1] Membakar mayat
[2] Kawin dengan perempuan yang telah dijadikan sentana (ahli waris). Dalam hal ini perempuan yang meminta laki-laki. Karena peraturan adat dibalikkan, maka pihak perempuan jadi pria, pihak laki-laki sebagai perempuan.

Selasa, 20 Mei 2014

My GSG 13


“Merantaulah, kau akan mendapat ganti teman dan saudara.”


            Kalimat imam Syafii itu ternyata mutlak benar. Merantau membuat kita bertemu suasana baru, wajah-wajah baru, yang pada gilirannya menjadi teman bahkan saudara. Karena tidak mungkin mendapat ganti orang tua, ‘saudara’ yang lebih fleksibel maknanya akan kita temukan di mana-mana jika sanggup beradaptasi. Cara kita membawa diri, menyesuaikan sikap dan memperlakukan selaras dengan karakteristik masing-masing akan menjadi faktor penentu. Jika sudah beradaptasi dengan baik, maka kosan terasa rumah yang hangat dan dipenuhi canda-tawa.

            Waktu pertama-tama merantau, seringkali kalimat ini keluar dari mulut saya: “kapan ya kehidupan kembali normal seperti sediakala?!”

            Di kos pertama hanya ada seorang kawan yang nyangkol di hati. Itupun mahasiswi semester akhir yang tinggal menghitung bulan untuk pergi. Walhasil keakraban kita hanya berkisar hitungan jari. Tapi uniknya, mbak kos yang satu itu dari jurusan matematika dan bernama “Atun”. Sungguh suatu kebetulan yang membuatku nyaman. Perpaduan antara bapak dan ibu yang gemar menasihati dengan kata-kata lembut.

            Menjelang semester dua, kelulusannya memisahkan kami. Maka terjadilah kekosongan  atau status quo dalam kehidupan persahabatanku. Baru saja merasa punya satu kakak, tiba-tiba diambil oleh takdir bernama wisuda. Dan mulailah ketidaknyamanan bermunculan satu persatu. Berawal dari fakta bahwa kosan saya sering sekali mendapat tamu laki-laki, keluar masuk tidak jelas, bahkan sampai menginap tanpa diketahui. Parah ya. Padahal kosan itu berinduk semang yang mahal dan seharusnya ‘nyaman’. Disusul fakta tidak enak kedua, bahwa kosan saya selain tidak nyaman juga jauh dari aman. Sebuah motor hilang di siang bolong. Tentu ini membuat gempar, bagaimana tidak, wong pemiliknya di kos dan diparkiran juga ada orang. Sejak hari nahas tersebut, diperlakukanlah kebijakan sampah yang melarang ‘orang asing’ masuk hingga pukul 9. Sedangkan bagi mahasiswa, jam sembilan ibarat senja yang digunakan orang-orang untuk pulang dengan santai. Masa pagar dikunci, parkir digembok dan tirai-tirai ditutup rapat pukul segitu. Lha saya yang baru pulang dari nonton pameran lukisan, masa harus menghadap ibu kos hanya untuk masuk kamar yang sudah dibayar!

            Itu masih bukan masalah. Karena hal paling menyebalkan adalah menemukan sosok laki-laki saat hendak ke kamar mandi. Tidak sebatas itu, beberapa ada yang memasukkan teman atau entah saudara ke kamar. Betapa tidak tahannya hati ini. Setiap hari mulai bertanya-tanya: ini kos atau tempat penginapan, hmm.. atau malah kandang?

            Puncak dari segala suka-duka di kos pertama adalah diusir! Ya. . .walau bagaimanapun yang pertama selalu berbeda. Impresi pertama akan terkenang sepanjang masa.

            Sudah ya, diusir tidak perlu diceritakan panjang-lebar. Karena saya tidak sedang membicarakan ‘luas’ dari nano-nanonya kos pertama. Bahagia ya disyukuri, dukanya tidak usah dibesar-besarkan.

            Begitulah, dari kos pertama berlanjut ke kos dua, sampai empat kali. Baru di Semester 4 saya menemukan tempat yang menyamankan diri dan tak membuat ingin lari. Kos itu nyempil di belakang rumah makan mahal (tidak mewah, biasa saja), dan berjarak sekitar 2,5 kilo dari kampus. Sebagai pedestrian, awalnya berat menempuh jarak kos-kampus setiap hari. Tapi senyum penghuni kos ini meringankan kaki dan menyederhanakan hidup yang rumit. Kos yang saya tinggali sekarang bernama Gayamsari 13, satu-satunya angka keramat dalam semesta gayamsari. Tapi keramat bukan berarti sial. Saya pribadi ingin mengkeramatkan Gayamsari sebagai tempat menumpahkan suka-duka. Rumah kedua setelah kampung, dan rumah yang sebenar-benarnya rumah. Berkat insiasi (lupa tepatnya), gayamsari disebut GSG 13 atau GayamSari Girl 13. Berisi 7 orang perempuan dari latar belakang berbeda dengan tujuan sama yang dipersatukan di bawah langit Undip.

            GSG 13 membuatku merasakan nasihat Imam Syafii, mereka adalah saudara tanpa ikatan darah. Lebih dari teman apalagi kenalan. Ruang utama kami adalah depan tv yang tepat di depan kamarku. Jadi kapanpun ada yang nonton tv, aku tidak bisa tidur atau melakukan hal-hal yang membutuhkan konsentrasi. Seringnya malah tergoda untuk bergabung dan melantur tidak jelas sampai tv bosan ditonton kami.

            Dalam tulisan kali ini, saya ingin memperkenalkan mereka, atau tepatnya menulis untuk diri sendiri agar suatu saat kangen bisa langsung membaca dan terkenang segala memori. Ya minimal kenangan sebelum menulis catatan inilah. Seperti lagunya project pop “Kalian sangat berarti, istimewa di hati, senangnya rasa ini. Jika tua nanti kita tlah hidup masing-masing, ingatlah malam ini J

            Kami sudah seperti saudara, yang mengatakan bahwa cabe itu pedas, dibanding membiarkan salah satu dari kita sakit perut setelah memakannya. Jujur itu mujur, dengan mengatakan yang sesuai fakta, minimal tidak ada yang usus buntu karena merasakan pedasnya kalimat orang di luar sana. Pernah suatu kali ada yang baru putus dari pacarnya, dia datang-datang menangis dan mengadu, lalu apa yang terjadi? Jangan kira kami akan menghubungi cowoknya agar si A diam, yang ada justru kalimat seperti ini: “Kamu buta! Dia itu jahat-sejahatnya manusia. Kalau dia sayang mana mungkin menyakitimu seperti ini. Dia bahkan membawa-bawa orang tua. Tolong dong buka mata! Udah ah, jangan nangis. Don’t lowered your grade by droping many tears!

            Itu baru contoh kecil. Masih banyak percekcokan lain, dari yang sederhana sampai luar biasa, dari diskusi capres-cawapres sampai Jeremy Tety yang lebay henti, dari mulai ribut makan di mana sampai perang mulut yang berakibat diam-diaman. Tapi di GSG 13 proses “perang dingin” takkan pernah bertahan lama. Paling banter tiga hari, lagi pula lebih dari itu kan dosa hehe.

            Itulah mengapa kami seperti saudara, tidak ada apapun yang bisa disegankan kecuali minta uang (iyalah). Bahkan walau sudah punya kamar sendiri-sendiri, siapapun akan dengan bahagia menjajah kamar tetangganya yang baru dirapikan. Kadang aku membayangkan ‘kami seperti kelompok S.A (Special A)’, beranggota tujuh  siswa dengan isi kepala berstrata yang tak bisa dipukul rata. Kalau S.A ada seragamnya, maka masing-masing kami memiliki gelang serupa. 
Berikut ini nama saudara-saudara baruku:

·         Citra

Aku pikir dia yang paling objektif di antara kami semua. Kata-katanya pedas, bila memang harus begitu. Dia ini banyak omong, tapi juga banyak baca buku. Jadi omongannya nggak pernah meleset dari quote dan obrolan berbobot. Walaupun kalau sedang tak bisa dimengerti juga suka nyleneh dan aneh. Mahasiswi jurusan Sastra Inggris ini paling sering memperkenalkan terminologi baru, seperti: Worthed, distorsi, sporadis, STG (singkatan dari Astaga), ji-ei-ji-ei-way (jijay), semonto, so desune dan masih banyak lagi yang bila dikumpulkan bisa membentuk KBBC (Kamus Bahasa Baku Citra). Dia sering memalpraktikkan bahasa yang ditemukan di buku dengan kehidupan sehari-hari. Unikkan?

Dan karena satu fakultas serta mengambil organisasi plek sama, kita berdua jadi seri bertemu. Nggak enaknya ngobrol sama Citra adalah kita jadi merasa bego sebego-begonya manusia. Bagai katak dalam tempurung yang tak pernah kenal dunia luar. Aku sering bertanya-tanya, berapa buku yang sudah dia baca sepanjang 20 tahun?

Tapi selain pedes, dan tidak tahan mengkritik, di satu sisi Citra sangat keibuan. Keibuan yang mendekati ibu-ibu. Masa aku Cuma bergumam “ada air nggak, tenggorokanku lelah nih dari tadi ngomong terus.” Langsung deh Citra melesat sambil membawa segelas air putih untuk kuminum. Harus kuminum. Dia juga kadang minta maaf untuk hal-hal yang secara definitif bukan kesalahan. Contoh:  dia pinjam headphone yang sedianya akan kupakai, tapi berhubung ada acara seru di radio dan laptop belum kunyalakan jadi dibawalah itu headphone ke kamarnya. Lalu kami kembali ke kehidupan masing-masing, citra dengan headphone di kamarnya, sementara aku ngobrol ngalor-ngidul dengan GSG 13 yang lain. Saking lamanya ngobrol, aku bahkan tidak ingat akan menyalakan laptop, dan itu sudah pukul setengah 11 malam. Eh. . .tiba-tiba Citra mengetuk pintu hanya untuk mengembalikan headphone coba, dan tentu saja untuk meminta maaf. Padahal tanpa headphone pun aku masih bisa hidup.

Begitulah Citra, oia, dia punya radang tenggorokan yang kalau sedang kumat bisa sangat mengkhawatirkan.

·         Diena
Anak ini sebelas dua belas denganku. Pendiam yang mendekati aneh. Mahasiswi FKM peminatan epit ini suka berdiam diri di kamar SEHARIAN. Nurul (teman sejurusannya) mengira ia sedang mengerjakan tugas, pas ditanya “tugasmu piye Din?” dengan santai Diena menjawab “Belum.” “Lalu kamu di kamar ngapain?” Lanjut Nurul. “Aku tidur og. Kalo nggak tidur ya nonton video.” Daebak kan?

Dia tergila-gila pada Kai EXO (Boyband), tapi dasar kami, Kai-nya Diena malah dipanggil KAI (Kereta Api Indonesia).

Oia, Diena juga sangat membanggakan motornya. Motor Mio tahun 2009-an itu dinamai STRONGIE, biar kuat. Dan walaupun motornya imut seperti sang pemilik, dia selalu bilang bahwa Strongie kuat. Makanya tidak keberatan kalau dipinjam siapapun. Entah orangnya gendut, tinggi bahkan dibuat bonceng tiga pun tak peduli.

·         Nana

Nama panjangnya Nanaaaaa, nama lengkapnya Siti Nurjanah. Tapi di mana-mana maunya dipanggil Nana. Dia jurusan Sastra Inggris konsentrasi Linguistik. Anak bontot ini suka sekali curhat, dan yah, sedikit manja. Tapi sifat-sifat itulah yang membuatku merasa dia lucu. Dia suka gelendotan, curhat apapun, dan paling enak dijadikan bahan ledekan. Paling gampang dibully. Btw, aku nyaman sekali ngobrol sama dia. Seperti ngobrol dengan adikku di rumah.

Nana sangat menyayangi motornya. Kalau Diena mensugesti bahwa motornya kuat, Nana justru sebaliknya. Dia memperlakukan ‘si nok’ seperti hewan peliharaan yang harus dimanusiakan. Saking memanusiakannya, Nana selalu mencari tempat paling teduh di parkiran untuk si nok. Walaupun untuk itu harus berjalan jauh yang tidak umum ditempuh pemilik motor dan motornya. Kalau disimpulkan dalam satu kalimat: Nana adalah makhluk paling lucu yang mencerahkan kosan gelap kami.

·         Novia a.k.a Opie

Dia satu jurusan denganku. Sastra Indonesia konsentrasi Filologi. Dia teman kosku dari jaman kos kedua. Sebagai manusia-manusia terusir, kami sudah akrab satu sama lain. Suka ngobrol tentang apapun, tentang keluarga, cowok dan tentu saja cita-cita. Terobsesi kuliah di Leiden sana. Saking terobsesinya dia sampai kuliah bahasa Belanda 4 di jurusan Sejarah. Untung di sejarah ada Iqbal. Opie ini paling cemerlang dalam urusan apapun. Jika diibaratkan hewan, opie adalah Bunglon yang bisa beradaptasi secepat dia mau. Temannya banyak, kinerja oke, gebetan juga serenteng.

Di antara kami bertujuh, opie-lah yang paling bisa memproduksi tawa terkeras (ini sulit diputuskan, karena bercanda kami tak mengenal jaim). Dia anak ketiga dari empat bersaudara. Ngobrol dengan Opie serasa bercermin, nyaman dan mengalir saja seperti menulis di buku harian. Walaupun sering mengaku paling miskin, tapi Opie tak pernah pelit uang. Dia suka jajanin temennya, bahkan suka memberi apapun yang dia mampu memberi. Mungkin itulah kenapa Allah memudahkan jalannya. Opie dijadikan teman baik bagi semua orang.

·         Nurul

Nah, ini dia teman sekabupaten. Tapi walaupun berasal dari kabupaten yang sama, kami selalu menggunakan bahasa Indonesia. Nurul adalah mahasiswi FKM konsentrasi epit. Dia pegiat PKM yang selalu berusaha mengajukan proposal. Sebelas dua belas dengan opie  yang mantan Kemenristek BEM FIB Undip. Nurul bisa dibilang ratu infotaiment, tapi dia juga enak diajak ngobrol apa saja. Selalu nyambung kecuali sastra. Dalam hal berargumen, Nurullah yang paling seimbang jika disparingkan dengan Citra.

Ngomong-ngomong soal sastra, Nurul ini rada alergi metafora. Tahu lagu ‘Selimut Tetangga’? Di tangan Nurul, lagu itu adalah lelucon paling lucu yang bikin semua orang ketawa.

 “Ngapain selingkuh bawa selimut tetangga? Emang miskin banget ya, sampe nggak punya selimut!”

Hampir mirip dengan Citra, dia selalu menggunakan logika.  Dalam urusan selera, Nurul adalah “Chaginya[1] Opie. Mereka rela begadang demi korea, download WGM dan Running Man setiap senin. Jika dikumpulkan menjadi satu, Nurul dan Opie adalah sekte pemuja artis korea yang bagi mereka isu Hallyu Wave meredup hanyalah hoax.

Di sisi lain, Nurul yang ceria punya bagian tertutup yang tidak pernah diketahui housemate manapun. Tidak juga aku.

Satu-satunya kesamaanku dengan Nurul adalah kami sama-sama pernah memimpikan UI sebagai almamater setelah SMA. “Nisa aku pengin jaket UI yang kuning silau itu. kan kuning adalah warna intelektualitas.” Katanya pada suatu ketika. Saking sama-sama gila karena pernah ditolak UI, kami pernah ngobrol sampai jam satu malam hanya dengan tema itu-itu saja. Edan rak?

·         Tari

Adalah ratu organisasi di kos kami. Kadep salah satu komisi di Sema fakultas, ngelesin, ikut komunitas, hobi nglukis, pintar ngarang… multi talent pokoknya. Dia mahasiswa FPIK yang suka berinteraksi. Temannya banyak. Bisa dibilang dia adalah orang sibuk yang anehnya masih bisa mengurus hal kecil seperti nyetrika, nyuci, dan ehm. .pacaran. Dia suka sekali makan mie. Hampir mengalahkan rekor opie dalam urusan makanan berpengawet itu.

Tari suka banget ngerancang surprise. Di kepalanya yang kecil itu bisa bermunculan ide-ide yang tidak terpikirkan dan kadang, mengagetkan.

Segitu dulu aja deh. Karena ‘segitu’ pun ternyata sudah 7 halaman Word yang berarti seperti makalah. Walaupun tulisan ini tidak ada manfaatnya selain membantu membuang waktu, setidaknya bisa memenuhi blog. Inilah saudara tanpa darahku, mereka yang membuatku merasa punya keluarga dan tidak
pernah sendiri. Pesan yang ingin kusampaikan hanya: Teman adalah orang lain yang meramaikan episode kehidupan, tapi sahabat, adalah saudara yang turut ambil bagian dalam alur hidup kalian. So, perlakukan mereka sebaik kalian ingin diperlakukan.




[1] Pacar 

Jumat, 16 Mei 2014

Ekstase Arjuna: Katalisator Dewi-dewi Sejagat

Drupadi:

Impressi pertama itu penting. Ya, hingga kini aku masih dibayang-bayangi impressi pertama itu. Terpesona pada caramu mengangkat busur, lalu membiarkan sang panah menemukan targetnya dengan tepat. Sangat tepat. Mungkin kau perlu tahu, panahmu tak hanya mengarah seekor burung dari bayangnya di air, tetapi hal lain pula yang tunduk bersama lepasnya jari-jarimu. Dan entah karena wajahmu rupawan, atau akalku yang tak di tempat, rasanya gravitasiku bukan lagi bumi. Gravitasiku adalah kau yang melenyapkan segala bentuk kewarasan. Sederhananya, aku tergila-gila.

Aku membencimu saat kau membiarkan kelima Pandawa memilikiku. Aku membenci caramu menghormati Yudhistira, dengan menjadikannya yang utama di antara semua. Aku benci menjadi permaisurinya, benci berbagi ruang di hati yang telah kau monopoli. Ruang absolute yang pernah diakui pemiliknya. Harus kupertegas dengan cara apa, Arjuna? Bila kau berusaha memetakan hatiku sesuai darma, tanpa memahami bahwa keadilan tak pernah ada bagi perempuan yang tak punya pilihan. Tak ada karena menikahi semua pandawa sama saja memecah hati menjadi renik kedukaan. Dan ketika aku mulai menerima, alih-alih berdamai dengan catatan tetap berada di sisimu, kau malah membawa Sembadra sebagai adik yang tak pernah kuinginkan. Arjuna, bagaimanapun aku tidak buta. Lama-lama bocah ayu itu akan menenggelamkan namaku. Mengubahnya semacam noktah kecil di semesta ragamu.

Aku memang terlalu naif. Jatuh cinta pada matahari yang menjadi pusat pergerakan semesta. Tampaknya pula kau mengakui itu. Sehingga pergi untuk menengok sesekali, karena hatimu tak pernah tinggal di manapun. Aku mencintaimu semurni cinta itu sendiri. Tapi kau hanya melihat cintaku sebagai sarapan sebelum menjalani hari panjang. Di jamuan-jamuan selanjutnya, kau sendiri yang menentukan menu. Perempuan dari Dwarawati, Astina atau Pancala?

Sejak semula aku telah jatuh dalam labirin ambivalensi. Mencintaimu sebanyak aku membencimu. Cinta dan benci, kalau kautahu matahariku, bagaikan siang-malam yang datang untuk saling menggantikan. Cinta dan benci juga seperti cahaya-hujan yang membentuk pelangi. Keduanya adalah pasangan berkebalikan, keduanya adalah segala tentangmu di mataku.

Srikandi:

Apa salah mencintai kakak ipar sendiri? Apa salah mengagumi pria tampan sampai mati? Apa salah menginginkannya sebanyak manusia menginginkan kehidupan? Apa salah meminta tempat di hatinya yang seluas samudra? Apa salah menikahi pria yang tak peduli jumlah istri? Apa salah bergabung dengan sesama pemanah? Apa salah menyukai yang juga disukai orang?

Apa salahnya menjadi aku? yang ditakdirkan untuk itu?

Tak ada yang salah. Karena Trimurti sudah menuliskannya sebagai kisah.

Sembadra:

Cinta? Izinkan aku membuang kata itu ke keranjang sampah saja.

Tidak. Aku bukan sedang sombong, atau tak peduli pada nafasnya orang hidup. Sebagai manusia biasa tentu aku memilikinya, menginginkannya dan berniat hidup untuk itu. Meski tanpa cinta pun aku sudah memiliki semua. Wajah cantik, pesona wanita sejagad, dan terutama Arjuna dan Abimanyu. Dua pria yang paling kucintai di dunia.

Tapi, cinta adalah kata dengan sejuta wajah yang tak pernah bisa diterka. Terkadang menghidupi, terkadang meracuni, terkadang membahagiakan, terkadang pula. .  . membuat orang ingin mati. Singkatnya, aku telah kehabisan bahasa untuk sepotong kata itu.

Cinta telah membekukanku dalam ambiguitasnya. Membuatku terpaksa menerima Arjuna lagi dan lagi, atau mengizinkannya berlayar untuk melepas jangkar di sembarang tempat.

Dengan sendirinya, cinta menjelmakan Arjuna dalam berbagai rupa. Tampan tapi penuh borok asmara.

Tentang hubungan kami,
Satu-satunya yang kusyukuri hanyalah Abimanyu. Pangeran Kuru yang berasal dari Arjuna dan aku.

Arjuna:

Untuk apa aku hidup?

Barangkali inilah pertanyaan transenden yang dimiliki setiap manusia. Tapi bagaimana dengan seseorang yang hidup untuk semua yang melingkupi hidupnya? Ya, sesederahana itu. Sejujurnya aku hanya mengada. Membaktikan waktu untuk apapun dan siapapun.

Untuk Trimurti, untuk bangsa Kuru, untuk Pandawa, untuk ibu Kunti, untuk memenangkan Bharatayudha, untuk gandewa, untuk nirwana, untuk dewata, dan untuk. .  . . ah ya, perempuan-perempuan.
Aku mencintai mereka seperti aku mencintai diri sendiri.

Jika dirangkum dalam satu kalimat, hidupku adalah:

“Mencintai sekularitas sambil berjalan menuju malka bernama nirwana.”

Jumat, 02 Mei 2014

Niat




“Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang hanya akan mendapatkan balasan tergantung pada niatnya. Barangsiapa yang hijrah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena menginginkan perkara dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia inginkan.” 

Di atas adalah hadis Arbain pertama dan (sampai saat ini) satu-satunya yang aku hapal. Kadang-kadang otakku bebal sekali sampai pelajaran madrasah yang sudah kuhadapi sejak kelas 3 SD, meruap begitu saja seperti asap ditiup angin. Sehingga setua ini harus menghapalkannya dari awal. 

Tapi poinnya bukan itu. . .ingat, bukan soal otakku yang bebal. Yap, poinnya adalah tentang niat. Sekali lagi NIAT. 

Coba ingat-ingat kembali, seiring berjalannya waktu niat kita menjumpai tantang yang meluluhlantakkannya. Atau bahkan membelokkan dengan senang hati. Apa yang terjadi jika pada akhirnya niat kita berlabuh pada dermaga yang salah? Apakah kita masih akan mendapat pahala berdasarkan niat awal? Entahlah, tentang dosa dan pahala semua bergantung padaNya. Itu semua hak prerogatifNya yang tak bisa kita intip.

Sedikit cerita, sebagai anak SMA niat awalku melangkahkan kaki ke Semarang adalah kuliah. Piciknya, ingin menjadi katak yang berkutat dalam tempurung sastra. Makanannya sastra, atmosfernya sastra, bahkan feses pun sastra (astaghfirullah :D). Namun tiba-tiba negara api menyerang, peristiwa demi peristiwa terjadi dan mengubah cara pandang. Haruskah aku saklek pada niat awal dan membiarkan semua terbengkalai? Sementara aku mahasiswa biasa yang tak bisa menahan diri untuk tak haus informasi. Diserang panah bertubi-tubi dan masih hidup laksana Bhisma yang memilih kematiannya sendiri. Ya, perlahan niatku berubah haluan, menjadi semacam utopia yang anehnya membuatku tak ingin mundur hanya karena dia utopia. Aku tipe orang yang percaya, bahwa fatamorgana sekalipun akan berubah menjadi oase ketika kita masih terus mencari. Biarlah aku kesusahan di tempat yang jauh ini. Memang kelihatannya egois, tapi semakin dekat dengan ibu (zona nyamanku) maka akan semakin manja dan tak tahu dirilah aku. Lihat saja waktu SMA, jangankan berlelah-lelah untuk hal yang bukan kepentingan kita, mengerjakan PR saja masih suka ngeluh. Inti manja Masya Allah. 

Di hidup yang hanya sekali ini, aku ingin membanggakan orangtua lewat derita-derita kecilku yang tak didengar. Aku terlanjur dibuai nasihat Imam Syafii bahwa orang pintar tak duduk diam di kampung halaman. Yang pada akhirnya menggenang dan menjadi sumber penyakit bagi sekelilingnya. Aku ingin menjadi air (bukan dalam filosifi mengalir ke tempat rendah), aku ingin menjadi air yang menerobos celah-celah kecil untuk bertemu muara, atau air yang melubangi batu tetes demi tetes. Memang, di sini aku mendapat ganti teman dan saudara tapi tidak Orangtua. Makanya, orangtualah yang selalu mengikatku untuk kembali (suatu saat nanti). Apalagi bapa sudah jauh berada di kampung tanpa bisa bergeser lagi. Seperti kata Budiman Soedjatmiko, “Jika kau terus berusaha untuk sesuatu yang kauyakini, suatu saat alam akan mendukungmu di waktu yang tepat.” Tuh kan bahkan alam yang tidak punya otonomipun akan mendukung kita bila Allah sudah berkehendak. Apalagi keadaan.

So jangan remehkan nilai niatmu yang sekecil biji dzarah dibanding semesta. Karena waktu mengubah semua. Perlahan, saat niat itu membesar menjadi tekad: ingat orangtuamu, ingatlah manusia2 yang tak seberuntung kita. Gunakan kesempatan ini untuk melunasi rasa penasaran pada dunia tanpa melalaikan akhirat yang menunggu. "carpe diem, quam minimum credula postero" Kita manusia yang hidup hari ini, jangan campuri masa depan dengan prasangka dan ketakutan sekarang. Siapa juga yang bisa menjamin kesempatan datang dua kali, jangan percaya pada hari esok. Jangankan esok yang harus melewati 24 jam, satu menit kita saja masih menjadi rahasiaNya. Lagipula selama niat masih berada dalam koridor yang baik, siapa sih yang tidak ridho. Hanya jangan terlalu sombong dan rajin mengupgrade niat. Ayo perjuangkan mimpi kita hari demi hari. . . Bismillah, ganbatte!!!