UA-51566014-1 Catatan Harian: Agustus 2013

Jumat, 30 Agustus 2013

Fakta Tentang Penulis dan Tulisan


Di dalam tulisan yang sehat, tersimpan otak yang stress…

Seorang teman dari KPPI menuliskan itu dalam status Fb. Kalimat sederhana tersebut memang biasa, tetapi tidak sepenuhnya salah. Setidaknya aku sendiri merasakan kebenarannya. Sebuah tulisan tidak akan se-estetis seharusnya jika ditulis orang yang dalam keadaan baik-baik saja. Tidak ada yang terlihat bernyawa bila sebuah tulisan datar tanpa letupan emosi. Sebaliknya, emosi kuat muncul dari tangan orang yang merasakan pedihnya dicabik cobaan hidup.

Soe Hok Gie pernah berkata bahwa kita tidak bisa menilai seseorang hanya dari tulisannya. Ini benar juga. Dalam tulisan, seseorang bisa sangat komunikatif menyampaikan apa saja. Berbeda dengan kehidupan nyata yang mana harus berhadapan dengan mata ketika bicara. Tidak semua tulisan indah dihasilkan oleh manusia energik yang pandai bergaul. Tetapi sebaliknya, orang pendiam malah terkadang lebih ekspresif saat mneulis. Status misalnya, teman kuliah saya ada yang sangat pendiam. Namun di dunia maya dia begitu aktif menyiarkan kehidupan pribadi. Disadari atau tidak, dunia maya memberi ruang untuk lebih eksis. Karena kehidupan nyata telah mensyaratkan kecakapan untuk sekadar dikenal. Maka orang yang tidak kebagian tempat di dunia nyata, memilih maya sebagai alternatif. Begitu seterusnya sampai yang bersangkutan sadar bahwa dunia maya hanya kosong belaka. Hingga dia melihat kepastian paling pasti tentang kemayaan yang orang-orang sebut sebagai OMONG KOSONG. Karena sampai kapanpun manusia adalah makhluk hidup yang berproses sesungguhnya di dunia nyata.

Menanggapi pernyataan Soe Hok Gie, kecakapan menulis bukanlah hal instan. Ada proses panjang yang dimotori factor I. Tentunya bukan Imut, Irrasional apalagi Innocent. Factor I di sini adalah intelektualitas. Factor ini menjadi sangat penting menilik bahwa tulisan merupakan bangunan informasi, pengetahuan bahasa dan kepiawan interaksi. Ketiga hal tersebut berkolaborasi membentuk tulisan yang bermakna dan hidup. Sedangkan jika kurang salah satunya saja, maka tulisan terasa cacat. Dari tulisan kita bisa membaca kecakapan seseorang dalam berbahasa. Kita bisa memperkirakan pengetahuan tentang yang dia tulis. Seberapa paham atau asalnya dia. Mungkin anda juga melihat saya sebagai orang amatir yang berusaha berbesar mulut lewat kata-kata.


Mengenai Intelektualitas sendiri, saya yakin tidak satu penulis besarpun yang alergi membaca. Kebanyakan mereka adalah orang yang merelakan mata minus demi mengecap manisnya sebuah tulisan. Karena ibarat gelas kosong diisi air terus menerus, seseorang yang selalu mencekoki otak dengan bacaan, pengetahuan mereka akan tumpah oleh hasrat agar tulisannya dibaca. So, mulai membacalah. Ingat, poin terpenting ketika menulis adalah menulis. Bukan berpikir!

Selasa, 20 Agustus 2013

Soeharto dari Sudut Pandang Orang Awam

Presiden ke dua Indonesia, ingat kan? Jendral ‘besar’ kita. Saya ingin membicarakan dari sudut pandang pribadi sebagai orang yang bukan apa-apa. Motivasi saya sederhana, yakni karena ayah dan ibu memujanya bagai dewa, bahkan ketika reformasi membeberkan dosa beliau. Tentu waktu itu saya masih kecil, anak 5 tahun tahu apa tentang politik. Saat itu yang terasa kuat hanyalah harga jajan melangit seperti roket NASA. Dan ayah ibu masih tanpa pertimbangan mengagumi Soeharto.

Mendekati SMA, paradigmaku berubah. Revolusi berdarah tahun 65 itu tak hanya angin lewat bagi sejarah Indonesia. Ada konspirasi, konsolidasi dan penyudutan yang hingga kini buram di mata media. Seperti kita tahu, media adalah refleksi pemahaman beberapa orang yang terkadang justru membutakan masyarakat luas. Saya memposisikan diri sebagai orang yang mempertanyakan, bukan membicarakan sesuatu karena memang paham betul. Tidakkah anda merasa, betapa janggalnya kudeta yang sekarang dikenal sebagai hari kesaktian pancasila. Sejak SD sampai SMA yang ditanamkan adalah nilai bahwa pancasila yang saking luhurnya tetap menang ketika diguncang pemberontakan. Lalu politik hidup di bagian mana sehingga menyisakan kontroversi tiada dua. Tidakkah guncangan atas pancasila hanya kedok dari pencuri gelap di dalamnya? Yang mencuri kekayaan ideologi serta memusnahkan dengan tajuk kebesaran pancasila.

Kalau memang PKI sejahanam perkataan media, kenapa tidak menyisakan segilintir orang sebagai saksi kunci untuk menjelaskan kepada dunia motif mereka? Kenapa militer seolah bernafsu dan sangat radikal membasmi PKI sampai ke pengikut-ngikutnya? Sampai pemerintah Orba merasa perlu mencantumkan golongan KTP berdasarkan bersih atau tidaknya darah kita atas PKI. Rapi sekali kegiatan pembasmian itu. Masyarakat digiring pada pemfokusan gerakan ekonomi, sementara roll sejarah digulung di belakang layar. Menyisakan tanda tanya besar yang sepertinya hanya terjawab Tuhan.

Dengan gagahnya mata seluruh Indonesia dibuat buta oleh suatu pihak yang entah siapa. Saat the real president terlalu sibuk dengan selir-selirnya, rencana kudeta yang ternyata telah disampaikan oleh Letkol Untung tetap dilaksanakan secara dramatis. Hanya saja pelakunya belum jelas siapa. Membuat seseorang merasa berhak bertindak yang sialnya lagi dikuatkan SUPERSEMAR. Setelah pembantaian para jendral usai, proses pembutaan kolektif dimulai.  Buktinya, tidak ada satu makhluk pun bertanya tentang pembunuhan massal di Bali yang mencapai 500 ribu-sejuta jiwa. Ada begitu banyak rahasia yang sayangnya teroganisir begitu rapi. Penembak misterius, penggusuran dan perebutan tanah oleh oknum berwenang yang kenyataannya sama sekali tak berwenang menghilangkan nyawa orang. Angka itu, yang bahkan ditemukan oleh mahasiswa S3 bernama Ben Anderson dari Universitas Cornell, sangat tidak manusiawi. Penangkapan para aktivis, pembredelan Koran kecuali hasil binaan ABRI, dan apapun berbau gugatan semua hilang dari peredaran. Hasilnya adalah KKN menjadi budaya kesekian Indonesia yang hingga kini sulit di tumpas. Otoritarian yang membungkam itu benar-benar membuat manusia normal sesak nafas. Kecuali yang dimanjakan keaadaan.

Kekerasan yang tersistem demikian baik itu melanggeng sampai 32 tahun lamanya. Menjelma semacam tumor yang kelihatan jinak namun mendesak. Indonesia jadi macan Asia yang mengaum lapar. Menyembunyikan pelanggaran HAM yang terus diaborsi sebelum berbuntut panjang. Sungguh masa kelam yang tidak sopan diungkit kembali karena pelakunya sudah kembali dari tiada ke tiada.
Namun, alangkah baiknya kita tidak melihat dari satu sudut pandang saja bukan? Baiklah.

Pernah membaca Soeharto The Untold Story? Yang berkat ketebalannya para calon pembaca jadi underestimate terhadap diri sendiri. Di situ bapak pembangunan Indonesia dikisahkan berdasarkan fakta dari orang terdekat. Beliau yang konon katanya keturunan bangsawan namun dipinggirkan atas ketidakjelasan, memiliki wibawa yang tiada tara. Kewibawaan disertai keistimewaan moral itu sungguh mengantarkan Indonesia pada gerbang kemakmuran (sementara). Sebagai tentara yang terbiasa dengan rencana sistematis, Soeharto mengembalikan rasa percaya diri anak bangsa untuk bangga menjadi bangsanya. Kunjungan incognito selalu mengevaluaai tanpa basa-basi daerah terpencil sekalipun.

Melalui buku itu, saya jadi menerka, bahwa secara personal Soeharto berkepribadian kuat dan menarik. Ada saja sisi baik yang membuat orang tak lupa sosoknya. Dan siapa pun sepakat, bahwa Soeharto adalah presiden terbaik sepanjang masa (setidaknya sampai sekarang). Tidak ada yang sanggup membuat Indonesia dianggap sebagai ‘kakak tua’ bagi Negara-negara ASEAN. Menerjemahkan begitu banyak masalah kependudukan untuk direfleksikan bersama solusi. mungkin pada awalnya, Soeharto hanya orang yang ingin merubah sistem yang tidak tersistem di negeri ini. Hasilnya pun tidak mengecewakan (dari sisi ekonomi), di masanya orang bangga menjadi Indonesia. Repelita2nya yang hingga VII kali sukses besar. Kecuali Repelita terakhir yang belum sempat tuntas.


Terlepas dari segala kontroversinya, Saya pernah kagum terhadap beliau. Kagumnya siswa pada guru dan kagumnya pengikut pada yang diikuti. Begitu murni dan tanpa alasan. Sekarang juga masih, meski telah berkurang menjadi separuh lebih. Di mata saya, beliau adalah sosok yang hanya Tuhan dan dirinya sendiri saja tahu siapa. Sisanya, tanda tanya [?]

Minggu, 11 Agustus 2013

1434 H

Sudah cukup lama tidak menulis. Berhubung diary ketinggalan di kos, blog sepertinya lumayan membayar.

Lebaran, momen di mana orang-orang berkumpul, berbagi cerita dan saling memaafkan. Yah, seperti itu juga yang terjadi di keluargaku. Walaupun semu, toh terlewat juga.

Lebaran 1434 h ini banyak hal tak disangka yang tiba-tiba masuk begitu saja ke agenda. Tri misalnya, aku tak pernah menuliskan namanya dalam list orang yang ingin ditemui. Lalu dia datang pada tanggal 2 syawal, konyol2an bersama, dengan rese menjulukiku istri kedua dan membuat anak kos macam aku mentraktirnya. Satu hal yang boleh diinget, I’m pretty interest with his joke, and also that face which make everybody smile and little amazed.

3 syawal, kegiatan paling basa-basi yang tumben sekali terasa menarik. Acara matrilineal itu mengharuskanku datang tepat waktu sementara ngaretnya innalillahi. Berangkat pukul 09.00, acara dibuka jam 12.00. Benar-benar perkumpulan orang tak menghargai waktu. Untung banyak adik kecil yang tanpa sadar menghibur dengan keanehan mereka.

Namun, diantara seluruh kejadian unpredictable tadi, aku teramat shock ketika tiba-tiba ada yang menjemput untuk reuni SD. SD coba, diulang lagi biar dramatis ES-DE. Betapa kagetnya menghadapi orang-orang yang memiliki nyaris 40% umur pendidikanku. Entah harus disayangkan atau disyukuri, dua hiburan terbesarku absen. Mengurangi resiko anfal tiba-tiba, karena jantung berdegup terlalu kencang. Dan kesempatan itu melayang begitu saja.


Begitulah 1434 H yang sederhana. Ketidakjelasan yang dijelaskan dalam kesederhanaannya begitu memukau.